Mariam Abou Zahab (1); Mualaf Perancis yang Berjihad di Asia Selatan

in Tokoh

Last updated on January 10th, 2018 09:19 am

Kisah hidup Mariam Abou Zahab lebih dari sekedar kisah seorang perempuan, aktivis, ilmuwan, relawan, atau kisah seorang petualang. Kisahnya adalah kisah seorang Mujahid“.

 —Ο—

 

Pada tahun 2008, sarjana Prancis Mariam Abou Zahab bertemu dengan Abdullah Anas,[1] seorang Islamis Aljazair yang terkenal dan veteran jihad Afghanistan, ketika makan malam di sela-sela sebuah konferensi di London. Pada titik tertentu, percakapan beralih ke Afghanistan. Mariam Abou Zahab, yang sedang bercakap-cakap dalam bahasa Arab, menyebutkan betapa menyedihkan negeri yang selalu berada di hatinya itu. Minat Anas terganggu dan dia bertanya apakah Mariam pernah pergi ke negara yang dilanda perang tersebut selama tahun 1980-an? ia menjawab bahwa ia memang menghabiskan banyak waktu di sana. “Tapi apa yang Anda lakukan di Afghanistan? Apakah Anda seorang jurnalis? ” Tanya Anas, yang hanya dijawab dengan gelengan kepala. Lalu Anas mengajukan beberapa pertanyaan lagi, seraya menyelidiki wanita Perancis yang misterius ini. Apakah dia seorang relawan di sana, atau seorang peneliti? ia bertanya. Tapi Mariam hanya menunjukkan ekspresi biasa dan terus menjawab dengan nada negatif. “Jadi apa yang kamu lakukan di Afghanistan?” Tanyanya putus asa. “Jihad,” jawab wanita paruh baya itu akhirnya sambil tersenyum.

Menurut seorang saksi dalam pertemuan ini, jawaban singkatnya mengejutkan Anas yang masih berjuang melepaskan stigma masa lalunya sebagai figur yang militan. “Dia sangat terkejut sehingga dia tidak berani meminta keterangan yang lebih presisi. Dia hanya mematung di kursinya dan menunggu pembicaraan terus berlanjut,” kenang sang saksi.

Ini bukan pertama kalinya Mariam Jan, sapaan akrabnya di Afganistan, membungkam rasa ingin tau orang lebih jauh tentang dirinya. Bukan berarti dia ingin merahasiakannya – dia hanya berharap orang-orang tidak terlalu menanyakan lebih jauh tentang kehidupan masa lalunya. Karena, seperti kucing, dia telah menjalani beberapa kehidupan sampai kanker akhirnya menyudahi petualangan hebatnya pada tanggal 1 November 2017 di Paris

Kerinduan akan Cakrawala Baru

Mariam Abou Zahab terlahir dengan nama Marie-Pierre Walquemanne pada tahun 1952 di Hon-Hergies, sebuah desa di utara Prancis. Dia berasal dari keluarga industrialis kecil dan dibesarkan di lingkungan Katolik. Merasa agak tertekan dalam lingkungan aslinya, dia mewujudkan keinginan untuk membuka cakrawala baru sejak dini. Pindah ke Paris merupakan langkah awal menuju arah ini. Pada usia 17, dia lulus ujian masuk Institut Studi Politik bergengsi (lebih dikenal dengan “Sciences Po”) dan lulus dalam tiga tahun.

Pada usia 20 tahun, dia menunjukkan kecenderungan untuk bepergian dengan biaya murah – semacam backpacker sekarang. Pada tahun 1972, dia membeli tiket kereta lintas negara-negara Eropa dan menemani kakaknya dalam tur ibu kota Eropa. Seperti yang kemudian dikisahkannya oleh salah satu teman terdekatnya, Marie-France Mourrégot, kedua saudara kandungnya ditahan sebentar oleh polisi Italia setelah mereka ditemukan tidur di sebuah taman. Setelah dibebaskan, mereka kembali ke rumah tapi tiket kereta api Mariam masih berlaku, sehingga ia memutuskan untuk kembali jalan-jalan, dan kembali ke Warsawa sendirian.

