Mozaik Peradaban Islam

Salman Al Farisi: Hikayat Sang Pencari Kebenaran (6)

in Tokoh

Rasulullah SAW bersabda: “Salman adalah bagian kami, anggota keluargaku (Ahlul Bait).”

—Ο—

 

Setelah bertemu dengan Rasulullah SAW dan meluapkan kerinduannya, Salman kemudian menceritakan kisahnya kepada Rasulullah SAW.

Salman lalu melanjutkan ceritakan pada Ibnu Abbas:

Rasulullah memerintahkanku untuk berbalik (yakni berbicara kepadanya). Saya menceritakan kisahku sebagaimana yang saya kisahkan kepadamu, Ibnu Abbas (ingat bahwa Salman sedang menceritakan kisahnya kepada Ibnu Abbas). Beliau sangat menyukainya sehingga memintaku menceritakan seluruh kisahku kepada para sahabatnya.

Ibnu Abbas lalu melanjutkan riwayatnya:

”Dia masih menjadi milik (budak) majikannya. Dia tidak ikut dua peperangan menghadapi kaum kafir Arab. Nabi  berkata kepadanya, “Buatlah perjanjian (dengan tuanmu) untuk kebebasanmu, hai Salman.” Salman mematuhi dan membuat perjanjian (dengan tuannya) untuk kebebasan nya. Dia mendapatkan persetujuan dengan majikannya dimana dia akan membayar majikannya 40 ukiyah emas dan berhasil menanam 300 pohon kurma yang baru. Nabi berkata kepada para sahabatnya, “Bantulah saudaramu.”

 Mereka membantunya dengan pohon kurma dan mengumpulkan baginya jumlah yang diminta. Nabi memerintahkan Salman untuk menggali lubang yang cukup untuk menanam bibit, dan beliau menananam setiap bibit dengan tangannya sendiri. Salman berkata. “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak satupun pohon yang mati.” Salman memberikan pohon-pohon tersebut kepada majikannya. Nabi memberi Salman emas sebesar telur ayam dan berkata, “Bawalah ini, Wahai Salman, dan bayarlah utangmu.” Salman berkata: “Berapa banyak ini dibandingkan dengan jumlah hutangku?” Nabi bersabda: “Ambillah! Sesungguhnya Allah akan mencukupkan sejumlah hutangmu.” Saya mengambilnya dan menimbang sebagiannya dan ia seberat 40 ukyah. Salman memberikan emas itu kepada tuannya. Dia telah memenuhi perjanjian dan dia dibebaskan.

Dan demikianlah kisah Salman, hingga sampai pada kita saat ini. Ia tercatat tidak hadir dalam perang Badr dan Uhud disebabkan masalah perbudakannya dengan majikannya belum selesai. Namun begitu masalah yang lilitnya selesai, ia langsung bergabung dengan kaum Muslimin dalam perang Khandaq. Sebuah perang paling berat dan sangat menguji keimanan kaum Muslimin. Keadaan kaum Muslimin ketika itu dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:

“Hai orang-orangyang beriman, ingatlah nikmat Allah kepada kamu ketika datang kepada kamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin kencang dan tentara-tentara yang tidak kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. Ketika itu, mereka datang kepada kamu dari atas dan dari bawah kamu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan dan hati telah melonjak naik sampai ke tenggorokan-tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan dengan goncangan yang dahsyat.” (Q.S. al-Ahzab [33]: 9-11)

Dari ayat ini pula kemudian Perang Khandaq kerap disebut juga sebagai Perang al-Ahzab. Demikian mencekamnya perang tersebut, hingga sebagaian sahabat ada yang terlambat sholat tepat waktu teralihkan perhatiannya pada situasi yang sangat tidak menentu tersebut.[1] Tapi Allah mengilhamkan kepada Salman, hambaNya yang sudah larut sejak jauh hari dalam kecintaan pada Kebenaran, sebuah ide yang tidak pernah terlintas dipikiran kaum kafir Mekah kala itu. Dan akhirnya menuntaskan peperangan tersebut dengan kemenangan di pihak kaum Muslimin.

