Malcolm X (4): Masuk Penjara

in Tokoh

Last updated on March 21st, 2018 01:49 pm

“Di penjara, saya menemukan Allah dan agama Islam, dan itu benar-benar mengubah hidup saya.”

–O–

Photo Malcolm X ketika menjadi tersangka pada tahun 1946.

Demikianlah, Malcolm dan kawan-kawannya terus melakukan perampokan ke rumah-rumah orang kaya. Dari hasil perampokannya ini dia menjadi kaya. Di apartemennya, Malcolm menyimpan barang-barang mewah hasil curian. Salah satu barang curiannya adalah sebuah jam tangan kristal yang sangat mahal, namun salah satu bagian dari kristalnya ada yang sudah rusak, Malcolm kemudian membawa jam tersebut ke toko perhiasan untuk diperbaiki.

Dua hari kemudian Malcolm hendak membawa kembali jam tersebut setelah selesai diperbaiki. Ketika Malcolm selesai membayar, tiba-tiba seorang lelaki dengan salah satu tangannya masuk ke dalam kantung bajunya, mungkin sambil memegang pistol, menghampiri Malcolm. “Dia polisi,” kata Malcolm di dalam hati. Pria itu kemudian berkata pelan-pelan, “mundur ke belakang.”

Rupanya pemilik jam yang kehilangan telah melaporkan ke semua toko perhiasan di Boston, jika menemukan jam tangan dengan ciri-ciri spesifik yang dimaksud, maka segera lapokan ke pihak berwajib karena jamnya telah dirampok orang. Ketika Malcolm melakukan pembayaran untuk jam yang telah diperbaiki, pemilik toko menghubungi polisi, maka ditangkaplah Malcolm.

 

Rasialisme dan Hukuman 10 Tahun

Polisi kemudian menggeledah apartemen Malcolm, di sana mereka menemukan barang-barang mewah seperti perhiasan-perhiasan dan mantel bulu hewan yang harganya sangat mahal. Mereka juga menemukan perlengkapan-perlengkapan untuk perampokan, seperti senjata-senjata dan alat-alat untuk membongkar kunci.

Polisi juga mendapatkan Sophia, perempuan kulit putih yang sudah bersuami seorang mantan anggota militer Amerika Serikat (AS). Sophia adalah kawan lama Malcolm, dan dia sudah terlibat bersama-sama Malcolm sejak lama melakukan kenakalan-kenakalan dan tindakan kriminal. Shorty, kawan seperjuangan Malcolm yang juga seorang pemain saxophone, malam itu juga ditangkap di atas panggung ketika dia sedang tampil bersama band-nya.

Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1946, meskipun perbudakan telah dihapuskan, namun rasialisme di AS pada waktu itu masih terjadi dalam tingkat yang sangat tinggi.[1] Sebagai perempuan kulit putih, Shopia dikenakan hukuman yang sangat ringan, dan itu pun bukan karena dia terlibat dalam perampokan, polisi tidak menginvestigasinya sampai sejauh itu. Kejahatan terbesar yang dituduhkan kepada Shopia adalah karena dia bergaul dengan pria-pria negro.

Bahkan panitera pengadilan dan petugas pengadilan ketika di ruang pengadilan mengatakan, “gadis kulit putih yang bagus…. negro sialan.” Hal yang sama juga dilakukan oleh pengacara yang ditunjuk oleh pengadilan untuk membela Malcolm, saat mereka duduk menunggu hakim masuk, Malcolm berkata kepada pengacaranya, “tampaknya kami mendapat hukuman karena (bergaul dengan) gadis itu”. Mendengar itu, si pengacara wajahnya memerah, sambil membolak-balik tumpukan kertas yang dibawanya kemudian dia berkata, “kamu tidak punya urusan dengan gadis kulit putih!”

