“Para nabi adalah prototip kesempurnaan manusia. Sebagai prototip, dia harus bebas dari error. Jika tidak, maka Tuhan Pencipta manusia ini jauh di bawah kemampuan seorang insinyur atau desainer yang setidak-tidaknya mampu memproduksi prototip yang bebas-cacat atau bebas-galat.”
—Ο—
Belum lama ini, beredar luas ceramah seorang ustadz, yang tengah naik daun di kalangan anak muda, yang mengatakan bahwa maulid Nabi Muhammad itu seolah memeringati sesatnya Nabi Muhammad. Karena menurutnya, Nabi Muhammad dilahirkan dalam keadaan sesat.[1] Tak ayal, pernyataan ini menuai keberatan dari sejumlah pihak, mulai dari ulama hingga masyarakat. [2]
Terkait sanggahan atas penyataan kontroversial ustadz tersebut, sudah banyak ulama dan masyarakat yang menjawabnya. Dalam konteks tulisan ini, penyataan ustadz tersebut tidak bisa diartikan lain sebagai contoh tidak utuhnya pemahaman ustadz tersebut atas konsep kemaksuman Nabi Muhammad SAW dan ihwal manusia sempurna.
Ihwal Manusia Sempurna dan Kemaksuman Nabi: Sebuah Contoh
Segenap fakta ilmiah terkait ketakterbatasan potensi manusia tidak bisa kita buang begitu saja lantaran kita tidak pernah menemukan manusia yang sempurna. Mengapa? Karena jelas kita belum bertemu dengan seluruh manusia yang pernah hidup di masa lalu hingga akhir masa. Bahkan, pekerjaan itu sama sekali tidak mungkin. Untuk mengenali semua manusia yang hidup sezaman saja rasanya kita bakal menemui kemustahilan apalagi seluruh manusia dari awal penciptaan hingga akhir masa. Jadi, induksi kita amat sangat terbatas.
Penolakan terhadap kemungkinan kesempurnaan manusia itu boleh jadi muncul dari kebingungan dan ketaksanggupan orang menangkap konsep kesempurnaan manusia. Dan boleh jadi juga timbul dari negative thinking terhadap kemanusiaan hingga tak mampu lagi memberi peluang adanya manusia sempurna yang tidak bersalah itu. Dengan demikian, res ipsa loquitur, gugatan itu sepertinya justru menunjukkan kelemahan daya abstraksi penggugat, dan bukan ketiadaan manusia sempurna itu.
Lebih jauh, ada delapan tipe proposisi yang dapat kita simbolkan sebagai berikut: 1. Semua Y adalah X, y = vx; 2. Tidak ada Y yang X, y = v(1 − x); 3. Sebagian Y adalah X, vy = vx; 4. Sebagian Y adalah bukan-X, vy = v(1 − x); 5. Semua bukan-Y adalah X, 1 − y = vx. (1); 6. Tiada bukan-Y yang merupakan X, 1 − y = v(l − x); 7. Sebagian bukan-Y merupakan X, v(l − y) = vx; 8. Sebagian bukan-Y adalah bukan-X’s, v(1 − y) = v(1 − x). Tipe pertama dari segi kuantitas bersifat universal dan dari segi kualitas adalah afirmatif.[3]
Coba kita ambil pernyataan “manusia pasti bersalah” yang merupakan tipe pertama dari delapan proposisi di atas dalam statusnya sebagai universal afirmatif, lalu kita lihat konsekuensi-konsekuensinya. Jika proposisi ini benar, maka hasil akhirnya adalah pernyataan itu sendiri pasti salah karena manusia yang menyatakannya juga pasti bersalah! Dengan kata lain, karena semua manusia bersalah, maka pernyataan “manusia pasti bersalah” adalah jelas salah sesuai prinsip logika Aristoteles dictum de omni et nullo.[4]
Berhadapan dengan paradoks di atas, sebenarnya kita punya alternatif logis yang melegakan: sebagian manusia pasti tidak bersalah yang disimbolkan sebagai berikut: vy = v(1 − x). Alasannya, pernyataan “semua manusia pasti bersalah” adalah jelas salah dan menafikan semua kebenaran yang muncul dari pikiran manusia.
Masalahnya kemudian adalah siapa orang-orang yang diasumsikan tidak bersalah ini? Bagaimana kita tahu bahwa mereka tidak bisa bersalah? Dalam pandangan Islam, para nabi adalah pembawa pesan Allah. Jika para pembawa pesan yang Dia pilih ini bisa bersalah, maka pesan-pesan yang mereka bawa pun bisa salah. Jika pesan-pesan itu bisa salah, maka probabilitas kesalahan ini memastikan kepastian adanya kesalahan dalam risalah dan pesan yang dibawanya—suatu asumsi yang akan merusak klaim kebenaran Ilahi itu. Dengan kata lain, probabilitas kesalahan dalam wahyu akan merontokkan klaim kebenaran Sang Nabi. Bahkan, sebagian teolog mengaitkan kemustahilan kesalahan ini pada kemustahilan kesalahan pilihan Allah.
