Salman Al Farisi: Hikayat Sang Pencari Kebenaran (5)

in Tokoh

Last updated on June 26th, 2018 06:53 am

Dan sosok yang ditunggupun akhirnya tiba. Selama bertahun-tahun dia hanya bisa menciumi nama Muhammad yang tertera di kitab suci. Dia senantiasa berdoa, agar Allah SWT memberikan kesempatan untuk berhikmat pada Nabi Suci junjungan seluruh alam. Salman ingin memegang jubah beliau, memunguti butir pasir sisa jejak kaki beliau, dan menempelkan selembar kulitnya yang hina pada kulit mulia Rasulullah SAW. Agar kelak kulit tersebut bisa bersaksi di hadapan Tuhannya, bahwa ia pernah disentuh oleh rahmat seluruh alam.

–O–

 

Salman melanjutkan kisahnya:

Laki-laki itu meninggal dan Salman tinggal di Amuriyah. Suatu hari, “Beberapa pedagang dari Bani Kalb melewatiku,” Salman berkata, “Saya berkata kepada mereka, ‘Bawalah saya ke negeri Arab dan saya akan memberikan sapi-sapi dan kambing yang aku miliki.’” Mereka berkata, “Baiklah.” Salman memberikan kepada mereka apa yang dia tawarkan, dan mereka pun membawa Salman ikut bersama mereka. Ketika mereka mendekati Wadi Al-Qura (dekat dengan Madinah), mereka menjualnya sebagai budak kepada seorang Yahudi. Salman tinggal bersama Yahudi tersebut, dan dia melihat pohon-pohon kurma (yang digambarkan oleh sahabatnya sebelumnya). “Saya berharap ini adalah tempat yang sama dengan yang digambarkan sahabatku,kata Salman.

Suatu hari, seorang laki-laki yakni sepupu majikan Salman dari suku Yahudi Bani Quraidha di Madinah datang berkunjung. Dia membeli Salman dari majikan Yahudi-nya, “Dia membawaku ke Madinah. Demi Allah! Ketika saya melihatnya, saya tahu itulah tempat yang disebutkan oleh sahabatku.” “Kemudian Allah mengutus Rasul-Nya (yakni Muhammad). Dia tinggal di Makkah selama beberapa waktu.

Saya tidak mendengar apapun tentangnya karena saya sangat sibuk dengan pekerjaan sebagai budak, dan kemudian beliau hijrah ke Madinah.” Lebih lanjut Salman berkata, “(Suatu hari) saya sedang berada di atas pohon kurma di puncak salah satu rumpun kurma melakukan beberapa pekerjaan untuk majikanku. Saudara sepupunya datang kepadanya dan berdiri di hadapannya (majikan Salman sedang duduk) dan berkata, ‘Celaka Bani Qilah (orang-orang dari suku Qilah), mereka berkumpul di Quba di sekitar seorang laki-laki yang datang hari ini dari Makah mengatakan (dirinya sebagai) seorang Nabi!”

Dan sosok yang ditunggupun akhirnya tiba. Kita bisa membayangkan kerinduan Salman pada Sang Nabi. Selama bertahun-tahun dia hanya bisa menciumi nama Muhammad yang tertera di kitab suci. Dia senantiasa berdoa, agar Allah SWT memberikan kesempatan untuk berkhidmat pada Nabi suci junjungan seluruh alam. Salman ingin memegang jubah beliau, memunguti butir pasir sisa jejak kaki beliau, dan menempelkan selembar kulitnya yang hina pada kulit mulia Rasulullah SAW. Agar kelak kulit tersebut bisa bersaksi di hadapan Tuhannya, bahwa ia pernah disentuh oleh rahmat seluruh alam.

Salman lalu menceritakan guncangan yang terjadi pada jiwanya ketika pertama kali mendengar Nabi Muhammad SAW sudah tiba di Madinah:

Saya bergetar hebat ketika mendengarnya hingga saya khawatir saya akan jatuh menimpa majikanku. Saya turun dan berkata, “Apa yang engkau katakan? Apa yang engkau katakan?” Majikanku menjadi marah dan memukulku dengan pukulan yang kuat seraya berkata, “Apa urusanmu mengenai ini? Pergi dan kerjakanlah pekerjaanmu!” Saya berkata, “Tidak, saya hanya ingin memastikan apa yang telah ia katakan”.

