Pujian dan shalawat kepada Nabi saw. tak pernah usai, sebab kita selalu ingin dekat dengannya. Beragam ekspresi tercipta untuk menunjukkan cinta dan kerinduan kepadanya. Ibarat istana yang megah, kita pun meniru sebatas kemampuan. Mulai pakaian, memanjangkan jenggot, memendekkan kumis, mengangkat kainnya; makan dengan tiga jari, bersedekah setiap hari, bermurah senyum, keramahan dan kemurahan, mengasihi sesama; bersimpuh dalam sujud panjang di tengah gulita.
Oleh: Khairul Imam
(Staf Pengajar IIQ An Nur Yogyakarta)
Siapa yang tak kenal Muhammad Saw. Setiap kita mengenalnya secara gamblang, meski tak pernah melihat sosoknya. Namun, penggambarannya dalam benak setiap muslim begitu jelas, ada, dan nyata. Mereka yang tak seiman pun mengakui keberadaannya, apalagi para pengikutnya tak diragukan lagi selalu merindukannya. Nalar, tingkah laku, gaya, lisan, seakan ingin menyamakan dengannya. Patron yang tak pernah selesai dan teladan sepanjang hayat.
Dalam film The Message yang berdurasi hampir tiga jam, Akkad rupa-rupanya mampu membawa penonton kembali ke Arabia 1400 tahun silam. Secara garis besar, film ini menguraikan kisah risalah Muhammad melalui kehidupan Arabia masa itu, mengisahkan penganiayaan terhadap umat Islam awal, pelarian mereka ke Madinah, dan kemenangan kaum Muslim di bawah panji Nabi Saw.
Adegan dibuka dengan gambaran kondisi padang pasir dengan para penunggang kuda. Sekilas ini mengingatkan kita pada scene film Laurence of Arabia-nya David Lean. Terutama setelah masuk ke alur film, ketika Hamzah datang dari padang pasir dengan pedang di pinggang. Dia tampil dengan gagahnya, dan sangat mirip dengan adegan Omar Sharif yang muncul dari padang pasir.
Memang, berdasarkan pengakuan Akkad, suatu ketika dia sangat terpaku menyaksikan adegan Omar Sharif di film Laurence of Arabia yang muncul dari padang pasir, layaknya hantu di atas kuda. Akkad mengisahkan bahwa adegan yang paling dia kagumi dalam hidupnya adalah adegan David Lean ketika memperkenalkan aktor Omar Sharif. Dia begitu tersentuh dengan adegan itu, dan berusaha melakukan hal serupa.
Sebagai sosok yang baru saja diutus oleh Allah SWT. Muhammad tak sedikit pun ragu mengajak para penguasa untuk masuk Islam, seakan legitimasi penguasa semesta telah di depan mata. Tampak tiga lelaki penunggang kuda yang diutus membawa surat korespondensi untuk menawarkan Islam menuju kerajaan Romawi, Kisra Persia, dan Penguasa Alexandria. Mereka dibekali cincin bertuliskan “Muhammad Rasulullah Saw.”[1] Lalu mereka menghadap dan dia membacakan surat-surat di hadapan para raja yang tengah berjaya pada masanya. Surat untuk Heraclius (penguasa Romawi) dibawa oleh Dihyah bin Khalifah al-Kalbi, surat kepada Muqauqis (Raja Alexandria) oleh Hatib bin Abi Balta’ah, dan surat kepada Kisra Abrawaiz (Raja Persia) dibawa oleh Abdullah bin Hudzafah. Namun, saat surat itu dibacakan kepada Kisra, dia pun merobeknya. Lantas, Rasulullah pun mendoakan, semoga Allah mencaik-cabik kerajaannya.[2]
Gambaran Mekah lengkap dengan identifikasinya dipertontonkan untuk mengenal lebih dekat kondisi sosial masyarakat waktu itu. Lalu-lalang orang-orang di pasar sebagai simbol pusat perdagangan dan kota yang kaya, para penyair di tengah kerumunan selaras dengan tradisi susastra Arab yang tinggi, pemujaan berhala di sekeliling Ka’bah yang mengilustrasikan kondisi masyarakat jahiliah.
Meski identik dengan kaum jahiliyah, dalam arti memiliki peradaban rendah dengan kecenderungan sosial yang buruk, seperti aturan perkawinan dan kebebasan seks, ekonomi, dan minum-minuman keras (khamr). Satu hal yang menarik yang tampak dalam film ini, bagaimanapun mereka memiliki kekhasan berupa kedermawanan. Ini tampak ketika Abu Sufyan dikabari tentang kedatangan rombongan dari Syam, dia pun segera memutuskan untuk menyembelih 100 ekor domba ditambah 10 untuk para pemimpinnya.
