Malcolm X (17): Tentang Konferensi Asia Afrika, Pesan untuk Akar Rumput (2)

in Tokoh

“Kita semua memiliki musuh bersama. Dia adalah orang yang sama—bermata biru dan berambut pirang, dan berkulit pucat.

–O–

Infografis: asianafricanmuseum.org

Lanjutan pidato Malcolm dalam konferensi Northern Negro Grass Roots Leadership, di Gereja King Solomon Baptist, Detroit, Amerika Serikat pada 10 November 1963, “hal nomor satu, yang tidak diizinkan untuk menghadiri konferensi Bandung adalah orang kulit putih (mendengar ini, peserta menjadi riuh rendah). Dia tidak dapat datang. Begitu mereka mengecualikan orang kulit putih, mereka menemukan bahwa mereka bisa berkumpul bersama. Begitu mereka melarangnya, semua orang merasa benar dan merasa dalam satu barisan. Ini adalah hal yang anda dan saya harus pahami. Dan orang-orang ini, yang datang bersama-sama, tidak memiliki senjata nuklir, mereka tidak memiliki pesawat jet, mereka tidak memiliki semua senjata berat yang dimiliki oleh orang kulit putih. Tetapi mereka memiliki persatuan,” kata Malcolm.[1]

Walaupun demikian, apa yang dikatakan Malcolm tentang ketidakhadiran orang kulit putih tidak sepenuhnya benar. Dalam konteks negara peserta, Malcolm benar, tidak ada negara Eropa di sana (atau yang secara ras berakar dari Eropa). Tapi sesungguhnya, orang-orang kulit putih pun hadir di sana, ada yang menjadi pengamat atau pun berasal dari kalangan pers.

Paling tidak, orang-orang kulit putih yang terlihat hadir dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 adalah Marshal Tito yang mewakili Yugoslavia, dan ada juga banyak orang pers dari Amerika Serikat (AS), Australia, dan Eropa. Selain itu, bahkan, seorang wartawan AS keturunan Afrika, Ethel Payne, yang hadir di Bandung, memberikan kesaksian, “Inggris mengirimkan sekumpulan koresponden, dan (juga) Belanda dan Jerman, dan semua negara Eropa.”[2]

Selanjutnya Malcolm menceritakan tentang kolonialisme, “mereka mampu meredam perbedaan kecil yang tidak penting dan setuju terhadap satu hal: bahwa meskipun seorang Afrika datang dari Kenya dan dijajah oleh orang Inggris, dan seorang Afrika lainnya datang dari Kongo dan dijajah oleh orang Belgia, dan seorang Afrika lainnya datang dari Guinea dan dijajah oleh Prancis, dan yang lain datang dari Angola dan dijajah oleh Portugis, ketika mereka datang ke konferensi Bandung, mereka melihat pada Portugis, dan pada orang Prancis, dan pada orang Inggris, dan pada orang Belanda, dan belajar atau menyadari satu hal, bahwa mereka semua memiliki kesamaan—mereka semua berasal Eropa , mereka semua orang Eropa, berambut pirang, bermata biru, dan berkulit putih.

“Mereka mulai menyadari siapa musuh mereka. Orang yang sama yang menjajah orang-orang kita di Kenya, sedang menjajah orang-orang kita di Kongo. Yang sama di Kongo menjajah orang-orang kita di Afrika Selatan, dan di Rhodesia Selatan, dan di Burma, dan di India, dan di Afghanistan, dan di Pakistan. Mereka menyadari di seluruh dunia di mana orang kulit hitam itu ditindas, dia ditindas oleh orang kulit putih; di mana lelaki gelap itu dieksploitasi, dia dieksploitasi oleh orang kulit putih. Jadi mereka bersama atas dasar ini—bahwa mereka memiliki musuh yang sama.

“Dan ketika anda dan saya di sini di Detroit dan di Michigan dan di Amerika yang telah tersadarkan hari ini, lihat sekeliling kita, kita juga menyadari, di sini, di Amerika kita semua memiliki musuh bersama, apakah dia di Georgia atau Michigan, apakah dia di California atau New York . Dia adalah orang yang sama—bermata biru dan berambut pirang, dan berkulit pucat—orang yang sama.”[3]

Dalam pidato Malcolm, terlihat jelas bahwa Malcolm menimpakan segala kesalahan kepada orang-orang kulit putih. Bahwa biang dari segala penjajahan adalah orang-orang kulit putih, atau negara-negara yang secara ras berasal dari Eropa. Padahal bila ditelaah lebih jauh, walaupun memang di era modern ini mayoritas penjajah adalah orang kulit putih, tapi di masa lalu, orang-orang kulit berwarna non-Eropa pun melakukan penjajahan, sebut saja Kekaisaran Mongol dan Dinasti-dinasti dari Timur Tengah.

