Malcolm X (16): Tentang Konferensi Asia Afrika, Pesan untuk Akar Rumput (1)

in Tokoh

Last updated on April 27th, 2018 01:09 pm

“Dari hasil konferensi Bandung, itu benar-benar menyajikan sebagai contoh untuk prosedur yang sama yang dapat anda gunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah kita (Negro Amerika Serikat).”

~Malcolm X

Presiden Soekarno ketika membuka Konferensi Asia Afrika di Bandung, pada 18 April 1955.

Dalam artikel kali ini, kita akan sedikit melompat dari kehidupan pribadi Malcolm X. Bertepatan dengan momen peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung yang ke-63, kita akan membahas pemikiran Malcolm terkait konferensi tersebut. Nyatanya, tokoh kharismatik tersebut mempunyai impresi khusus terhadap KAA. Dalam pidatonya yang berjudul “Message to the Grass Roots” (Pesan untuk Akar Rumput) di Detroit pada 10 November 1963, dia membahas tentang KAA. Namun, sebelum masuk ke sana, kita akan bahas dulu sekilas mengenai KAA.

 

Sekilas Mengenai KAA

Setelah Perang Dunia II berakhir pada Agustus 1945, segala persoalan dan pertikaian di dunia tidak berakhir begitu saja. Meskipun demikian, beberapa negara jajahan mengambil momentum tersebut untuk memerdekakan diri, misalnya saja Indonesia (17 Agustus 1945), Republik Demokrasi Vietnam (2 September 1945), Filipina (4 Juli 1946), Pakistan (14 Agustus 1947), India (15 Agustus 1947), dan lain-lain.

Sementara itu, negara-negara lain masih berjuang untuk kemerdekaan, seperti Aljazair, Tunisia, Maroko, Kongo, dan di beberapa wilayah Afrika lainnya. Beberapa Negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah sisa penjajahan seperti daerah Irian Barat, Kashmir, Aden, dan Palestina. Selain itu konflik antar kelompok masyarakat di dalam negeri pun masih berkecamuk akibat politik devide et impera.

Selain itu, dua negara super power, Amerika Serikat dan Uni Soviet, terlibat dalam perang dingin, dan mereka berdua memecah belah dunia dengan polarisasi pengaruhnya. Dalam tensi yang lebih tinggi, perang dingin bahkan menimbulkan perang terbuka seperti di Jazirah Korea dan Indo-Cina. Perlombaan pengembangan senjata nuklir pun meningkat. Hal tersebut membuat dunia khawatir akan munculnya Perang Dunia III.

Di tengah situasi seperti itu, beberapa negara yang telah merdeka berinisiatif untuk mempromosikan perdamaian. Presiden Indonesia pada waktu itu, Soekarno, melalui Perdana Menterinya, Ali Sastroamidjojo, mendorong keinginan tersebut ke dalam tataran yang lebih konkrit, yakni menyelenggarakan konferensi negara-negara Asia dan Afrika.

Singkat kata, KAA berhasil diselenggarakan di Bandung pada 18 April 1955. Sebanyak 29 negara dari Asia dan Afrika hadir sebagai peserta dalam konferensi tersebut, negara-negara tersebut adalah: Afghanistan, Indonesia, Pakistan, Birma, Iran, Filipina, Kamboja, Irak, Iran, Arab Saudi, Ceylon (sekarang Sri Lanka), Jepang, Sudan, Republik Rakyat Tiongkok (sekarang China), Yordania, Suriah, Laos, Thailand, Mesir, Libanon, Turki, Ethiopia, Liberia, Vietnam (Utara), Vietnam (Selatan), Pantai Emas (sekarang Ghana), Libya, India, Nepal, dan Yaman.[1]

Warga Bandung ketika menyambut peserta konferensi.