Sebagian orang mencoba menghindari paradoks di atas dengan mengatakan bahwa para nabi tidak bersalah saat menyampaikan wahyu. Pendukung solusi ini mencoba memisahkan nabi dari tugasnya membawa wahyu, seolah nabi itu satpam yang berjaga di waktu tertentu dan berlibur di waktu lain. Namun, solusi ini sendiri akan menyembulkan banyak dilema lain yang cukup berat: Bagaimana jika nabi itu salah mencampurkan wahyu yang sampai kepadanya dari Allah dengan pikirannya sendiri atau bahkan—naudzubillah—dari setan—seperti yang dituduhkan sebagian penulis sejarah pada Nabi Muhammad?
Seterusnya, jika nabi itu bisa bersalah, tidakkah mungkin dia sejak awal bersalah menganggap dirinya sebagai pembawa wahyu padahal sebenarnya dia hanya berhalusinasi? Pernyataan sederhana seputar “nabi bisa bersalah” ini ternyata dapat berujung dengan keraguan terhadap asal-usul wahyu itu sendiri dan kebenarannya secara menyeluruh. Dan begitulah seterusnya sampai tidak lagi tersisa sedikitpun keyakinan akan kebenaran wahyu yang datang dari Sumber Ilahi.
Proposisi kategorikal “semua manusia pasti bersalah” seperti ini secara gampangnya ingin menyatakan bahwa genus manusia tak mungkin sempurna. Dan ini, seperti telah kita tekankan, bersumber dari perspektif yang salah terhadap manusia itu sendiri. Memandang manusia dari sudut yang salah memang bakal membawa kita pada kesimpulan bahwa manusia sebagai manusia pasti bersalah.
Marilah kita ambil ilustrasi dari desain sebuah pesawat. Jika ada pesawat yang bisa terbang sejauh 60.000 kaki di atas permukaan laut dalam kondisi-kondisi tertentu, maka tentu secara logis kita mesti menerima asumsi bahwa pesawat itu minimal bisa terbang 100 atau 1000 kaki dalam kondisi-kondisi yang serupa. Anggapan bahwa pesawat itu pasti jatuh (error) sebelum terbang dalam segala kondisi serta merta gugur saat pesawat itu telah kita asumsikan mampu terbang di atas 60.000 kaki dalam kondisi-kondisi tertentu. Artinya, di sini, kita sudah mempunyai asumsi kondisional bahwa pesawat itu pasti bisa terbang, tinggal masalahnya dalam kondisi-kondisi apa saja ia bisa terbang di angkasa raya sana. Sebaliknya, jika kita asumsikan bahwa desain pesawat itu pasti jatuh dan tidak bisa terbang dalam semua kondisi, maka pasti kita tak lagi dapat berbicara tentang terbang di angkasa raya meski hanya 10 kaki atau lebih rendah lagi.
Demikian pula halnya dengan manusia. Jika kita katakan secara universal afirmatif tanpa kuantifikasi dan kualifikasi bahwa semua manusia pasti bersalah, maka kita sebenarnya sedang mengatakan bahwa desain manusia itu sama sekali sudah keliru. Makhluk ini lahir dengan cacat bawaan. Dan ini artinya sama saja dengan menyatakan bahwa Sang Pencipta telah keliru dan sia-sia menciptakan manusia.
Orang-orang beragama percaya, tentu berdasarkan bukti-bukti rasional, bahwa para nabi tidak mungkin bersalah lantaran “tidak bersalah” itu adalah syarat minimal bagi mereka untuk menjadi nabi dan berhubungan dengan realitas transenden Ilahi. Tanpa syarat minimal itu, mereka tidak akan menjadi nabi. Fungsi kenabian itu pun menjadi tidak bermakna tanpa syarat ketakbersalahan ini.
Lebih dari itu, para nabi adalah prototip kesempurnaan manusia. Sebagai prototip, dia harus bebas dari error. Jika tidak, seperti telah kita sebutkan, maka Tuhan Pencipta manusia ini jauh di bawah kemampuan seorang insinyur atau desainer yang setidak-tidaknya mampu memproduksi prototip yang bebas-cacat atau bebas-galat.
Terakhir, ini adalah salah satu argumen teologis paling sederhana: sebagai utusan, nabi sudah sewajarnya mendapat perlindungan khusus dari Allah. Jika Anda bekerja untuk badan keamanan nasional, maka negara akan menjamin Anda dengan segenap kekuatannya untuk menjaga dan menyukseskan tugas Anda. Apapun bentuknya. Nah, bukankah para nabi lebih patut secara logis mendapat perlindungan dari Allah dari segala sesuatu yang dapat menghalangi pelaksanaan tugas-tugasnya, terutama kesalahan-kesalahan umum yang terjadi pada manusia, lantaran tugas-tugasnya memiliki cakupan yang universal?! (MK)
Selesai
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Ceramah ‘Muhammad Sesat Sebelum Nabi’, Evie Effendie Minta Maaf, https://news.detik.com/berita/4157568/ceramah-muhammad-sesat-sebelum-nabi-evie-effendie-minta-maaf, diakses 12 September 2018
[2] Lihat, Benarkah Nabi Muhammad Sesat sebelum Menjadi Nabi?, http://www.nu.or.id/post/read/94104/benarkah-nabi-muhammad-sesat-sebelum-menjadi-nabi, 12 September 2018
[3] Boole, George. An Investigation of the Laws of Thought. 2006. Project Gutenberg (http://www.gutenberg.org/files/15114/15114-pdf.pdf). Hal. 175.
[4] Ibid. Hal. 185.