“Kematian yang merupakan tahap yang niscaya terjadi tetapi tidak selalu bisa terditeksi memiliki nilai kepastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri. Faktor kematian sebagai keniscayaan merupakan dasar untuk mengukur dan memprediksi peluang-peluang yang dimunculkan oleh kehidupan. Dalam sistem manajemen yang demikian, bila peluang dapat diduga bertentangan dengan suatu keniscayaan, maka betapapun besarnya peluang itu, ia tetap mesti diabaikan.”
—Ο—
Kematian pada hakikatnya tidaklah berpola, melainkan bergerak melalui putik-putik yang samar, merambati hari-hari suka dan duka manusia. Ubun-ubun bumi dan langit ada dalam jangkauannya, sehingga tak ada yang dapat selamat dari kejarannya. Pembasmiannya terhadap si muda belia tidak lebih lambat ketimbang terhadap orang tua bangka. Ada saat-saat dimana kematian menciptakan kisah horror yang sungguh menakutkan, dan ada saat-saat dimana kematian menebarkan keharuan yang menyayat sukma.
Kehidupan adalah gelombang laut kematian yang selalu menerpa para penumpang kapal yang berlayar di atasnya. Seberapa kuat sebuah kapal bisa bertahan dalam terpaan gelombang ombak samudera yang amat dahsyat?! Seberapa lama penumpang dapat bertahan di kapal yang terus terombang ambing oleh ombak dan badai laut yang menyudutkan, mengolengkan, menampar, melontarkan, dan membuang makanan yang tersisa? Seberapa jauh perjalanan yang dapat ditempuh dengan perahu reot yang sudah rusak oleh tingkah para penumpangnya sendiri? Apa yang dapat diharapkan dari sebuah perjalanan penuh gonjang-ganjing ini? adakah nahkoda “banci” yang berjiwa kerdil dan penumpang yang terus berulah dapat memberi harapan akan kekalnya perjalanan?
Dalam buku prosa mistis Manthiq Ath-Thayr, Fariduddin Ath-Thar menukil sebuah kisah menarik berikut:[1]
Seorang raja mendirikan sebuah istana yang menghabiskan biaya ratusan ribu dinar. Di sebelah luarnya, istana itu dihiasi dengan menara-menara dan kubah-kubah yang bersepuhkan emas, sedangkan perabotan dan permadani membuat ruang dalamnya serasa di dalam surga. Setelah rampung dibangun, sang raja mengundang segenap orang dari semua negeri untuk mengunjunginya. Orang-orang ini datang dengan berbagai hadiah sebelum menuju ke tempat duduknya masing-masing. Setelah dipersilahkan duduk, raja bertanya kepada mereka: “Katakan, bagaimana pendapat kalian tentang istanaku ini? adakah sesuatu yang terlupa, yang dapat merusak atau mengurangi keindahannya”
Serempak hadirin menyatakan bahwa belum ada istana semacam ini dan takkan ada kembarannya di dunia. Semua menyatakan demikian kecuali seorang arif yang bangkit dan berkata: “Ada satu celah kecil yang menurut pendapat hamba merupakan cacat, Tuanku. Andaikan tak ada cacat ini, surga itu sendiripun akan memberikan hadiah-hadiahnya kepada tuanku dari dunia gaib.”
“Aku tidak melihat cacat itu,” kata sang Raja murka. “Kau orang bodoh! Dan kau ingin agar dirimu tampak penting.”
“Tidak, Raja yang sombong!” jawab si arif itu, “Celah yang kusebut itu ialah celah yang akan dilalui Izrail, malaikat pencabut nyawa, bila ia datang nanti. Semoga Tuhan berkenan, tuanku dapat menutup celah itu. Sebab, jika tidak, apakah gunanya istana, mahkota, dan singgasana tuanku yang megah ini. Bila maut datang, semuanya akan menjadi segenggam debu. Tak satupun yang tetap bertahan lama, dan celah itulah yang akan merusak tempat bersemayam tuanku. Tiada kepandaian untuk membuat kekal apa yang tak kekal.”