Dalam pidato pembukaan KAA, Soekarno mengatakan, “kita semuanya, saya yakin, adalah dipersatukan oleh hal-hal yang lebih penting daripada yang tampaknya memisahkan kita. Kita bersatu, misalnya oleh sikap yang sama dalam membenci kolonialisme dalam bentuk apa saja ia muncul. Kita bersatu oleh sikap yang sama dalam hal membenci rasialisme. Dan kita bersatu karena ketetapan hati yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. Bukanlah tujuan-tujuan itu termaktub dalam surat undangan yang telah Tuan-tuan penuhi?”[2]

Dari KAA, para negara peserta merumuskan 10 poin pernyataan politik yang disebut dengan Dasasila Bandung. Poin-poinnya adalah sebagai berikut ini:

  1. Menghormati hak-hak asasi manusia dan menghormati tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.
  2. Menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah semua negara.
  3. Mengakui persamaan derajat semua ras serta persamaan derajat semua negara besar dan kecil.
  4. Tidak campur tangan di dalam urusan dalam negeri negara lain.
  5. Menghormati hak setiap negara untuk mempertahankan dirinya sendiri atau secara kolektif, sesuai dengan Piagam PBB.
  6. (a) Tidak menggunakan pengaturan-pengaturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus negara besar mana pun.
    (b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain mana pun.
  7. Tidak melakukan tindakan atau ancaman agresi atau menggunakan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara mana pun.
  8. Menyelesaikan semua perselisihan internasional dengan cara-cara damai, seperti melalui perundingan, konsiliasi, arbitrasi, atau penyelesaian hukum, ataupun cara-cara damai lainnya yang menjadi pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
  9. Meningkatkan kepentingan dan kerja sama bersama.
  10. Menjunjung tinggi keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.[3]

 

Pidato Malcolm X, Pesan untuk Akar Rumput

Malcolm X, atau yang kemudian mengubah namanya menjadi El-Hajj Malik El-Shabazz setelah naik haji pada tahun 1964, mempunyai kesan tersendiri terhadap KAA.[4] Dalam konferensi Northern Negro Grass Roots Leadership, di Gereja King Solomon Baptist, Detroit, Amerika Serikat pada 10 November 1963, Malcolm berbicara mengenai KAA. Bahkan dia mengatakan bahwa KAA adalah sebuah contoh perjuangan yang patut untuk ditiru oleh orang-orang kulit hitam di Amerika Serikat. Berikut ini adalah pidato lengkap Malcolm X dalam acara tersebut:

“Di Bandung, kembali ke, saya pikir (pada tahun) 1954 (tepatnya pada tahun 1955—pen), adalah pertemuan persatuan pertama orang kulit hitam setelah berabad-abad. Dan setelah anda mempelajari apa yang terjadi di konferensi Bandung, dan dari hasil konferensi Bandung, itu benar-benar menyajikan sebagai contoh untuk prosedur yang sama yang dapat anda gunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah kita.

“Di Bandung semua negara datang bersama-sama…. dari Afrika dan Asia. Beberapa dari mereka beragama Budha, beberapa di antaranya beragama Islam, beberapa di antaranya beragama Kristen, sebagian lagi penganut Konghucu, sebagian lagi Atheis. Terlepas dari perbedaan agama mereka, mereka datang bersama. Ada yang Komunis, ada yang Sosialis, ada yang Kapitalis – terlepas dari perbedaan ekonomi dan politik mereka, mereka datang bersama. Semuanya berwarna (kulit) hitam, coklat, merah, atau kuning….”[5] (PH)

Bersambung ke:

Malcolm X (17): Tentang Konferensi Asia Afrika, Pesan untuk Akar Rumput (2)

Sebelumnya:

Malcolm X (15): Menikahi Betty Shabazz (2)

Catatan Kaki:

[1] “Sejarah Konferensi Asia Afrika”, dari laman http://asianafricanmuseum.org/sejarah-konferensi-asia-afrika/, diakses 26 April 2018.

[2] “KAA 1955, Ini Pidato Lengkap Sukarno dalam bahasa Indonesia”, dari laman https://dunia.tempo.co/read/659761/kaa-1955-ini-pidato-lengkap-sukarno-dalam-bahasa-indonesia, diakses 26 April 2018.

[3] “Sejarah Konferensi Asia Afrika”, Ibid.

[4] Malcolm X dan Alex Haley, The Autobiography of Malcolm X, (Ballantine Books: New York 1992), hlm 254.

[5] “Malcolm uses the 1954 Bandung Conference of African and Asian nations as a model for black unity in America”, dari laman http://ccnmtl.columbia.edu/projects/mmt/mxp/speeches/mxt26.html, diakses 26 April 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*