Masjid Agung Djenné (2): Identitas Kebudayaan dan Religiusitas Masyarakat Djenné

in Arsitektur

Last updated on February 12th, 2019 01:34 pm

Bagi masyarakat Kota Djenné, Masjid Agung Djenné dengan segenap fungsi turunannya, bukan hanya tempat ibadah, tapi juga poros kebudayaan dan religiusitas yang membentuk identitas kolektif mereka di kota tersebut.

 

Meskipun tampak sangat megah dan solid, tapi Masjid Agung Djenne memiliki kelemahan mendasar. Dinding-dindingnya yang terbuat dari lumpur tersebut sangat mudah rusak ketika terkena hujan. Ini sebabnya dibutuhkan perawatan yang terus menerus untuk menjaganya. Sebab bila lalai merawatnya, maka kerusakan tersebut akan berimbas pada struktur utama bangunan.

Sejauh yang diketahui, Masjid Agung Djenné yang ada sekarang adalah hasil dari rekonstruksi ketiga. Rekonstruksi tersebut selesai pembangunannya pada tahun 1907. Menurut legenda, Masjid Agung Djenné yang asli mungkin didirikan pada abad ke-13, ketika Raja Koi Konboro — penguasa ke dua puluh enam Djenné dan sultan Muslim pertama di Djenné – memutuskan untuk menggunakan bahan-bahan lokal dan teknik desain tradisional untuk membangun tempat ibadah di kota tersebut.[1]

Penerus Raja Konboro dan penguasa kota berikutnya menambahkan dua menara di masjid dan mengelilingi bangunan utama dengan tembok. Selanjutnya, kompleks masjid terus berkembang selama berabad-abad, dan pada abad ke-16, konon Masjid Agung Djenné mampu menampung lebih dari setengah dari populasi Djenné di sekali waktu.[2]

Pada tahun 1827, seorang penjelajah Prancis bernama René Caillié menulis kisah renovasi Masjid Agung Djenné dalam jurnal perjalanannya yang berjudul d’un voyage a Temboctou et à Jenné (Jurnal Pelayaran ke Timbuktu dan Djenné). Konon dia adalah satu-satunya orang Eropa yang melihat kerusakan parah pada monumen tersebut sebelum menjadi reruntuhan.[3]

Dalam catatan perjalanannya, Caillié menulis bahwa bangunan masjid tersebut itu sudah dalam kondisi sangat buruk karena kurangnya perawatan. Di Sahel — zona transisi antara Sahara dan sabana yang lembab di selatan — bangunan dengan bahan baku batu bata dan lumpur seperti digunakan Masjid Agung Djenné membutuhkan plesteran berkala setiap tahunan. Jika plesteran tidak dilakukan maka bagian luar struktur akan meleleh di musim hujan. Berdasarkan uraian Caillié, kunjungannya kemungkinan bertepatan ketika bangunan masjid tersebut sudah dalam kondisi memprihatinkan. Kerusakan tersebut terjadi disebabkan dinding tidak diplester ulang selama beberapa tahun, sehingga musim hujan yang terjadi berkali-kali menghancurkan dinding-dinding masjid hingga merusak struktur utama bangunan.[4]

Adapun renovasi kedua, dilakukan antara tahun 1834 dan 1836 menggantikan bangunan asli dan rusak yang dijelaskan oleh Caillié. Bukti adanya renovasi kedua ini adalah konstruksi dalam gambar yang dibuat oleh jurnalis Perancis Felix Dubois. Pada tahun 1896, tiga tahun setelah penaklukan Prancis atas kota itu, Dubois menerbitkan sebuah rencana design bangunan masjid berdasarkan hasil surveinya terhadap bekas reruntuhan masjid sebelumnya.[5]

 

Gambar rencana renovasi masjid dari Félix Dubois. Sumber gambar: khanacademy.org

 

Sedangkan hasil dari renovasi ketiga, adalah yang sekarang kita saksikan. Renovasi tersebut baru selesai dibangun pada tahun 1907. Sejumlah sejarawan mengaggap bahwa yang merenovasi masjid ini adalah pemerintah Prancis. Tapi informasi tersebut agaknya meragukan, mengingat tidak ada satupun bukti peninggalan kolonial Prancis yang mendukung teori tersebut. Sarjana kontemporer menduga besar kemungkinan pembangunan tersebut dilakukan oleh para ahli bangunan setempat yang dibantu oleh para pekerja dari desa-desa sekitarnya. Adapun untuk memotivasi para pekerja, disediakan musik dan penyanyi selama pekerjaan berlangsung.

