“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Ali Imran: 169-170)
—Ο—
Pedagog yang Murah Hati
Mariam Abou Zahab adalah seorang pedagog berbakat dan dermawan yang tidak pernah bosan membimbing para pembuat kebijakan, wartawan dan mahasiswa menyusuri labirin politik Pakistan dan Afghanistan. Dia menyampaikan ceramah – seringkali sangat kritis terhadap intervensi Barat di wilayah ini – di institusi-institusi yang beragam seperti kementerian luar negeri Perancis, Carnegie Endowment For International Peace dan Komando Pusat AS. Selama bertahun-tahun, dia juga bekerja sebagai penerjemah di institusi publik yang bertugas untuk menilai permintaan suaka di Perancis, OFPRA. Salah satu kontaknya di sana mengingat: “Petugas berwenang akan terganggu karena dia sering menyampaikan ceramah secara komprehensif dan mendalam selama audisi pencari suaka Pakistan. Dia benar-benar dikaruniai kemampuan dalam memahami lintasan pemikiran individu, dan mendudukannya dalam konteks mereka. ”
Di dalam kelas, Mariam benar-benar menceritakan pengetahuannya yang mendalam tentang Asia Selatan dan Timur Tengah. Di Inalco, di mana dia mengajar kelas tentang subyek yang beragam seperti literatur Pashto, sejarah Pakistan, tasawuf Asia Selatan dan komunitas diasporik, dia melatih generasi baru ilmuwan Perancis di Pakistan. Di Sciences Po, di mana dia mengajar dengan berbagai spesialis Timur Tengah (seperti Gilles Kepel dan Elise Massicard), dia mengilhami banyak ilmuwan muda yang mengkhususkan diri dalam kajian tentang dunia Arab atau Turki.
Murid-muridnya mengagumi kemampuannya dalam memobilisasi pengetahuan etnografis dari sumber pertama. Mata kuliahnya begitu asik untuk disimak. Karena ia selalu bisa mengaitkan teori dengan pengalaman langsung dan sebaliknya. Sehingga audiennya selalu dibawa larut oleh pembahasannya yang memukau. Sebagai contoh, kuliahnya tentang tradisi qawwali akan sangat komprehensif dan actual mengingat bahwa ia tidak lain adalah penafsir Nusrat Fateh Ali Khan di Paris; dan kuliah tentang budaya dargah akan berujung dengan berbagi tabarruk (sesaji), yang ia bawa langsung dari upacara yang ia hadiri sendiri di Pakistan.[1] Model kuliah seperti ini sangat memikat, karena memungkinkan seorang siswa mereguk langsung ilmu dari sumbernya.
Ini sebabnya, Mariam Abou Zahab adalah seorang guru yang tidak biasa. Stéphane Lacroix, mantan muridnya di Sciences Po yang kelak menjadi ekspertis politik Islam terkenal di Arab Saudi, mengatakan: “Kelasnya bukanlah seminar universitas biasa. Dia berbicara dengan penuh semangat dan sering tidak terlalu peduli dengan struktur. Sejauh yang saya tahu, dia mendorong keinginan saya untuk melakukan kerja lapangan. Dia sudah berjalan begitu jauh, sehingga sudah menyatu dengan lapangan dan pengalaman langsung. ”
Bahkan saat kesehatannya memburuk, dia masih terus mengajar. Meski kondisinya kian menurun akibat penyakit yang dideritaanya, sehingga ia tidak mampu bepergian ke Pakistan, ia masih berusaha meminta teman-temannya ke sana untuk memfilmkan ritual keagamaan di Pakistan, untuk ia diskusikan dengan murid-muridnya di kelas.[2] Tampaknya, inilah jihad terakhirnya – sebuah perjuangan untuk menahan arus dan memenuhi misi pendidikannya agak sedikit lebih lama.
Ketika dia menyadari bahwa pertarungan ini akan segera berakhir, dia mempersiapkan diri dengan cermat untuk perjalanan terakhirnya. Dia mengorganisir pemakamannya sendiri di kota Najaf di Irak dan memberi tahu teman-temannya sambil tersenyum bahwa dia berharap milisi Syiah akan muncul dan mengantarnya ke tempat tinggal terakhirnya. Disamping itu, ia juga mendirikan sebuah yayasan yang akan menyediakan dana bagi siapapun ilmuwan yang akan bekerja di wilayah favoritnya (Pakistan dan Afganistan). Ia menyumbangkan sejumlah proyek kesejahteraan yang akan melanggengkan perjuangannya dan memastikan bahwa ia akan selalu terlibat dalam pertumbuhan masyarakat Pakistan dan Afghanistan, meski ia sudah tidak ada secara fisik di tengah-tengah mereka. Dibutuhkan lebih dari sekedar kematian untuk melucuti pejuang sekaliber Mariam Abou Zahab. (AL)
Selesai…
Catatan: Artikel ini merupakan adaptasi dan diterjemahkan secara bebas dari laman scroll.in, dengan judul “The Frenchwoman who fell in love with Lucknow and launched many jihads in her lifetime”. Adapun informasi-informasi lain yang tidak terdapat di artikel tersebut, kami tuliskan di catatan kaki.
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Qawwalli merupakan yang sangat populer di negara Asia Selatan, seperti India, Bangladesh dan Pakistan. Semacam upacara tradisional yang dilakukan di makam orang-orang suci sebagai bentuk penghormatan kepada mereka. Tradisi ini diadopsi dari tradisi Dargah yang berasal dari Persia (Iran dan Afghanistan saat ini), sejak 800 tahun yang lalu. Gabungan antara alunan musik dan puisi menjadi kekhasan dari tradisi ini. Lagu dalam Qawwali sendiri menggunakan bahasa Urdu. Bahasa nasional negara Pakistan dan dipergunakan sebagian besar penduduk Muslim India. Urdu adalah gabungan antara bahasa Hindi dan Persia. Lagu Qawwali berupa bait bait puisi yang secara implisit memiliki makna spiritual. Meski terkadang liriknya terdengar seperti lirik lagu sekuler. Tapi tema utamanya adalah tentang Cinta, Pengabdian dan Kerinduan dari seorang hamba kepada Illahi Robbi. Lihat, https://id.wikipedia.org/wiki/Qawwali, diakses 18 Januari 2018
[2] Salah satu karya yang sering dilantunkan dalam peringatan Muharram yang paling Mariam sukai adalah di Pakki Shah Mardan. Di sinilah ia selama bertahun-tahun mengembangkan daya tariknya hingga akhir hayatnya.