Tahun berikutnya, dia melakukan perjalanan darat ke India. Pada tahun-tahun ini (1973-1974) dia menemukan Afghanistan dan Pakistan serta kota Lucknow di India, yang di tempat ini pada akhirnya ia menambatkan diri. Keahlian linguistiknya yang luar biasa – di samping ilmu politik, dia belajar bahasa Hindi / Urdu dan Arab di L’Institut National Des Langues et Civisations Orientales (Inalco)[2] dan kemudian akan belajar bahasa Persia, Pashto dan Punjabi – membuatnya langsung larut menjadi bagian dari masyarakat ini ketimbang banyak pelacong lainnnya. Dari proses akulturasinya, ia akhirnya memilih masuk Islam dan dideklasikan di Masjid Agung Paris pada tahun 1975. Mahzab yang dipilihnya dalam agama barunya ini adalah Syiah, dan disini pula, seorang Marie-Pierre akhirnya menjadi Mariam.

Pada dekade 70-an, perubahan keyakinannya ini merupakan satu hal yang tidak wajar di Paris – meskipun beberapa intelektual dan seniman terkemuka di Paris masa itu memiliki minat yang cukup luas pada tradisi mistis Syiah. Tidak hanya di lingkungan asalnya, pilihan keyakinannya ini juga menjadi masalah bagi suaminya, Nazem Abou Zahab. Nazem adalah pemuda Suriah yang dia temui di Damas. Ia kemudian menikahi Mariam pada tahun 1976. Berasal dari keluarga kelas menengah Sunni dengan orientasi sekuler membuatnya merasa terganggu dengan keyakinan yang dipilih oleh istrinya. Meski demikian, bagi Mariam sendiri, masalah spiritual bukanlah satu-satunya hal yang ada dalam pikirannya, terlebih pada masa itu pergolakan politik di seluruh Asia Barat sedang berlangsung demikian cepat. (AL)

Bersambung…

Mariam Abou Zahab (2): Seorang Aktifis Tanpa Batas

Catatan: Artikel ini merupakan adaptasi dan diterjemahkan secara bebas dari laman scroll.in, dengan judul “The Frenchwoman who fell in love with Lucknow and launched many jihads in her lifetime”. Adapun informasi-informasi lain yang tidak terdapat di artikel tersebut, kami tuliskan di catatan kaki.

 

Catatan kaki:

[1] Abdullah Anas, adalah nom de guerre (nama perang) seorang sarjana Aljazair yang namanya mencuat ketika ia membantu mujahidin Afghanistan melawan invasi Soviet di provinsi utara dari tahun 1983-1992. Ia dikenal sebagai militant. Namun menurut beberapa jurnalis yang pernah bertemu dengannya, Anas digambarkan sebagai “bukan orang yang berperang, bukan orang jihad, hanya orang yang bekerja dengan bantuan amal”. Pada tahun 1988 ia menikahi seorang wanita yang diduga dibunuh oleh Bin Laden. Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Abdullah_Anas, diakses 7 Januari 2018

[2] L’Institut National Des Langues et Civisations Orientales (Inalco) yang artinya Institut Nasional Bahasa dan Peradaban Oriental, yang dikenal sebagai Bahasa O’5, adalah institusi pendidikan tinggi dan penelitian Prancis yang bertanggung jawab untuk pengajaran bahasa dan peradaban selain yang berasal dari Eropa Barat. Sekolah ini didirikan oleh kaum orientalis Perancis pada tahun 1795. Dengan tujuan untuk memudahkan sistem perdagangan dan politik ke luar Eropa. Adapun bahasa pertama yang diajarkan waktu itu adalah bahasa Arab, Turki dan Krimea, serta bahasa Persia dan Melayu. Seiring berjalannya waktu, jumlah Bahasa yang diajarkan di tempat terus meningkat, mulai dari Bahasa Jepang, China, Urdu, India, hingga Thailand. Lihat, https://fr.wikipedia.org/wiki/Institut_national_des_langues_et_civilisations_orientales, diakses 7 Jaanuari 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*