Dari sini jugalah kemudian nama Salman demikian diingat oleh para sahabat. Salman langsung dikagumi, sekaligus juga dicintai oleh para sahabat. Pernah suatu ketika, kaum Anshar dan Muhajirin berselisih dan memperebutkan Salman. Mereka masing-masing mengklaim bahwa Salman adalah bagian dari golongan mereka. Namun tiba-tiba Rasulullah SAW menengahi mereka dan bersabda: “Salman adalah bagian kami, anggota keluargaku (Ahlul Bait).” Setelah itu semua sahabat terdiam, dan langsung mengetahui kedudukan Salman yang sebenarnya.[2]

Pernah juga dilain kesempatan, Salman ditanya tentang silsilahnya oleh para sahabat, lantas ia menjawab, “aku adalah Salman bin Islam (putra Islam).” Ia juga dijuluki dengan nama Abu Abdullah, dan kenal luas dengan nama Salman Al-Khair (pelaku kebaikan), karena dia adalah salah satu sahabat yang paling baik, zuhud dan utama.[3]

Salman dikaruniai umur sangat panjang. Mungkin di antara pada sahabat Nabi SAW, beliaulah yang paling panjang umurnya. Meski tidak pasti berapa tahun usianya, namun beliau diperkirakan sudah hidup dan melakukan pencarian kebenaran sejak sebelum Rasulullah SAW lahir ke dunia. Jadi kita bisa memperkirakan, bahwa di antara sekian banyak hamba Allah di segala penjuru dunia yang menanti hadirnya Rasulullah SAW, salah satunya adalah Salman Al Farisi. Tapi berbeda dari sekian banyak para penanti lainnya, Salman tidak hanya menunggu, melain juga mempersiapkan diri sebaik mungkin agar memiliki kelayakan untuk berkhidmat pada mahluk paling mulia dijagad penciptaan ini. Dan Allah SWT memperkanankan doa harapan Salman.

Sejarah mencatat, sejak bertemu dengan Rasulullah SAW, Salman tak sekalipun beranjak dari sisi Rasulullah SAW. Ia selalu menemani beliau, dan tidak pernah absen dalam pertempuran yang dihadapi beliau, hingga wafatnya beliau SAW. Bahkan, beberapa tahun setelah wafatnya Rasulullah, Salman terus berjuang bersama para sahabat lain untuk menegakkan ajaran Islam.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Salman menerima amanat untuk menjadi gubernur di Madain. Kisah-kisah tentang bagaimana zuhudnya Salman sebagai gubernur dicatat dengan tinta emas oleh para sejawan dan banyak bisa ditemukan hingga saat ini. Beliau hidup demikian sederhana, hingga banyak orang yang tak mengenalnya mengira ia adalah salah satu dari fakir miskin di Madain. Namanya harum di tengah masyarakat, dan ia begitu dicintai oleh penduduk Madain.

Setelah berusia lanjut, Salman menderita sakit keras. Kaum Muslimin mengunjunginya dan memohon kepada Allah bagi kesembuhan penyakitnya. Mereka memandangnya dengan rasa cinta, karena Salman mencintai Allah, rakyat, serta banyak berbuat kebaikan.

Menjelang wafatnya Salman Al-Farisi, dia berkata kepada istrinya, “Bawakanlah kepadaku sesuatu yang aku simpan!”  Maka istrinya membawakannya sekantung misk. Kemudian dia menginginkan segelas air. Kemudian dia memasukkan misk kedalam air dan mengaduknya seraya berkata kepada istrinya, “Percikkanlah air ini ke sekitarku! Karena sebagian dari hamba-hamba Allah (malaikat-malaikat) akan datang ke sampingku. Mereka sama sekali tidak makan. Akan tetapi mereka sangat menyukai wewangian.” Dan kemudian dia memerintahkan istrinya untuk keluar. Istrinya melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan kepadanya, dan langsung keluar dari ruangan itu.

Beberapa saat kemudian dari dalam terdengar suara, “Assalamu alaika, wahai wali Allah dan sahabatnya Rasulullah Saw.” Seketika itu istrinya pun langsung masuk ke dalam ruangan dan melihat Salman telah wafat.[4] (AL)

Selesai

Sebelumnya:

Salman Al Farisi: Hikayat Sang Pencari Kebenaran (5)

Catatan kaki

[1] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 11, Jakarta, Lentera Hati, 2005, hal. 232

[2] Lihat, DR. Syauqi Abu Khalil, Altlas Jejak Agung Muhammad SAW; Merasakan Situasi Kehiduapan Nabi SAW, Jakarta, Noura Books, 2015, hal. 67

[3] ibid

[4] Lihat, http://abduljalil.web.ugm.ac.id/2017/07/14/wafatnya-salman-al-farisi-ra/, diakses 23 Juni 2018

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*