Megatruh: Sebuah Syarah Kesejarahan (5)

in Studi Islam

Last updated on August 7th, 2019 09:09 am

Ketika tahun 1215 M, bangsa Inggris melahirkan Magna Charta, “… Jawa pada saat itu berada dalam pemerintahan Tunggul Ametung yang sebentar lagi akan digantikan oleh Ken Arok. Kedua penguasa dari Jawa itu tak pernah memikirkan atau mengakui UU apapun.” (Rendra)

Sebuah lukisan romantis dari abad 19 tentang suasana ketika Raja John menandatangi Magna Charta. Sumber gambar: wikipedia.org

Sebelum jauh membahas mengenai kiprah Wali Songo dalam menegakkan daulat manusia di bumi Nusantara, kita kembali dulu ke belakang melihat kondisi umum daulat manusia di dunia Islam dan Eropa pada sekitar abad ke 9 dan 10 M.

Setelah pemberontakan Zanj yang terjadi pada 255 H/ 869, Dinasti Abbasiyah terus mengalami dekadensi dan kehilangan pengaruhnya. Akibatnya, kontrol mereka atas wilayah kekuasaan kian lemah, dan satu persatu kelompok mulai menyatakan kemerdekaannya. Pada skala yang lebih luas, di abad pertengahan itu dunia Islam menyaksikan berjamurnya sejumlah identitas politik baru (dinasti) di panggung politik Islam, yang masing-masing mengusung semangat kelompok (ashobiyah), atau lebih spesifik, keluarga. Berikut ini di antaranya:[1]

1.   Yang berbangsa Persia

a.   Thahiriyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)

b.   Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)

c.   Samaniyah di Transoxania (261-389 H/873-998 M)

d.   Sajiyyah di Ajerbaijan (266-318 H/878-930 M)

e.   Buwaihiyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447 H/932-1055 M)

2.   Yang Berbangsa Turki

a.   Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)

b.   Ikhsidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M)

c.   Ghaznawiyah di Afghanistan (351-585 H/962-1189 M)

d.   Dinasti Saljuk (429-700 H/1037-1299 M)

3.   Yang Berbangsa Arab

a.   Idrisiyah di Maroko (172-375 H/788-985 M)

b.   Aghlabiyah di Tunisia (184-289 H/800-900M)

c.   Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)

d.   Alawiyah di Tabaristan (250-316 H/864-928 M)

Tapi dari sejumlah dinasti yang ada pada masa itu, yang terbilang cukup fenomenal kemunculannya adalah Dinasti Fatimiyah, yang terbentuk pada 910 M, dan langsung menjadi kekuatan politik yang disegani di dunia. Layaknya Dinasti Abbasiyah di awal kelahirnya, kaum Fatimiyah juga mengunakan jargon yang mengatasnamakan hak keluarga Rasulullah Saw. Itu sebabnya dinasti ini mengusung tajuk “Fatimiyah”, untuk mengasosiasikan diri mereka dengan nama putri kinasih Rasulullah Saw, Sayyidah Fatimah Az-Zahra.[2]

Sama seperi Bani Abbas, Dinasti Fatimiyah juga sempat menyemarakkan dunia ilmu pengetahuan. Sedemikian sehingga para sejarawan menyebut Fatimiyah sebagai “the shadow caliphate” atau kekhalifahan bayangan Abbasiyah.[3]

Menurut penilaian Eammon Gaeron, salah satu kunci keberhasilan Dinasti Fatimiyah di awal pemerintahannya, karena dinasti ini mengusung semangat egaliter dan mengedepankan toleransi. Sehingga sistem pemerintahan Fatimiyah lebih mirip seperti sistem meritokrasi, daripada kerajaan yang mengedepankan nepotisme (semangat ashobiyah) yang banyak dianut oleh beberapa pemerintahan Islam sebelum mereka.[4] Dengan kata lain, kunci kemajuan Dinasti Fatimiyah di awal masa kemunculannya, tidak lain karena mereka menghargai daulat manusia.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, pada era khalifah keenam yang bernama Al-Hakim (996 – 1021 M), corak pemerintahan Fatimiyah mulai bergeser ke sifat despotik. Mereka melepaskan merit-system, dan memasuki era monarki dalam arti seutuhnya. Khalifah adalah tempat berakumulasinya kekuasaan dan harta. Demikian berkuasanya khalifah, hingga Eamonn Gaeron bahkan menyebutkan bahwa di akhir-akhir masa pemerintahannya, Al Hakim cenderung menganggap dirinya sebagai “Dewa”.[5] Dan secara otomatis – untuk kesekian kalinya – daulat manusia tercerabut.

Di era yang sama dengan Dinasti Fatimiyah, masyarakat Eropa menyaksikan lahirnya sebuah identitas politik baru di wilayah kepulauan yang terletak di ujung barat benua Eropa. Kawasan ini dulunya dihuni oleh sejumlah kerajaan Anglo-Saxon yang terpecah belah selama ratusan tahun. Tapi pada tahun 927 M, mereka memutuskan bergabung dalam satu identitas yang kemudian dikenal sebagai “Kerajaan Inggris”.[6]

Tapi eksistensi mereka tidak berlangsung lama. Karena pada tahun 1066, seorang pangeran bangsa Norman bernama William ( The Conqueror) datang dan menaklukkan kerajaan tersebut. William kemudian didaulat menjadi raja Inggris tepat pada hari Natal tahun 1066 M, dan berkuasa hingga tahun 1087 M. Selama masa pemerintahannya, William kerap menghadapi sejumlah pemberontakan dari masyarakat. Tapi semua itu masih bisa diatasinya.

