Mariam Abou Zahab (2): Seorang Aktifis Tanpa Batas

in Tokoh

Last updated on January 12th, 2018 06:35 am

“Mariam bukanlah aktivis “ruang tamu” yang berjuang melalui satu pertemuan ke pertemuan lainnya.  Ia langsung turun ke lapangan, ke medan-medan juang sebenarnya, dan berani menghadapi kekejaman secara langsung, meski akhirnya semua itu menelan dunianya.”

—Ο—

Aktivis Tanpa Batas

Ketika Mariam Abou Zahab menetap di Damas pada pertengahan 1970-an, ia tidak asing dengan aktivitas politik. Lima tahun sebelumnya, ia menyambut seruan novelis Prancis dan mantan menteri urusan kebudayaan, André Malraux, untuk membentuk “brigade internasional” guna mendukung kaum nasionalis Bengali di Pakistan Timur. Dan ketika proyek ini gagal terwujud, dia masih menghabiskan beberapa waktu di sayap timur Pakistan yang dilanda perang, di samping beberapa intelektual Prancis yang dipengaruhi oleh Maoisme.

Meskipun ia tidak menganut ajaran-ajaran yang didakwahkan dalam Buku Merah Kecil Mao, ia tetap menjadi pembela orang-orang yang tertindas sepanjang masa dewasanya – sebuah komitmen revolusioner yang lebih merupakan tugas religius baginya. Ketertarikannya pada Syi’ah Islam memiliki komponen mistis yang kuat sekaligus estetik dan skolastik. Hal ini juga yang mendorong aktifitas publiknya mampu berlangsung terus menerus. Bagaimanapun, dia adalah anak kandung dari peristiwa Mei 1968,[1] dimana hal ini dapat terlihat melalui banyaknya buku di perpustakaannya yang bertemakan era gerakan sosial yang mengubah wajah politik masyarakat Perancis itu.

Setelah berpihak pada perjuangan orang Bengali pada tahun 1971, Mariam kemudian menjadi simpatisan aktif perjuangan pembebasan Palestina. Pada tahun 1975, sebelum menetap di Damas, ia melakukan perjalanan pertamanya ke Beirut dimana ia bertemu dengan Issam Sartawi,[2] pendukung awal perundingan perdamaian dengan Israel. Tidak jelas apakah ia berbagi pandangan politiknya dengan Sartawi, tapi dia tetap dekat dengannya sampai akhirnya Sartawi dibunuh oleh militan Abu Nidal di Portugal pada bulan April 1983.

Mariam bukanlah aktivis “ruang tamu” yang berjuang melalui satu pertemuan ke pertemuan lainnya.  Ia langsung turun ke lapangan, ke medan-medan juang sebenarnya, dan berani menghadapi kekejaman secara langsung, meski akhirnya semua itu menelan dunianya. Selama musim semi tahun 1983, setelah memisahkan diri dari suaminya, dia sempat mengangkat senjata di barisan faksi pro-Arafat dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Selama dua minggu, dia ikut serta dalam pertempuran di Lembah Bekaa, menentang faksi Fatah yang pro-Suriah, yang dipimpin oleh Abu Musa. Dia menceritakan episode tersebut kepada salah satu mantan rekannya di Sciences Po, Elizabeth Picard, yang pada saat itu telah menyelesaikan PhD-nya di Suriah.

Kedekatan Mariam Abou Zahab dengan militan Palestina cukup luas diketahui khalayak, dan hal ini mengundang perhatian badan intelijen Prancis. (ketika kurun waktu antara tahun 1980 dan 1982, terjadi beberapa serangan terhadap restoran Yahudi dan tempat-tempat keagamaan di Paris; terkait dengan rangkaian kejadian ini, kelompok teroris dan militan Palestina menjadi fokus perhatian seluruh Negara Eropa hingga beberapa tahun setelahnya). Dalam turbulensi tersebut, Mariam ikut juga diinterogasi oleh hakim anti-teroris terkemuka Prancis, Jean-Louis Bruguière. Ia kemudian dia ditolak masuk ke kementerian luar negeri Perancis hanya karena ia memiliki kenalan di Palestina. (AL)

Bersambung ke:

Mariam Abou Zahab (3): “Sang Sheenogai (Si Cantik Bermata Hijau)”

Sebelumnya:

Mariam Abou Zahab (1); Mualaf Perancis yang Berjihad di Asia Selatan

Catatan: Artikel ini merupakan adaptasi dan diterjemahkan secara bebas dari laman scroll.in, dengan judul “The Frenchwoman who fell in love with Lucknow and launched many jihads in her lifetime”. Adapun informasi-informasi lain yang tidak terdapat di artikel tersebut, kami tuliskan di catatan kaki. 

Catatan kaki:

[1] Mei 1968 adalah nama yang diberikan pada serentetan protes dan pemogokan umum yang menyebabkan kejatuhan pemerintahan De Gaulle di Perancis yang terjadi pada bulan Mei dan Juni1968. Rentetan kejadian ini memberikan warna tersendiri pada perjalanan sejarah Perancis modern yang ditandai oleh gerakan perlawanan yang terjadi di bidang politik, sosial dan budaya terhadap nilai-nilai masyarakat konservatif, kapitalisme, imperialisme dan terhadap kekuasaan (pemerintahan De Gaulle). Peristiwa yang diawali oleh serentetan pemogokan mahasiswa dan pelajar di Paris dan kemudian disusul oleh kaum buruh dan seluruh lapisan masyarakat Perancis tersebut merupakan pergerakan terbesar yang terjadi dalam sejarah Perancis pada abad 20. Lebih dari sekadar tuntutan materi dan politis (penggulingan pemerintahan De Gaulle yang berkuasa sejak 1958), gerakan Mei 1968 lebih merupakan perlawanan terhadap segala bentuk kekuasaan. Gerakan pelajar dan mahasiswa saat itu menuntut “pembebasan moral” dan sekaligus menyatakan penolakan terhadap sistem universitas yang konservatif, masyarakat konsumtif, kapitalisme, institusi-institusi dan nilai-nilai tradisional. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Mei_1968, diakses 8 Januari 2018

[2] Dr Issam Sartawi adalah anggota senior Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Dia lahir pada tahun 1935 dan meninggal pada tanggal 10 April 1983 dengan cara dibunuh. Pada tahun 1967, Sartawi kembali ke Palestina. Ia kemudian bergabung dengan gerakan Fatah dan membantu mendirikan Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (Palestine Red Crescent Society). Dia dengan cepat melesat menjadi penasihat Yasser Arafat di Eropa dan Amerika Utara. Pada pertengahan 1970-an dia berpartisipasi dalam “Paris meetings” yang mempertemukan antara PLO moderat dengan Dewan Israel untuk perdamaian Israel-Palestina. Pada tanggal 10 April 1983 Sartawi ditembak dan tewas terbunuh di lobi Montechoro Hotel di Albufeira, Portugal. Organisasi kelompok Abu Nidal menyatakan bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut. Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Issam_Sartawi, diakses 8 Januari 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*