Terlebih, di era modern pun, Jepang yang tercatat sebagai peserta KAA pun, pernah melakukan penjajahan, beberapa negara yang pernah dijajah oleh Jepang di antaranya adalah Korea; Taiwan; Sakhalin; Negara-negara kepulauan seperti Mikronesia, Palau, Mariana Utara, dan Marshall Islands; beberapa daerah di daratan China, dan tentu saja Indonesia.[4]

Soekarno, sebagai pengagas KAA, dalam pidato pembukaan, menekankan bahwa yang hendak dilawan dalam konferensi tersebut adalah kolonialisme, siapapun pelakunya, “Bagaimana mungkin untuk tinggal adem tentang kolonialisme? Bagi kita kolonialisme bukan suatu hal yang jauh letaknya. Kita mengenalnya dalam segala kekejamannya. Kita telah melihat betapa ia menyebabkan kerusakan yang hebat pada kemanusiaan, betapa ia ditinggalkannya, kalau pada akhirnya ia dengan cara segan-segan keluar atau didepak keluar, oleh perjalanan sejarah yang tak tertahan-tahan itu. Rakyat saya, dan rakyat-rakyat berbagai negeri Asia dan Afrika tahu akan hal ini, karena kita mengalaminya sendiri.

“Memang kita belum dapat mengatakan bahwa semua bagian dari negeri-negeri kita telah merdeka. Beberapa bagian masih bekerja dengan ancaman cambuk. Dan sementara bagian Asia dan Afrika, yang tak diwakili di sini, masih meringkuk di bawah penderitaan yang serupa itu,” kata Soekarno ketika membuka KAA.

Sekali lagi, tidak sepenuhnya yang dikatakan oleh Malcolm benar, ada dua alasan mengapa dia menimpakan segala kesalahan terhadap orang-orang kulit putih. Pertama, masa lalunya yang kelam, ayahnya dan anggota keluarga lainnya dibunuh oleh kelompok rasialis kulit putih Amerika Serikat. Selain itu, dari sejak kecil sampai dengan usia remaja, Malcolm juga merasakan pahitnya rasialisme terhadap kulit hitam di Amerika Serikat.[5]

Kedua, ajaran Islam versi Elijah Muhammad, pemimpin NOI. Meskipun Malcolm mendapat label sebagai aktivis Hak Asasi Manusia, pada saat mengomentari tentang KAA, dia masih merupakan orang penting di Nation of Islam (NOI). NOI mempunyai keyakinan bahwa ras kulit putih merupakan perwujudan dari Iblis, mereka merupakan manusia yang sengaja diciptakan untuk membuat kerusakan di muka bumi. Selain itu, orang-orang kulit hitam yang merupakan manusia asli, sekarang ini dalam masanya untuk meraih kembali kejayaan di masa lalu mereka yang telah direbut oleh iblis kulit putih.[6]

Bagaimanapun, pada waktu itu Malcolm telah menjadi salah satu tokoh yang paling berpengaruh di Amerika Serikat. Pernyataannya tentang KAA telah mengamplifikasi efek dari KAA itu sendiri, minimalnya bagi warga AS. Di luar hal itu, apa yang disampaikan Malcolm tentang KAA merupakan sebuah bukti bahwa KAA yang terjadi di Bandung, Indonesia, telah menggema ke berbagai penjuru dunia, bahkan setelah bertahun-tahun acara tersebut berlalu. (PH)

Suara Malcolm ketika berpidato tentang KAA dapat didengar dalam video berikut ini:

Bersambung….

Sebelumnya:

Malcolm X (16): Tentang Konferensi Asia Afrika, Pesan untuk Akar Rumput (1)

Catatan Kaki:

[1] “Malcolm uses the 1954 Bandung Conference of African and Asian nations as a model for black unity in America”, dari laman http://ccnmtl.columbia.edu/projects/mmt/mxp/speeches/mxt26.html, diakses 26 April 2018.

[2] Norman (Otis) Richmond, “The Legacy of Bandung”, dari laman http://www.blackcommentator.com/141/141_bandung.html, diakses 27 April 2018.

[3] “Malcolm uses the 1954 Bandung Conference of African and Asian nations as a model for black unity in America”, Ibid.

[4] Douglas Matus, “What Colonies Were Ruled by Japan?”, dari laman https://classroom.synonym.com/colonies-were-ruled-japan-22423.html, diakses 27 April 2018.

[5] Eric Foner dan John A. Garraty, Editors, The Reader’s Companion to American History, (Copyright © 1991 by Houghton Mifflin Harcourt Publishing Company. All rights reserved), dalam “Malcolm X”, dari laman https://www.history.com/topics/black-history/malcolm-x, diakses 14 Maret 2018.

[6] Malcolm X dan Alex Haley, The Autobiography of Malcolm X, (Ballantine Books: New York 1992), hlm 104-112.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*