Ibu Shorty yang sudah tua pun jauh-jauh datang menggunakan bus dari Lansing ke Boston, dia berkata kepada anaknya, “nak, bacalah Kitab Wahyu dan berdoalah kepada Tuhan!” dia terus memberi tahu Shorty, dan begitu pula ke Malcolm, sementara mereka menunggu putusan hukuman. Shorty telah selesai membaca halaman Wahyu Alkitab; dia benar-benar berlutut, berdoa seperti diaken Baptis Negro.

Kemudian tibalah waktunya hakim Pengadilan Negeri Middlesex hendak mengucapkan keputusan hukuman. Ibu Shorty duduk sambil menangis terisak-isak, kepalanya tertunduk dan kemudian melihat ke atas, begitu beberapa kali, dia sedang berdoa kepada Yesus. Di dekat Ibu Shorty duduk saudara-saudara Malcolm. Shorty adalah yang pertama dipanggil untuk berdiri.

“Tersangka satu, delapan sampai sepuluh tahun,” kata Hakim. “Tersangka dua,” giliran Malcolm, “delapan sampai sepuluh tahun.” Kemudian hakim melanjutkan, “hukuman dilaksanakan secara simultan.” Shorty, berkeringat begitu deras, sehingga wajah hitamnya tampak seperti diberi pelumas.

Menurut Malcolm tampaknya Shorty tidak paham dengan istilah “simultan”, barangkali dia memahaminya bahwa jumlah hukuman dari beberapa tersangka itu dikalikan, dia menyangka bahwa dirinya akan mendapat hukuman lebih dari 100 tahun. Padahal maksud hakim di sini adalah bahwa para tersangka mulai dihukum pada waktu yang bersamaan. Mendengar putusan pengadilan Shorty meraung dan berteriak dengan keras, dia merosot dari kursinya, tidak dapat mengendalikan diri. Sehingga para petugas pengadilan harus menangkap dan mendukungnya.

Sementara itu Shopia dikenai hukuman satu sampai lima tahun. Di kemudian hari Malcolm mempelajari keputusan pengadilan tersebut. Menurutnya, dalam kasus normal, seorang pelaku perampokan seperti dirinya hanya akan menerima hukuman sekitar dua tahun. “Tapi kami tidak akan mendapatkan (hukuman) rata-rata, bukan karena kejahatan kami,” kata Malcolm.

Kemudian para petugas pengadilan membawa Malcolm dan Shorty, tangan mereka diborgol bersama, mereka hendak dibawa ke penjara Negara Bagian Charlestown.

Di kemudian hari Malcolm menceritakan kisah hidupnya dengan vulgar dan detail di dalam bukunya. Pada saat itu dia sudah menjadi tokoh besar Muslim kulit hitam Amerika Serikat. Malcolm berkata bahwa tujuan dia menceritakan keburukkannya di masa lalu bukan untuk berbangga diri karena pernah menjadi “nakal”, namun sebagai figur publik dia ingin orang-orang memahaminya bahwa masa lalunya adalah bagian dari spektrum hidup yang membentuk dirinya sekarang.

“Saya menghabiskan banyak waktu (untuk menceritakan) karena cerita lengkap (tentang hidupnya) adalah cara terbaik yang saya tahu untuk memahami (diri)nya, dan saya mengerti, bahwa saya telah tenggelam ke bagian paling dasar masyarakat kulit putih Amerika Serikat—segera sekarang, di penjara—saya menemukan Allah dan agama Islam, dan itu benar-benar mengubah hidup saya,” kata Malcolm. (PH)

Bersambung ke:

Malcolm X (5): Bimbi Sang Filsuf dan Malcolm si Setan

Sebelumnya:

Malcolm X (3): Kriminal

Catatan:

Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan bebas dari buku karya Malcolm X dan Alex Haley, The Autobiography of Malcolm X, (Ballantine Books: New York 1992), hlm 99-102. Adapun informasi lain yang bukan didapat dari buku tersebut dicantumkan di catatan kaki.

Catatan Kaki:

[1] “An abridged biography of Malcolm X”, dari laman http://malcolmx.com/biography/, diakses 19 Maret 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*