Namun, setelah era William, para pewarisnya tidak mampu lagi menjaga situasi, sehingga pecahlah perang sipil antara bangsa Norman dengan masyarakat Inggis di tahun 1135 M. Selama terjadinya Perang sipil tersebut,  hukum dan otoritas jatuh berguguran. Sehingga sejarah mengenal periode sebagai situasi “anarki”.  Meski begitu, pada periode inilah masyarakat Inggris mulai mengenal hak dan kemerdekaannya sebagai manusia. Atau yang dalam istilah Rendra, “Daulat Manusia’.

Tapi pada tahun 1153 M, cucu William, yang bernama Handri II berhasil merebut kembali Inggris dan mengembalikan sistem monarki di wilayah tersebut. Tidak sampai di Inggris, Handri II juga terus meluaskan ekspansinya hingga berhasil menguasai Irlandia, Wales, dan Skotlandia. Setelah Hendri II, tahta Inggris dilanjutkan oleh penerusnya yang terkenal bernama Ricarhd I yang dijuluki Richard The Lion Heart. Di Timur namanya di hormati dalam peristiwa Perang Salib III karena mampu mengimbangi kekuatan militer Salahuddin Al Ayubi. Tapi di wilayah kekuasannya sendiri, dia dibenci karena dinilai tidak becus mengurus negara.

Richard I digantikan oleh adiknya yang bernama John pada tahun 1199 M. Dia mewarisi situasi perekonomian dan politik yang kacau dari kakaknya. Alih-alih membangun terobosan positif, John malah memeras rakyatnya lebih kencang. Dia menetapkan pajak yang tinggi guna mendukung logistis angkatan bersenjatanya. Rakyat pun merasa tercekik. Pada situasi inilah mereka menuntut ditegakkannya hukum yang adil, yang memperhatikan lebih serius mengenai daulat manusia.

Awalnya, tuntutan mereka diabaikan oleh John. Tapi kian lama desakan itu kian kuat. Hingga akhirnya, John setuju untuk bertemu mereka di sebuah lapangan di dekat Windsor, bernama Runnymede, pada 15 Juni 1215. Dalam pertemuan itu, John diberi sebuah dokumen berisi tuntutan-tuntutan resmi rakyat Inggris, yang mereka sebut dengan Piagam Agung, atau nama lainnya “Magna Carta”.[7]

Piagam itu terdiri atas 63 bagian, memuat hak-hak yang harus diberikan untuk “memerdekakan manusia”. John kemudian diminta menandatangani dokumen tersebut, dan menyetujuinya. Awalnya dia menolak dan berkata, “Saya tidak akan memberikan kemerdekaan yang dapat membuat saya menjadi budak!”  Tetapi di bawah ancaman seluruh bangsawan, dia pun akhirnya menandatangani piagam itu.[8] Para sejarawan menilai, bahwa inilah tonggak awal lahirnya kesadaran manusia modern akan hak dan kedaulatannya sebagai individu yang merdeka.

Adapun di sudut dunia lainnya, Jawa pada saat itu berada dalam pemerintahan Tunggul Ametung yang sebentar lagi akan digantikan oleh Ken Arok. Kedua penguasa dari Jawa itu tak pernah memikirkan atau mengakui UU apapun. Sabda raja itulah UU bagi rakyat. Sebagaimana dalam alam bahwa yang kuat itu yang menang. Maka tatanan masyarakat leluhur kita itupun berlandaskan kenyataan bahwa yang kuat itu yang benar (might is right). Dan yang terkuat di dalam masyarakat tentunya raja. Jadi sabda raja (dekrit raja atau Keppraj, yaitu keputusan raja) yang menjadi sumber kebenaran. Demikian dikatakan Rendra dalam pidato kebudayaannya yang berjudul “Megatruh”. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


 [1] Lihat, Nadirsyah Hosen, Al-Mu’tamid: Terpecah-Belahnya Khilafah Abbasiyah, https://geotimes.co.id/kolom/politik/al-mutamid-terpecah-belahnya-khilafah-abbasiyah/, diakses 20 Juli 2019

[2] Uraian lebih jauh mengenai Dinasti Fatimiyah, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-fatimiyah-1-asal-usul/

[3] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, (USA: The Teaching Company, 2016), Hal. 84

[4] Ibid. hal. 88

[5] Ibid, hal. 89

[6] Wilayah Inggris, pertama kali ditaklukkan oleh kekaisaran Romawi pada 43 M hingga sekitar abad ke 5 M. Setelah itu wilayah ini dihuni oleh sejumlah kelompok suku Anglo dan Saxon yang berasal dari Jerman. Sebenarnya ada juga suku-suku lain yang berasal dari wilayah sekitar Inggris, seperti bangsa Frisian dan Jutes yang berasal dari Denmark. Tapi suku Anglo-Saxon lah yang merumuskan identitas awal Inggris. Mereka yang menciptakan bahasa sendiri, bangunan-bangunan, dan kebudayaan. Ini sebabnya Anglo-Saxon kemudian dianggap sebagai nenek moyang dari bangsa Inggris yang ada sekarang. Lihat, The Anglo-Saxons, http://www.bbc.co.uk/history/ancient/anglo_saxons/saxons.shtml, diakses 20 Juli 2019

[7] Lihat, Magna Carta, Lambang Perjuangan Hak Asasi Manusia, https://kumparan.com/potongan-nostalgia/magna-carta-bentuk-pertentangan-terhadap-penguasa-yang-kejam-1539352324183640215, diakses 20 Juli 2019

[8] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*