Malcolm X (5): Bimbi Sang Filsuf dan Malcolm si Setan

in Tokoh

Last updated on March 23rd, 2018 01:29 pm

“Malcolm si setan, ketika menyerang dalil-dalil agama, oleh Bimbi argumennya dapat dipatahkan dengan mudah. Perkataan Malcolm tampak begitu lemah dan receh dihadapan Bimbi.”

–O–

Ilsutrasi belajar di penjara. Photo: wondergressive.com

Di penjara Negara Bagian Charlestown, pada awalnya Malcolm masih melakukan segala kenakalan-kenakalan yang memungkinkan untuk dilakukan di dalam penjara, seperti mabuk biji pala hasil selundupan dari dapur; dan setelah mendapat uang dari kakaknya, Ella, Malcolm mulai membeli ganja dan obat-obatan medis yang disalahgunakan untuk mabuk-mabukan, yang dia beli dari sipir penjara. Sudah bukan rahasia lagi, pada waktu itu para sipir berjualan di dalam penjara  untuk menambah pundi-pundi keuangannya yang serba kekurangan.

Sementara narapidana lainnya, walaupun memiliki label “penjahat”, di dalam penjara mereka masih menyempatkan diri untuk melakukan beberapa aktivitas religius, tapi tidak dengan Malcolm, dia sama sekali tidak ingin terlibat dalam urusan religius. Dia bukan saja atheis, tapi lebih dari itu, anti agama. Karena sikapnya itu, di dalam penjara Malcolm mendapat panggilan “si setan”.

Di penjara, Malcolm bertemu dengan seseorang yang dipanggil dengan sebutan “Bimbi”, dia adalah seorang negro yang jauh lebih berpengalaman dibandingkan dengan Malcolm dalam hal tindakan kriminal. Bimbi sudah sering keluar masuk penjara karena merampok. Namun demikian, Malcolm sangat terkesan dengannya, dia memiliki wawasan yang sangat luas.

Ketika Bimbi berbicara, orang-orang akan duduk mengelilinginya, mendengarkan penjelasan-penjelasan dan opini dari dirinya tentang berbagai macam hal. Normalnya, narapidana kulit putih tidak memiliki minat untuk mendengarkan pendapat apapun dari seorang negro, tapi ini tidak berlaku untuk Bimbi, bahkan para sipir, akan sengaja datang apabila Bimbi sedang berbicara.

Bimbi berbicara tentang banyak hal, bahkan tema-tema yang sebelumnya sama sekali tidak terpikirkan oleh siapapun yang berada di dalam penjara. Bimbi berbicara tentang ilmu perilaku manusia secara mendalam, menurutnya, tidak ada yang berbeda antara orang-orang di luar dengan di dalam penjara, pada hakikatnya mereka sama-sama manusia, satu-satunya pembeda adalah mereka tidak ditangkap.

Bimbi juga berbicara tentang peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh bersejarah, misalnya dia berbicara tentang Henry David Thoreau, seorang penulis, penyair, dan filsuf dari Amerika, dia terkenal dengan doktrinnya tentang Transendentalisme, sebagaimana tetuang dalam karyanya yang berjudul Walden (1854).[1] Tanpa Bimbi, Malcolm tidak akan pernah tahu siapa Thoreau, ini adalah pertama kalinya Malcolm mendengar nama tersebut.

“Bimbi dikenal sebagai pengunjung setia perpustakaan. Yang paling membuat saya terpesona dengannya adalah bahwa dia adalah orang pertama yang pernah saya lihat, yang mendapatkan kehormatan…. melalui kata-katanya,” kata Malcolm. Apa yang membuat Malcolm tertarik untuk berteman dengan Bimbi adalah pengetahuannya tentang agama. Malcolm si setan, ketika menyerang dalil-dalil agama, oleh Bimbi argumennya dapat dipatahkan dengan mudah. Perkataan Malcolm tampak begitu lemah dan receh dihadapan Bimbi.

Suatu hari, Bimbi berkata kepada Malcolm dengan nada datar, dia mengatakan bahwa Malcolm sebenarnya mempunyai “otak” apabila dia mau untuk menggunakannya. Malcolm tidak mengharapkan nasihat dari Bimbi, dia hanya ingin berteman dengannya, “jika itu bukan Bimbi (yang memberi nasihat), saya mungkin sudah memakinya,” kata Malcolm. Bimbi mengatakan bahwa Malcolm selama dipenjara, mesti mengambil keuntungan dari korespondensi dan perpustakaan.

Semenjak hidup di jalanan, meskipun dulunya dia seorang siswa berprestasi, tetapi Malcolm memang sudah melupakan  pelajaran-pelajarannya. “Kehidupan jalanan telah menghapus semua yang telah saya pelajari di sekolah,” kata Malcolm. Maka semenjak bertemu Bimbi, Malcolm bertekad untuk belajar kembali, membenamkan dirinya ke dalam buku-buku yang berada di perpustakaan. Dia mencoba membayar hari-hari belajarnya yang hilang ketika hidup di jalanan.[2]

Satu tahun pertama Malcolm belajar di penjara, selain membaca banyak buku, dia mendalami bahasa Inggris. Malcolm sekarang sudah memiliki kemampuan menulis surat dalam bahasa Inggris dengan baik. Kemudian setelahnya dia mulai mempelajari bahasa Latin. Oleh Bimbi Malcolm diajarkan ilmu tentang asal-usul kata. Maka Malcolm pun memulai korespondensi dalam bahasa latin. Demikianlah, Malcolm meneruskan pelajarannya.

 

Agama bagi Kulit Hitam

Suatu hari pada tahun 1948, ketika Malcolm sudah dipindahkan dari penjara Charlestown ke Concord. Malcolm menerima surat dari kakaknya yang bernama Philbert di Detroit. Sebelumnya Malcolm mengenal Philbert sebagai seseorang yang religius, bahkan ketika Malcolm pertama masuk penjara, Philbert meminta seluruh teman-temannya di persekutuan gereja suci untuk mendoakan Malcolm.

Namun kali ini berbeda, di dalam suratnya Philbert mengatakan dia sudah dan selamanya akan bergabung dalam “suatu perkumpulan”. “Saya telah menemukan ‘agama yang natural untuk orang kulit hitam’,” kata Philbert. Perkumpulan yang dimaksud oleh Philbert adalah The Nation of Islam (NOI). Philbert mengatakan kepada Malcolm bahwa dia harus “berdoa kepada Allah untuk keselamatan,” Malcolm keheranan. (PH)

Bersambung ke:

Malcolm X (6): “Tuhan adalah Kulit Hitam, dan Iblis adalah Kulit Putih.”

Sebelumnya:

Malcolm X (4): Masuk Penjara

Catatan:

Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan bebas dari buku karya Malcolm X dan Alex Haley, The Autobiography of Malcolm X, (Ballantine Books: New York 1992), hlm 102-104. Adapun informasi lain yang bukan didapat dari buku tersebut dicantumkan di catatan kaki.

Catatan Kaki:

[1] “Henry David Thoreau”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Henry-David-Thoreau, diakses 21 Maret 2018.

[2] “Malcolm X Biography, Civil Rights Activist, Minister (1925–1965)”, dari laman https://www.biography.com/people/malcolm-x-9396195, diakses 21 Maret 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*