Sampai sekarang kegiatan tersebut tetap dilestarikan sebagai bagian dari budaya masyarakat setempat. Setiap tahunnya, masyarakat Djenné menggelar festival tahunan yang dinamakan Crepissage de la Grand Mosquée. Di samping sebagai kegiatan budaya, festival ini juga berfungsi sebagai upaya untuk melestarikan eksistensi masjid tersebut dari kerusakan tahunan. Dalam festival tersebut, masyarakat bergotong royong untuk memplester kembali dinding masjid dengan adonan lumpur. Seperti di masa lalu, kegiatan tahunan ini diiringi oleh musik dan penyanyi yang akan berdendang selama pekejaan berlangsung. Semua orang di kota akan dilibatkan, mulai dari orang tua, laki-laki, perempuan dan anak-anak. Mereka semua bisa ambil bagian dalam festival ini.

 

Suasana Fesitival tahunan Crepissage de la Grand Mosquée. Sumber gambar: Youtube.com

 

Suasana Fesitival tahunan Crepissage de la Grand Mosquée. Sumber gambar: djennedjenno.blogspot.com

 

Pada hari-hari menjelang festival, plester tanah liat untuk lapisan dinding masjid dipersiapkan di sebuah ember besar. Perlu beberapa hari untuk mengaduk plester tanah liat supaya memiliki ketebalan dan tekstur yang pas untuk lapisan dinding. Setelah plester siap digunakan, para pria akan naik melalui tangga bantuan (perancah) untuk mulai menempelkan plester ke bagian-bagian menara masjid yang mengalami keretakan. Sementara itu, anak-anak kecil berpartisipasi dalam lomba lari yang sangat unik. Mereka berlomba untuk menjadi yang paling pertama membawa ember kecil berisi plester untuk diserahkan pada para petugas di masjid. Perempuan ikut bekerja dengan cara menyiapkan air untuk mengaduk plester, sementara itu para anggota masyarakat yang sudah tua dan dihormati bisa menonton dari pasar di seberang Masjid Agung Djenne.[6]

 

Masyarakat Kota Djenne, bahu membahu mem-plester kembali dinding Masjid Agung Djenne dalam festival tahunan Crepissage de la Grand Mosquée. Sumber gambar: Getty Images

 

Festival tahunan ini diikuti juga oleh semua kalangan, mulai dari orang dewasa, baik laki-laki dan perempuan, maupun anak-anak. Sumber gambar: bbc.co.uk

 

Selama bertahun-tahun, penduduk Djenné mempertahankan tradisi ini. Meskipun berulang kali para investor Muslim menawarkan dana agar membangun masjid tersebut dengan bahan baru yang lebih permanen. Tapi mereka berulang kali juga menolaknya. Bagi mereka, Masjid Agung Djenné dengan segenap fungsi turunannya, bukan hanya tempat ibadah, tapi juga poros kebudayaan dan religiusitas yang membentuk identitas kolektif mereka di kota tersebut. (AL)

Selesai…

Sebelumnya:

Masjid Agung Djenné (1): Design Eco-technology Dari Abad ke-13

 

Catatan kaki:

[1] Lihat, Dr. Elisa Dainese, Great Mosque of Djenné, https://www.khanacademy.org/humanities/art-africa/west-africa/mali1/a/great-mosque-of-djenne. Diakses 28 Januari 2019

[2] Ibid

[3] Ibid

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Lihat, Masjid Agung Djenne di Mali: Satu-satunya Masjid Besar di Dunia yang Terbuat dari Tanah Liat, http://intisari.grid.id/read/03106203/masjid-agung-djenne-di-mali-satu-satunya-masjid-besar-di-dunia-yang-terbuat-dari-tanah-liat?page=all, diakses 28 Januari 2019

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*