Kita tidak bisa membayangkan betapa berbunga hati Salman setelah mendengar kedatangan Rasulullah SAW ke Madinah. Sudah berpuluh tahun bahkan abad dia lalui, seraya memendam rindu yang tak tertanggungkan. Kali ini, hanya tinggal sejengkal lagi mimpinya akan menjadi kenyataan. Dia sekarang berada di atas bumi yang sama, di satu kota yang sama dengan junjungannya. Tapi ada beberapa hal lagi yang perlu dia pastikan. Meski diliputi oleh kegembiraan, tapi nalar kritis Salman tidak bisa digoyang. Dia harus menguji keotentikan siapapun yang mengaku sebagai Rasulullah tersebut. Salman lalu mengisahkan:

Pada malam itu, saya pergi untuk menemui Rasulullah ketika beliau berada di Quba. Saya membawa serta– apa yang saya simpan. Saya masuk dan berkata, ‘Saya telah diberitahu bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang shalih dan para sahabatmu adalah orang-orang asing yang membutuhkan. Saya ingin memberikan kepadamu sesuatu yang saya simpan sebagai sedekah. Saya melihat kalian berhak mendapatkannya lebih daripada orang yang lain.’” Salman berkata, “Saya menawarkan kepadanya; dia berkata kepada para sahabatnya, ‘Makanlah,’ tetapi dia sendiri menjauhkan tangannya (yakni tidak makan). Saya berkata kepada diriku sendiri, ‘Inilah dia (yakni salah satu tanda-tanda kenabiannya).

Setelah pertemuannya dengan Nabi, Salman kembali untuk mempersiapkan ujian berikutnya! Kali ini dia membawa hadiah untuk Nabi di Madinah. “Saya melihat engkau tidak makan dari sedekah, karena itu (ambillah) hadiah ini yang dengannya saya ingin menghormati engkau.” Nabi makan darinya dan memerintahkan para sahabatnya untuk melakukannya, yang diikuti oleh mereka. Saya berkata kepada diriku, ‘Sekarang ada dua (yakni dua tanda kenabian).’”

Tinggal satu tanda lagi yang harus dipastikannya, maka tibalah Salman pada impiannya.

Pada pertemuan ketiga, Salman datang ke Baqi’ul Gharqad (tempat pemakaman para sahabat Nabi) dimana Nabi  sedang menghadiri pemakanan salah seorang sahabatnya.

Salman berkata,“Saya menyapanya (dengan sapaan Islam: ‘Assalamu’alaikum’), dan kemudian berputar ke belakangnya hendak melihat stempel (kenabian) yang digambarkan kepadaku oleh sahabatku. Ketika beliau melihatku, beliau mengetahui bahwa saya sedang berusaha membuktikan sesuatu yang digambarkan kepadaku. Beliau melepaskan kain dari punggungnya dan saya melihat stempel itu. Saya mengenalinya. Saya membungkuk, menciumnya dan menangis.

Hanya Allah SWT, Rasulullah SAW, dan Salman saja yang tahu betapa haru birunya perasaan Salman ketika itu. Kita bisa membayangkan, betapa Salman sudah berusaha keras membangun kepantasan dirinya, melintasi jarak ribuan kilometer, meniti arus waktu, serta menanti di dalam pengapnya perbudakan dan pengkhidmatan pada orang lain. Tapi semua itu memang sepadan. Karena mimpinya memang sangat besar, yaitu bertemu dengan mahluk paling mulia di jagad penciptaan. Ia ingin menjadi pelayannya, dan mendengar langsung kalam Ilahi (Al Haq) meluncur langsung dari mulut suci Sang Nabi.

Dan Rasul yang mulia, sangat memahami keindahan jiwa Salman, berikut kisah perjalanannya.  Beliau SAW melunasi semua pengorbanan Salman dengan memasukkannya ke dalam anggota keluarga beliau (Ahl Bait), dalam salah satu derajat dan kedudukan yang terdekat di sisinya. (AL)

Bersambung…

Salman Al Farisi: Hikayat Sang Pencari Kebenaran (6)

Sebelumnya:

Salman Al Farisi: Hikayat Sang Pencari Kebenaran (4)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*