Megatruh: Sebuah Syarah Kesejarahan (11)

in Studi Islam

Last updated on November 3rd, 2019 06:21 am

Pada masa Kesultanan Demak, masyarakat penuh harga diri dan pasti diri. Ini semua karena mereka merasa punya jaminan kepastian hidup. Dan kepastian hidup ada karena adanya daulat hukum yang tertera dalam kitab “Salokantara” dan “Jugul Muda” ialah kitab UU Demak yang punya landasan syariah agama Islam, yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia.

Lukisan ilustrasi para Wali Songo. Sumber gambar: bukalapak.com

Prof. Azyumardi Azra, dalam salah satu tulisannya mengatakan, “Kaum muslim Nusantara tidak hanya memiliki ortodoksi Islam yang bersumber dari para ulama otoritatif, tapi wilayah Nusantara sendiri terbentuk menjadi ranah budaya Islam (Isilamic Culture Spheres) yang distingtif. Wilayah Muslim Nusantara adalah salah satu dari delapan ranah budaya Islam yang memiliki distingsi masing-masing. Kedelapan ranah budaya itu antara lain, Arab; Persia atau Iran; Turki, Anak Benua India; Nusantara; China atau Asia Timur; Afrika Sudan atau Afrika Hitam atau Afrika Sub-Sahara; dan Belahan dunia Barat.[1]

Menurut Azra, masing-masing dari ranah budaya Islam tersebut memiliki faktor pemersatu seperti bahasa, budaya dan tradisi sosial khas, sehingga ekspresi sosial-budaya dan politiknya pun berbeda-beda. Ranah budaya Islam Nusantara mengandung sejumlah faktor pemersatu, yang membuat kaum Muslimin Indonesia dari berbagai suku, traidisi, dan adat istiadat berada dalam satu kesatuan. Faktor pemersatu itu antara lain, tradisi keulamaan dan keilmuan Islam yang sama, bahasa Melayu sebagai lingua franca dan tradisi sosial budaya dan adat istiadat yang memiliki banyak kesamaan daripada perbedaan.[2]

Dari tiga faktor pemersatu yang disampaikan oleh Azra, faktor tradisi keulamaan dan keilmuan Islam yang sama merupakan satu identifikasi yang kerap muncul dalam studi-studi yang dilakukan oleh para sejarawan baik dalam tema keIndonesiaan, terlebih dalam tema keIslaman.

Di samping itu, beberapa kesimpulan lain yang umum didapat para sejarawan, bahwa Islam menyebar di Nusantara secara damai, dan mengandung muatan sufistik yang kental. Tak ayal temuan-temuan ini mengarah pada satu asumsi yang sama, bahwa Islam di Nusantara menyebar dengan dibawa oleh satu kelompok kaum yang memiliki narasi perjalanan keilmuan dan keturunan yang sama.

Dan sebagaimana sudah diulas dalam edisi sebelumnya, bahwa corak nilai keIslaman yang masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke 14 lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran tasawuf yang dibawa oleh para keturunan Alawiyin. Orang mengenal aliran tasawuf ini dengan istilah thariqah Alawiyah, yang secara konsptual dikatagorikan sebagai “tasawuf akhlaqi”.

Pada sekitar pertengahan abad ke 15, thariqah Alawiyah ini mendapat momentumnya tatkala salah satu anak keturunan Alawiyin yang bernama Sayyid Ahmad Rahmatullah, mendapat tanah wakaf dari Raja Majapahit di daerah Ampel (sekarang di Surabaya). Di tempat itulah dia mendirikan pesantren yang kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam paling maju di tanah Jawa. Pada masa selanjutnya, Sayyid Ahmad Rahmatullah lebih dikenal luas sebagai Sunan Ampel.[3]

Para lulusan dari pesentren ini kemudian menjadi ulama-ulama terkenal, tidak hanya di Jawa, tapi juga di Madura, Tatar Sunda, hingga Sulawesi. Sehingga tak ayal, dalam waktu cukup singkat, nilai keislaman yang ditawarkan oleh thariqah Alawiyah menjadi arus utama yang mewarnai wajah keIslaman di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa.

Menjelang akhir abad ke 15, imperium Majapahit pun runtuh.  Tak lama setelah itu sejumlah identitas politik Islam mulai bermunculan di pesisir utara Pulau Jawa, seperti Banten, Demak, Jepara, Tuban, hingga Surabaya. Umumnya, para penguasan di wilayah pesisir utara Jawa tersebut adalah kaum Muslimin yang juga lulusan dari pesentren Sunan Ampel. Salah satunya adalah Raden Fatah, yang menjadi pendiri Kesultanan Demak.

Beberapa catatan sejarah mengatakan, bahwa lahirnya Kesultanan Demak, dibidani oleh para Wali Songo. Keterlibatan para Wali Songo dalam sistem pemerintahan Demak, bukan hanya terkait masalah keagamaan, tapi juga mengenai masalah politik, hukum, seni-budaya, hingga memberikan landasan filosofis dalam proses pembangunan Masjid Agung Demak.[4]

Menurut Rendra dalam Megatruh, inilah masa dimana untuk pertama kalinya Daulat manusia diperkenalkan di bumi Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Berikut kata Rendra:

Keunikan sastra suluk di zaman itu lebih lagi membuktikan kemampuan orang-orang Jawa untuk beradaptasi tanpa kehilangan diri, bahkan bisa unik. Mereka penuh harga diri dan pasti diri. Ini semua karena mereka merasa punya jaminan kepastian hidup. Dan kepastian hidup ada karena adanya daulat hukum yang tertera dalam kitab “Salokantara” dan “Jugul Muda” ialah kitab UU Demak yang punya landasan syariah agama Islam, yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia.

Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para wali. Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun. Tetapi mereka adalah pahlawan bangsa yang telah memperkenalkan daulat hukum kepada bangsanya, yang akan terus membekas sampai kepada Mohammad Syafei, HOS Cokroaminoto dan tokoh-tokoh pembela hak azazi manusia (HAM) dewasa ini.

Hanya saja, sebagaimana dikatakan Rendra, masa kegemilangan itu berlangsung 65 tahun saja. Setelah itu, bumi Nusantara memasuki salah satu fase terkelam dalam sejarah peradabannya, yaitu era kolonialisme bangsa Eropa. Pada masa ini, bukan hanya ranah politik dan ekonomi yang mengalami keguncangan, tapi juga nilai-nilai budaya dan peradaban nusantara yang sudah berdiri selama ribuan tahun mengalami erosi yang hebat. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Prof. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara, dalam ‘Islam Nusantara; Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan”, Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (Edt), Bandung, Mizan, 2016, hal. 172

[2] Ibid

[3] Lihat, Muhammad Dhiya Syahab dan Abdullah bin Nuh, “Al Imam Al Muhajir; Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Jafar Ash Shadiq”, dalam “Peran Dakwah Damai Habaib/’Alawiyin di Nusantara”, (Yogyakarta: RausyanFikr Institute, 2013), hal. 69

[4] Lihat, Agus Sunyoto, Atlas Walisongo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah, Jakarta, Pustaka IIMaN, 2016, hal. 388-394

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*