Membaca Sirah Nabi Muhammad Lewat Film (5): The Message (1976)

in Lifestyle

Perempuan itu unik. Terlahir sebagai manusia istimewa. Tanpanya tak ada keberlanjutan alam semesta. Dari rahimnya, lahir manusia ketiga keturunan Adam dan Hawa. Dari rahimnya, lahir pula manusia sempurna. Di tangannyalah perempuan kembali pada hakikatnya, duduk setara, berdiri sejajar dengan kaum pria. 

Oleh: 

Khairul Imam

(Staf Pengajar di PPTQ Ibnu Sina Yogyakarta)

Gambar ilustrasi. Sumber: esensiana.com

Satu informasi penting yang ditulis Shafiyur Rahman Al-Mubarakfury. Diriwayatkan bahwa Amr bin Luhay memiliki pembantu dari bangsa jin. Jin ini memberi kabar tentang keberadaan berhala kaum Nuh (Wud, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) terkubur di daerah Jeddah. Dia pun pergi mencarinya dan berhasil menemukannya. Lalu membawa semua berhala itu ke Tihamah. Setelah itu, pada musim haji berikutnya, Amr bin Luhay menyerahkan kembali berhala-berhala hasil temuannya itu kepada para kabilah yang datang ke Makkah. Sehingga semua berhala kembali ke tempat asalnya masing-masing.

Masyarakat Arab waktu itu tidak hanya menjadikan berhala-berhala besar itu sebagai sesembahan. Mereka pun memberikan kurban-kurban kepadanya, bahkan mengelilinginya setiap akan keluar dan datang dari suatu perjalanan, dan dibawanya serta dalam perjalanan bila berhala itu mengizinkannya. Mereka menganggapnya sebagai perantara antara penganutnya dengan dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada Tuhan, tetapi penyembahan kepada Tuhan sudah mereka lupakan karena telah menyembah berhala-berhala itu. Demikian ini marak terjadi baik di dalam ataupun di sekeliling Kabah, bahkan tersebar di semua penjuru negeri Arab atau kabilah-kabilah. Maka tak heran, ketika Rasulullah menaklukkan Makkah, beliau memerintahkan untuk menghancurkan dan membersihkan semua berhala yang ada di Masjidil Haram, yang jumlahnya mencapai tiga ratus enam puluhan berhala.[1]

Nestapa Perempuan di Era Jahiliah

Bertolak dari penyembahan berhala, romantisisme tragis tentang masa kanak-kanak Somayya juga memberikan ilustrasi bagaimana perempuan dijadikan makhluk kedua. Kehadirannya tak berarti apa-apa, alih-alih dianggap sumber malapetaka dan aib bagi keluarga. Ketika seseorang diberitahu perihal kelahiran anak perempuan, raut mukanya mendadak merah dan pucat serasa menanggung malu. Dia sangat marah dan menyembunyikan diri dari orang-orang. Dengan berita tersebut dia merasa akan menanggung kehinaan selamanya (Lihat QS. an-Nahl [16]: 58-59).

Selanjutnya, perempuan yang baru lahir itu pun dibawa ayahnya ke gurun pasir, lalu dibenamkannya tubuh mungil itu ke dalam tanah yang dia gali sendiri di depan matanya. Dia pun menguburnya hidup-hidup, ditimbunnya dengan tanah dan pasir panas sembari mendengar jerit tangisnya yang menyayat hati. Meski demikian, pada masa Arab jahiliah banyak syair ditujukan untuk sang  kekasih yang tak lain adalah kaum perempuan. Kaum laki-laki meluapkan nafsu mereka lewat puji-pujian kecantikan dan kemabukan terhadap kaum perempuan. Seperti anggur, perempuan mampu membuat para hidung belang mabuk kepayang. Meski pada akhirnya mereka akan berbuat semena-mena terhadap mereka.

Praktik perkawinan dengan banyak suami telah menjadi tabiat mereka kala itu. Demikian sebaliknya, seorang laki-laki bisa memiliki istri dengan tanpa batas. Mereka bisa berhubungan badan dengan sejumlah perempuan yang disukai. Pelacuran dianggap profesi. Mereka yang menjadi korban dipelihara sebagai budak, dan dijual sebagai komoditi. Perempuan yang sudah dinikahi diizinkan oleh suaminya untuk bermesraan dengan laki-laki lain untuk memperoleh keturunan.

Dalam hal ini, Abu Daud mengisahkan satu riwayat dari Aisyah mengenai ragam perkawinan di era jahiliah.[2] Menurutnya, ada 4 model perkawinan di era itu:

Pertama, nikah secara langsung. Seorang laki-laki mengajukan lamarannya kepada wali, dan dia langsung dapat menikahkannya setelah menyerahkan mas kawin.