Ini seperti ditunjukkan seorang penyair di tengah kerumunan yang memuji Abu Sufyan. Dia pun tak segan melemparkan sekantung dinar atau dirham kepada penyair tersebut atas pujiannya. Syair itu berbunyi:
man allamal qauma annal mâla mâdihuhum wa in ba’atsaruhu # wa in yuhfazh fa syattâmu (siapa yang berkata kepada orang-orang bahwa harta akan memuliakannya, jika dihambur-hamburkan. Dan jika disimpan maka ia akan membusuk)
Wa man idza istalhamal ‘âfûna najdatahu # asyâra hâdza Abû Sufyân ilhâmu (Kepada siapa kita akan meminta bantuan. Siapa lagi kalau bukan Abu Sufyan yang berani dan murah hati)
Hadza Ibnu Harb # bihî tamdhî fil ardhi qawâfilukum ayyâna syâ’at
(inilah anak Harb itu. Karena dialah para kafilah berdatangan dari mana saja dan mereka sangat bahagia)
laha fil ardhi ikrâmu (karena berada di tempat terhormat ini)
Hadza alladzi ‘indahû lisysyi’ri manzilatun (dialah yang memiliki syair yang sangat tinggi itu)
tu’thi bighari su’âl fahiya ansâmu (yang dia habiskan tanpa perhituangan karena syair-syairnya bercahaya)
Demikian ini juga disebutkan oleh Shafiyur Rahman al-Mubarakfury bahwa kedermawanan dan kemurahan hati ini menghiasi ragam susastra Arab. Bahkan dari setengah syairnya dipenuhi dengan pujian dan sanjungan terhadap kedermawanan. Mereka tak segan untuk memotong hewan piaraan mereka satu-satunya yang menjadi penopang hidupnya sekadar untuk menolong tamu yang sedang kelaparan yang diselimuti hawa dingin yang menyegat. Selain itu, salah satu hal untuk menunjukkan kedermawanan mereka biasa bangga dengan minum khamr. Karena itulah, mereka menyebut pohon anggur dengan al-karam (kedermawanan), dan menyebut khamr yang dibut dengan anggur dengan sebutan bintul karam (putri kedermawanan).[3]
Pada masa itu, Mekah adalah kota perdagangan yang kaya yang di pimpin oleh para saudagar. Kekayaannya semakin berlipat ganda dengan hak istimewa yang unik, yaitu rumah tuhan. Setiap tahun diadakan pesta besar-besaran. Suku-suku menunda pekerjaan mereka, dan berhala-berhala dibawa para pendeta gurun pasir ke sekeliling Ka’bah. Tempat paling mulia Nabi Ibrahim itu menjadi rumah penampungan patung-patung. Ada sekitar 360 tuhan dalam rupa patung yang berbeda. Termasuk di dalamnya berhala-berhala terbesar: Hubal, Latta, Uzza, dan Manat.
Saat itu, Mekah berada dalam kekuasaan kaum Quraisy, di antaranya Bani Abdu Dar, sosok yang paling kaya dan pedagang terbesar. Dia memonopoli pemeliharaan berhala sebagai komoditi. Termasuk Bani Hasyim (Abdul Muthalib) kakek Nabi Saw yang lebih suka melayani tamu yang berhaji ke Mekah.
Kehadiran Muhammad dengan visi dan misi baru ini sedikit membuat gerah para penguasa Mekah. Pasalnya, beliau tidak hanya merusak tatanan teologis yang hendak menyingkirkan ratusan berhala di sekitar Ka’bah, tetapi sekaligus memorak-porandakan status sosial dan kemapanan ekonomi yang telah mencapai tingkat kekayaan yang tinggi.
Mekah adalah poros ekonomi dengan upeti yang datang dari kafilah peziarah Ka’bah. Mereka yang datang dari luar daerah berkewajiban membayar upeti kepada dewa-dewa di sekitar Ka’bah, dan itu memiliki dampak besar bagi perputaran ekonomi di Mekah. Sehingga membersihkan berhala di sekitarnya berisiko mengganggu stabilitas pemasukan kekayaan, meski hal ini tak terungkap secara jelas.
Secara sosial, kehadiran Muhammad dengan reformasi moral juga merusak tatanan sosial yang telah dianut sebelumnya. Beliau merombak sistem kelas sosial yang medistorsi kaum rendahan dan mengunggulkan kaum bangsawan. Memperbaiki etika perkawinan dan hak-hak wanita yang terpinggirkan. Termasuk merubah sistem poligami tanpa batasan jumlah wanita, dan kepemilikan wanita secara turun temurun.
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, bâb fi itikhâdzi an-Nabiy Khâtaman, juz. 10, hlm. 471, dalam Maktabah Syamilah v.02
[2] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, bâb mâ kâna yab’atsu an-Nabi minal umarâ`, juz. 22, hlm. 227, dalam Maktabah Syamilah v.02
[3] Shafiyur Rahman al-Mubarakfury, Ar-Rakhiq al-Makhtum (tt: Maktabah an-Nur al-Islamy, tt), hlm. 34-35