Pada tahun 1295 Raja Edward dari Inggris memperbaiki hak-hak parlemen. Dia mengatakan bahwa hanya parlemen yang bisa mengubah hukum. Hal ini bersamaan dengan saat akhir pemerintahan Kertanegara dari Singasari dan munculnya Majapahit dibawah pimpinan Raden Wijaya.
Magna charta atau Piagam Agung yang ditandatangani Raja John pada 15 Juni 1215, atas desakan para Baron[1] (bangsawan). Setelah penandatangan tersebut, situasi di Inggris kembali tenang. Raja tetap pada posisinya sebagai pemimpin, tapi rakyat pun memiliki kedaulatannya.
Hanya saja, Raja John tampaknya tidak rela dengan kesepakatan yang sudah dibuat tersebut. Pada September 1215, atau tak lama setelah situasi keamanan kembali stabil, dia menemui Paus dan memaksa pemimpin spiritual tersebut agar mendukungnya untuk melanggar Marga Charta. Di bawah tekanan, Paus pun memberikan restunya.
Dengan legitimasi langit itu, Raja John tanpa malu merebut kembali daulat rakyat dan memulihkan daulat dirinya sebagai raja. Tapi tingkahnya tersebut, langsung menuai badai. Pemberontakan pun kembali pecah. Para Baron segera memimpin perlawanan untuk menjatuhkan Raja John dari posisinya.
Puncak pemberontakan ini terjadi pada awal tahun 1216. Para baron tersebut mengundang Pangeran Louis dari Perancis untuk datang ke Inggris dan mendukungnya menjatuhkan Raja John. Akhirnya pada bulan Mei 1216, atau sekitar setahun dari ditandatanganinya Magna Charta, Raja John terguling dari singgasananya.
Putra Raja John bernama Hendry III, menggantikan ayahnya tahun 1216 ketika dia masih berusia sembilan tahun. Hendry III berusaha melakukan negosiasi dengan para baron. Tapi alih-alih tercapai kesepakatan, pemberontakan kembali pecah bulan November 1216, lalu kembali pecah pada tahun 1217, dan lalu pecah lagi pada 1225. [2]
Isu yang muncul pada setiap pemberontakan tersebut tidak lain adalah terkait pemenuhan hak-hak rakyat yang secara otomatis pembatasan terhadap hak-hak raja. Tapi Henry III sama seperti ayahnya. Dia ingin mendesak agar daulat raja kembali seperti semula. Sedang para Baron tetap menentang dan meminta tegaknya daulat manusia. Pergolakan politik antar dua kelompok ini terus berlangsung selama beberapa dekade berikutnya.[3]
Pada masa selanjutnya, isi yang terkandung dalam Margan Charta menjadi isu sentral dalam setiap perdebatan politik di Inggris. Piagam Agung ini menjadi buah bibir mulai dari level elit hingga rakyat jelata. Meski banyak tubulensi politik yang muncul sejak lahirnya Magna Charta, tap para ilmuwan menilai bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam piagam tersebut lebih semacam prinsip dasar, ketimbang praktik politik.[4] Pada level tertentu, prinsip dasar itu mengilhami lahirnya kesadaran massa.
Pada tahun 1264, prinsip dasar dalam Piagam ini menemukan bentuk formalnya. Ketika itu, para Baron berhasil mendesak Hendry III untuk membentuk parlemen pertama setelah lembaga senat yang didirikan pada masa Romawi. Memang pada awalnya terjadi tarik menarik kepentingan yang cukup alot di antara parlemen dengan Istana. Tapi semua ini berhasil didamaikan ketika Raja Edward I naik tahta pada tahun 1272.
Secara perlahan, Edward bersedia mengikuti keinginan para Baron, dengan merelakan sebagian otoritasnya dikebiri. Pada tahun 1295, dia memperluas hak-hak parlemen dengan menjadikannya sebagai pemegang otoritas hukum tertinggi. Dan sebagai gantinya, semua kebijakan-kebijakannya – termasuk kampanye militernya ke sejumlah wilayah seperti Wales dan Skotlandia – di dukung penuh oleh parlemen. Dengan adanya parlemen tersebut, hak-hak raja menjadi terbatasi. Hukum berdiri sebagai panglima. Dan secara otomatis, daulat rakyat kembali tegak.
Pada waktu yang hampir bersamaan, di belahan dunia lain, tepatnya di tanah Jawa, kerajaan Singasari yang didirikan oleh Ken Arok, sudah memasuki era Kertanegara dan sedang menunggu waktu kehancurannya. Sebagaimana dikatakan Rendra dalam Megatruh:
Selanjutnya pada tahun 1295 Raja Edward dari Inggris memperbaiki hak-hak parlemen. Dia mengatakan bahwa hanya parlemen yang bisa mengubah hukum. Hal ini bersamaan dengan saat akhir pemerintahan Kertanegara dari Singasari dan munculnya Majapahit dibawah pimpinan Raden Wijaya. Kedua penguasa itu, boro-boro punya parlemen, punya kitab UU sebagai landasan pemerintahannya pun tidak. Sabda raja tetap unggul di atas segala-galanya.
Hal itu bukan pertanda kebudayaan bangsa kita rendah. Lihatlah candi-candi yang indah, seni membuat keris, syair-syair dari Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Panuluh. Raffles mengagumi karya sastra leluhur kita.
Waktu pulang ke Inggris, setelah selesai tugasnya di Jawa, ia membawa 30 ton benda sastra dan seni dari Jawa. Kemudian dengan rasa kagum dia laporkan dan dikupas dalam bukunya “The History of Java”. Tetapi di dalam kebudayaan Jawa yang tinggi itu, para pujangga dan para rajanya ternyata tak pernah sadar akan perlunya hak-hak konstitusional bagi rakyatnya, yang dilindungi oleh pelaksanaan UU yang berlaku. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Kata “Baron” besar kemungkinan berasal dari bahasa latin kuno yaitu “Baro”, yang artinya adalah “pria atau pria bebas (freeman)”. Dalam bahasa Spanyol kata tersebut menjadi Varon, dan dalam bahasa Italia menjadi Barone. Di Inggris, makna Baron sendiri menjadi sulit di definisikan secara tepat. Secara umum, Baron adalah “seorang anggota kaum bangsawan.” Tapi maknanya bisa jauh lebih luas, karena makna ini mencakup juga mereka yang peringkat rendah dalam gelar kebangsawanan; mulai dari tuan tanah, pemimpin militer, prajurit, pria biasa, atau pun kepala keluarga.” Lihat, https://www.etymonline.com/word/baron, diakses 3 Agustus 2019
[2] Lihat, The impact of Magna Carta in the 13th century, https://www.bl.uk/magna-carta/videos/the-impact-of-magna-carta-in-the-13th-century, diakses 4 Agustus 2019
[3] Ibid
[4] Ibid