Kedua, pernikahan istibdha, seorang laki-laki berkata kepada istrinya yang baru suci dari haid dengan mengatakan, “temuilah fulan, dan berkumpullah dengannya.” Suami tak akan menyentuh istrinya sebelum ada kejelasan tentang kehamilannya dengan laki-laki lain yang menyetubuhinya. Setelah jelas kehamilannya, suami bisa mengambilnya kembali karena yang diharapkan adalah kelahiran seorang anak yang cerdas.

Ketiga, pernikahan dengan banyak suami (poliandri). Jumlah laki-lakinya tidak lebih dari sepuluh orang, dan mengumpuli satu perempuan. Setelah perempuan itu hamil dan melahirkan bayi, maka selang beberapa hari kemudian para laki-laki itu diundang. Lalu perempuan itu bisa menunjuk siapa bapak untuk si bayi yang dikehendakinya dengan menyebut namanya. Dan laki-laki itu bisa membawa pulang bayi tersebut.

Keempat, sejumlah laki-laki bisa mendatangi seorang perempuan, meski dia seorang pelacur. Dengan cara memasang bendera khusus di depan pintunya sebagai tanda bagi laki-laki yang ingin menggaulinya. Setelah perempuan itu hamil dan melahirkan bayi, dia pun mengundang semua laki-laki yang pernah menggaulinya. Kemudian diadakan undian. Pemenangnya bisa mengambil anak itu dan mengakuinya sebagai anaknya, tanpa bisa menolaknya.

Demikian pula praktik perceraian juga tidak kalah jahatnya dan sudah sangat biasa. Seorang suami bisa menceraikan istrinya berkali-kali tanpa batas, dan bisa mengambilnya kembali sesuka hatinya sekalipun masih dalam masa iddah (masa penantian). Seringkali suami bersumpah untuk tidak akan mencampurinya, dan tak jarang dia mencacinya dan mengatakan istrinya persis seperti ibunya, lalu meninggalkannya dalam keadaan terkatung-katung antara status istri dan cerai. Cara seperti ini dilakukan agar si istri lelah, dan dengan sendirinya tak ada jalan keluar bagi istri malang dalam menanggung pahitnya duka derita ini.[3]

Dalam soal warisan, perempuan tidak diberi kewenangan untuk menerima warisan dari yang meninggal dunia, baik dari suami, ayah, mupun keluarga lainnya. Sebaliknya, dia sendiri dijadikan barang warisan layaknya bagian barang yang ditinggal mati. Barang warisan ini bebas mau dilemparkan ke mana saja sesuka hatinya. Bahkan, orang yang membagikan barang warisan itu bisa mengawininya, atau diberikan kepada orang lain yang dia pilih untuk dikawinkan. Pada saat kematian ayah, si anak diperbolehkan mengawini ibu tirinya karena dianggap sebagai barang warisan.[4]

Demikian menderitanya nasib perempuan, padahal sejatinya dialah poros keturunan dan keberlangsungan generasi. Tak heran keturunan yang dilahirkannya pun bernasib sama, dan mengulangi lingkarang kebodohan yang hampir-hampir tak berujung. Bahasa tak senonoh dan jorok pun selalu dialamatkan kepada perempuan. Bahasa-bahasa itu untuk merangsang birahi. Narasi seksual dan hubungan intim setiap orang diumbar dan diceritakan kepada khalayak dengan bangganya. Syair-syair porno dilantunkan untuk membangkitkan nafsu syahwat di kalangan mereka.   

Kehadiran Al-Mushtafa Muhammad Saw. untuk mereformasi moralitas, mengangkat kaum perempuan dari jurang keterpurukan dan kehinaan terdalam hingga memiliki kedudukan setara. Beliau Yang Mulia berdiri dengan gagahnya. Menjadi garda depan dalam menghargai derajat mereka. Meninggikan derajat kaum perempuan melalui perlakuan dan penjagaan kesucian kaum mereka. Melalui legitimasi Alquran, Rasulullah Saw mengumandangkan satu kedudukan yang terhormat bagi kaum perempuan yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 228). Bahkan Nabi menasihatkan satu wasiat yang amat sakral bahwa “Yang paling mulia di antara kamu adalah mereka yang paling baik dalam memperlakukan istrinya.”

Bersambung

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Shafiyur Rahman al-Mubarakfury, Ar-Rakhiq al-Makhtum (tt: Maktabah an-Nur al-Islamy, tt), hlm. 26

[2] Lihat Abu Daud, Sunan Abi Daud, Kitab ath-Thalaq, bab wujuhun nikah al-lati kana yatanakahu ahlul jahiliyyah, juz. VI, no. 1934, hlm. 192 dalam Maktabah asy-Syamilah, versi. 2.11 

[3] Maulana Muhammad Ali, Muhammad The Prophet (Lahore-USA: The Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam, 1993), hlm. 39-40

[4] Ibid. 0

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*