Kematian adalah faktor yang mengerakan orang-orang bijak untuk meninggalkan semua kepalsuan dan kesementaraan menuju Keabadian dan Kehidupan Hakiki. Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Apabila keadaan (fisik)-mu makin mundur sedang maut terus datang mengejar di belakang mu, maka alangkah cepatnya pertemuan akan terjadi.” Imam Hasan bin Ali berkata: “Aku belum pernah melihat seorang bijak yang tidak khawatir akan kedatangan mati atau bersedih karenanya.” Tidak mengkhawatirkan kematian berarti melalaikan sesuatu yang paling pasti dalam kehidupan, sementara bersedih karenanya berarti mengingkari kepastian. Dalam Metode Menjemput Maut, Al-Ghazali bertutur:”Adalah kewajiban orang yang memandang kematian sebagai kefanaannya, ….untuk tidak memikirkan apapun selain kematian.”[2]
Namun, ironisnya, di dunia saat ini, dan barangkali sudah sejak zaman pubakala, hal ikhwal seperti gaya, fashion, kekayaan, gelar, kesuksesan, dan sebagianya dianggap lebih nyata ketimbang kematian. Orang akan jauh lebih terdorong untuk mengejar dan mengantisipasi kesemua-kesemuan semacam itu daripada kepastian yang bernama kematian. Inilah paradoks yang ditimbulkan oleh apa yang disebut oleh orang-orang pandir sebagai kamajuan dan modernitas. Semua ini terjadi sedemikian rupa sehingga banyak orang yang merasa tidak akan mati atau setidaknya berilusi bahwa ia akan hidup selamanya. Dalam konteks itulah Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 96 berfirman:
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling rakus kepada kehidupan (di dunia), bahkan (seperti) orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar dipanjangkan umurnya sampai seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkan mereka daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Ilusi hidup kekal ini boleh jadi bermula dari angan-angan orang-orang modern untuk menguasai dan menikmati seisi dunia. Adalah paradoks bila modernisme yang pada awalnya lahir untuk mengangkat derajat keberadaban (civility) manusia justru terjerumus pada labirin kerakusan merengkuh dunia. kerakusan suatu golongan pada kehidupan menunjukkan rendahnya tingkat peradaban mereka, karena semua itu menggambarkan kerendahan pola pikir dan ketakmampuan mereka mentransendensikan nilai kehidupan (fisik) ini kepada kehidupan (non-fisik) setelah kematian.
Untuk memecahkan problem-problem yang dilahirkan oleh nestapa modernisme, manusia perlu kembali untuk lebih banyak melihat dan merenungkan kematian. Mereka harus lebih sering mengingat kepastian datangnya kematian, ketimbang peluang-peluang yang dihadirkan oleh kehidupan ini. Mereka harus menerapkan apa yang oleh sebagian ahli manajemen mutahir disebut dengan management by death. Yakni, manajemen yang prinsip utamanya adalah kepastian mati dan darinya diturunkan prinsip-prinsip kehidupan ini.[3]
Berpijak pada management by death (manajemen dengan kematian), kematian yang merupakan tahap yang niscaya terjadi tetapi tidak selalu bisa terditeksi memiliki nilai kepastian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri. Faktor kematian sebagai keniscayaan merupakan dasar untuk mengukur dan memprediksi peluang-peluang yang dimunculkan oleh kehidupan. Dalam sistem manajemen yang demikian, bila peluang dapat diduga bertentangan dengan suatu keniscayaan, maka betapapun besarnya peluang itu, ia tetap mesti diabaikan. Dengan demikian, semua peluang kenikmatan, kebahagian, kehormatan, kekayaan, kejayaan dan sebagainya dalam kehidupan yang sementara ini tidak boleh bertentangan dengan keniscayaan kesementaraan hidup dan datangnya kematian. Semua peluang itu mesti disesuaikan dengan apa yang pasti bakal terjadi setelah ajal menimpa manusia.
Dalam sistem manajemen ini, kematian diungkapkan sebagai kesempurnaan dan tertunaikannya suatu tahapan. Kematian adalah saat sempurnanya tugas ruh mendayagunakan tubuh yang ditandai dengan pergi atau naiknya ruh itu ke alam berikutnya. Karena itu, alam setelah kematian disebut dengan al-akhirah (tahap berikut), sedang tahap kehidupan disebut dengan ad-dunya (alam rendah yang dekat). Dalam sistem yang demikian, semua sumber daya dan peluang yang tersedia dalam kehidupan ini merupakan modal untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik di “tahap berikut” (al-akhirah).
Prinsip-prinsip lain dalam management by death ini terdapat dalam kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berikut: “Tiada harta yang lebih berharga daripada akal. Tiada kesendirian yang lebih sepi daripada keangkuhan diri. Tiada kebijakan yang lebih baik daripada hidup sederhana dan terencana. Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi daripada ketakwaan. Tiada kawan yang lebih karib daripada keluhuran budi. Tiada harta warisan yang lebih besar daripada pendidikan. Tiada petunjuk jalan lebih baik daripada taufik Allah. Tiada perdagangan lebih menguntungkan daripada amal shaleh. Tiada laba melebihi pahala Allah… Tiada kehormatan diri lebih baik daripada kerendahan hati. Tiada kesejahteraan lebih baik daripada ilmu. Tiada kekayaan lebih baik daripada kemuliaan hati. Dan tiada dukungan yang lebih baik daripada nasehat yang tulus.” (MK)
Catatan kaki:
[1] Lihat, Faridu’d-din Attar, Musyawarah Burung, diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja, Cet. 2, Jakarta, Pustaka Jaya, 1986.
[2] Lihat, al-Ghazali, Metode Menjemput Maut: Perspektif Sufistik, Bandung: Mizan, 2002.
[3] Lihat, Paul Wong, Meaning Management Theory and Death Acceptance, http://www.drpaulwong.com/meaning-management-theory-and-death-acceptance/, diakses 24 Juni 2018