“Agaknya kita perlu menarik perspekif untuk melacak jejak perjalanan Salman Al Farisi. Besar kemungkinan, dia sudah menarget pertemuan dengan Rasulullah SAW. Mengingat berita kedatangan beliau SAW memang kerap disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu. Besar kemungkinan, sosok inilah yang memukaunya selama bertahun-tahun.”
—Ο—
Setelah pendeta pertama yang diikuti Salman wafat, masyarakat kemudian mengganti pendeta mereka. Dan kali ini, Salman seperti menemukan sosok yang tepat. Salman lalu melanjutkan kisahnya:
“Demi Allah saya tidak pernah melihat seseorang yang shalat lima waktu lebih baik darinya; tidak juga seseorang yang lebih zuhud dari kehidupan dunia ini dan sangat condong kepada akhirat, tidak juga seseorang yang lebih bersungguh-sungguh bekerja siang dan malam (dibanding dengannya). Saya mencintainya lebih daripada orang lain yang saya cintai sebelumnya.”
Tampaknya kali ini Salman menemukan sosok yang dicarinya. Dia mulai melihat ayat-ayat di kitab suci tersebut tidak hanya meluncur dari lidah sosok tersebut, tapi juga terobjektifikasi dalam tingkah laku. Sebagaimana Salman mencintai kebenaran, maka sudah tentu dia mencintai apa-apa yang menjadi manifestasi kebenaran tersebut. Demikianlah kecintaan Salman terhadap gurunya tersebut.
Hanya sayang, perjodohan guru dan murid ini tidak berlangsung lama. Salman menceritakan:
“Saya tinggal bersamanya selama beberapa waktu sebelum dia meninggal. Ketika ajalnya hampir tiba saya berkata kepadanya, “Wahai fulan, saya tinggal bersamamu dan mencintaimu lebih dari apapun yang saya cintai sebelumnya. Kini takdir Allah (yakni kematian) telah tiba, apa yang engkau wasiatkan kepadaku agar kupegang, dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?”
“Sang pendeta berkata, ‘Demi Allah, orang-orang telah merugi; mereka telah merubah dan mengganti (agama) apa yang mereka berada di atasnya. Saya tidak mengetahui seorang pun yang masih berpegang kepada agama yang saya berada di atasnya kecuali seorang laki-laki di Musil (Saat ini bernama Mosul, sebuah kota di Irak Utara), maka bergabunglah dengannya.’ (dan dia memberikan Salman nama orang tersebut).
Salman demikian rendah hati. Meski sudah berkhidmat pada guru terbaik pada masanya, tetap saja dia tak puas. Dia ingin selalu ingin berdekatan dan bernaung di bawah panji kebenaran, hingga satu titik yang diapun belum mengetahui dimana. Tampaknya dia sudah sangat jauh melangkah dalam perenungannya. Dia seperti sudah mulai meraba satu visi keyakinan yang ingin diraih, bagaimanapun caranya.
Salman lalu melanjutkan kisahnya:
Ketika pendeta itu meninggal, Salman berangkat ke al-Musil dan bertemu dengan orang yang disebutkan. “Saya berkata kepadanya, “Fulan, pada saat kematiannya mewasiatkan kepadaku untuk bergabung bersamamu. Dia berkata engkau berpegang pada (agama) yang sama dengannya.’Laki-laki Musil tersebut berkata kepada Salman untuk tinggal bersamanya. ‘Saya tinggal bersamanya dan mendapati dirinya seseorang yang terbaik yang berpegang kepada perkara (agama) sahabatnya.’” “Lalu dia meninggal,” kata Salman. Ketika ajal mendatanginya, Salman meminta kepadanya (sebagaimana yang dia lakukan sebelumnya dengan sahabatnya yang pertama) untuk mewasiatkan orang lain yang berada di atas agama yang sama. Laki-laki itu berkata, “Demi Allah! Saya tidak mengenal seseorang pada perkara (agama) yang sama seperti kami kecuali seorang laki-laki di Nasibin dan namanya adalah (fulan bin fulan), maka pergi dan bergabunglah dengannya.”
“Setelah kematiannya, saya melakukan perjalanan menuju kepada laki-laki dari Nasibin.” Salman menemukan orang tersebut dan tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Peristiwa yang sama terjadi. Ajal menghampiri, dan sebelum orang itu meninggal, Salman datang kepadanya dan bertanya akan wasiatnya kepada siapa dan kemana dia pergi. Laki-laki tersebut mewasiatkan Salman untuk bergabung dengan seorang laki-laki lain di Amuriyah yang juga berada di atas agama yang sama. Salman pindah ke Amuriyah setelah kematian sahabatnya. Dia menemukan orang yang di dimaksudkan dan bergabung bersamanya dalam agamanya. Salman (pada saat itu) bekerja dan, mendapatkan beberapa ekor sapi dan dan seekor kambing.’
Ajal mendekati laki-laki Amuriyah tersebut. Salman mengulang permintaannya, tetapi (kali ini) jawabannya berbeda. Laki-laki itu berkata, “Wahai anakku! Saya tidak mengenal seorang pun yang berpegang pada perkara (agama) yang sama dengan kita. Namun demikian, seorang Nabi akan datang pada masa kehidupanmu, dan Nabi ini berada pada agama yang sama dengan agama Ibrahim.”
Laki-laki itu menggambarkan Nabi ini, berkata, “Dia akan diutus dengan agama yang sama dengan (agama) Ibrahim. Dia akan datang di negeri Arab dan akan hijrah ke wilayah antara dua wilayah yang dipenuhi oleh batu-batu hitam (seolah telah terbakar api). Ada pohon-pohon kurma tersebar ditengah-tengah kedua tanah ini. Dia dapat dikenali dengan tanda-tanda tertentu. Dia (akan menerima) dan makan (dari) makanan yang diberikan sebagai hadiah, tetapi tidak akan makan dari sedekah. Stempel kenabian akan berada diantara pundaknya. Jika engkau dapat pindah ke negeri itu, maka lakukanlah.”
Sampai di sini, agaknya kita perlu menarik perspekif untuk melacak jejak perjalanan Salman Al Farisi. Besar kemungkinan, dia sudah menarget pertemuan dengan Rasulullah SAW. Mengingat berita kedatangan beliau SAW memang kerap disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu. Besar kemungkinan, sosok inilah yang memukaunya selama bertahun-tahun. Ini sebabnya, Salman tak pernah ingin jauh dengan sosok-sosok yang juga merindukan kehadiran Rasulullah SAW di tengah-tengah mereka.
Salman terus melangkah dari satu pembimbing ke pembimbing lainnya. Dengan segala daya upaya, Salman berusaha menahan laju usianya, agar berkesempatan bertemu dengan sosok agung ini. Satu persatu sang guru pergi meninggalkannya, hingga akhirnya sosok yang diharapkan mulai menunjukkan tanda-tanda kedatangan. Sepertinya, ini juga yang membuatnya tak jemu untuk berkhidmat dari satu pembimbing ke pembimbing lainnya. Tampaknya dia sedang berjuang memantaskan diri, agar layak untuk berkhidmat pada Sang Maha Guru Kebijaksaan. (AL)
Bersambung ke:
Sebelumnya: