Menafsirkan Kembali Arsitektur Islam (1)

in Arsitektur

Last updated on December 22nd, 2017 04:39 am

 

Oleh: Khairul Imam

 

“Konsep arsitektural Islam awal tidak hanya mengandalkan pendirian sebuah bangunan an sich, atau kemegahan menjulang tanda kejayaan, tidak pula rayuan artistik ornamentasi yang rumit, melainkan ada keberpihakan ilahiah (divine partiality) di dalam meletakkan dan menunjukkan di mana sebuah bangunan akan didirikan.

—Ο—

 

Kakayaan simbolis yang ditunjukkan oleh sejumlah bangunan di beberapa negara Muslim memperlihatkan bahwa konsepsi arsiterktural di belahan negara tersebut mempunyai kedalaman makna historis. Demikian ini tentu memunculkan spekulasi tentang makna dari konsep rancang bangun tersebut. Bisa jadi memang dibuat dan sengaja dirancang dengan membubuhkan simbol dan tanda tertentu. Atau, bangunan tersebut dipengaruhi konsep seni dan arsitektur kuno. Bisa juga didasarkan atas rujukan dinasti, letak geografis, peta kronologis, konsep keilmuan dan spiritualias, dan lain sebagainya. Tak terkecuali apa yang kita kenal dengan arsitektur Islam.

Pada dasarnya, para sejarawan masih berbeda pandangan mengenai bentuk dan definisi arsitektur Islam, karena fakta ini banyak memunculkan tanda tanya. Betapa banyak bangunan di belahan negara Islam yang merupakan warisan atau adaptasi dari model pra-Islam, kemudian diadaptasi dan dibubuhi beberapa ornamen yang mencirikan islami. Bagaimana dengan model bangunan yang dianggap sebagai arsitektur Islam tetapi digunakan untuk tujuan umum (secular)? Apakah kategori religius ini bisa mencirikan definisi tentang arsitektur Islam hanya melalui rumah, ruangan, kamar mandi, atau bahkan sebuah kota? Lantas, apakah ketika orang Kristen, Yahudi, dan Hindu yang tinggal di dalam wilayah Islam membangun bentuk yang sama maka tidakkah penunjukannya terlalu sempit? Dan, sebaliknya, sebutannya terlalu luas?[1]

Para orientalis Barat enggan mendefinisikan arsitektur Islam. Mereka menolak konsep “islamisasi” dalam arsitektur,  dengan alasan bahwa arsitektur Muslim digunakan oleh orientalis hanya untuk membedakannya dari jenis arsitektur lainnya. Asumsi ini berangkat dari keengganan Islam terhadap pembangunan dan urbanisasi yang beredar di antara beberapa ilmuwan. Mereka mengemukakan bahwa gaya hidup nomaden orang-orang Arab mengecilkan bentuk penyelesaian permanen dan dengan tradisi arsitektur atau bangunan apa pun. Menurut pandangan ini, sebagian besar warisan bangunan dari apa yang disebut arsitektur Islam berasal dari asal-usul Kristen, Persia, atau India, dan Muslim hanya meniru, bahkan kadang-kadang menggunakan tenaga kerja dari kebudayaan ini.[2]

Memang, kita harus menginsafi bahwa kedatangan Islam sebagai agama terakhir telah membawa beberapa pengaruh agama dan kebudayaan sebelumnya. Demikian pula dalam konsep arsitektur yang jarang sekali menjadi perhatian disebabkan simplikasi dari para seniman arsitektur yang sekadar memandang dari sudut material. Dengan menghilangkan simbol-simbol kebudayaan dan agama sebelumnya, lalu menggantinya dengan simbol baru yang dipandang islami, maka itu telah dianggap sebagai bentuk baru dari kelahiran sebuah kebudayaan.

Maka, jika definisi arsitektur Islam sebatas entitas material, hal ini tidak ada bedanya dengan warisan Bizantium atau Sassanian; Kristen, Yahudi, Persia, India. Namun, jika tujuan arsitektur adalah menghadirkan ruang dinamis yang memberikan makna dalam kehidupan, menghasilkan hubungan antara orang-orang, dan membantu umat memahami dan mengartikulasikan identitas mereka melaui silang budaya serta membuat ikatan batin dengan ruang itu maka makna arsitektur Islam dapat dilihat bukan saja sebagai entitas material, namun mencakup keseluruhan estetika bangunan baik material maupun non-material.

Disinilah relevansi analitik model baru dengan memerhatikan perkembangan bentuk arsitektur sebuah bangunan yang mengidentifikasi sebuah identitas dan entitas masyarakat, melalui tempat ibadah, masjid, menara, prasasti yang menuntut sebuah pendekatan kesatuan dan budaya yang berbeda secara historis. Masyarakat Arab yang nomaden yang dianggap tidak membutuhkan bangunan permanen—sebagaimana dituduhkan orientalis—memiliki satu tujuan yang akan menyatukan mereka dalam situ-situs peribadatan, situs sosial pendidikan, perdebatan, dan diskusi keilmuan tentang agama, politik, serta isu-isu aktual pada waktu itu. Meski diwarnai dengan pola akulturasi kebudayaan dengan sebelumnya, tetapi mereka secara alamiah akan memberikan nuansa baru dalam konsepsi arsitektural yang khas Islam.

Selain me-refer kepada bangunan pertama, yaitu Ka’bah, bentuk arsitektural Islam diwakili dengan hadirnya bangunan masjid. Alasan ini sangat mendasar karena menempatkan masjid sebagai ruang yang dinamis yang didirikan di pusat kota dan komunitas umat Islam. Bentuk Masjid ini muncul tidak lepas dari adopsi budaya Badui yang tidak memerlukan arsitektural permanen. Masjid juga didirikan dengan tujuan sebagai fasilitas umum yang membawa muatan identitas ideologis sekaligus religius. Di dalamnya berfungsi sebagai tempat ibadah, pendidikan, diskusi ilmiah, debat publik berkaitan dengan tema-tema agama, politik, kemasyarakatan, bahkan ekonomi.

 

Masjid Quba: Peletakan Fondasi Identitas

Sebagaimana ditegaskan bahwa identifikasi pertama bentuk arsitektural dalam Islam adalah Ka’bah sebagai (QS. Ali Imran [3]: 96). Pada beberapa tempat, al-Quran juga memantik isu tentang bangunan, seperti tertuang dalam QS. At-Tahrim [66]: 11, yang berisi tentan permohonan istri Firaun yang mengatakan: “Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” Selain itu, setelah hijrah ke Madinah, Nabi mula-mula mendirikan sebuah bangunan tempat ibadah berupa masjid, dengan dibantu oleh kaum Muhajirin. Hal ini sebagaimana dikuatkan oleh firman Allah “Sesungguhnya Masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS At-Taubah [9]: 108). Bangunan ini bukanlah bangunan biasa, melainkan batu bata yang disusun dengan penuh perjuangan, pengorbanan, dan yang paling utama adalah disertai keyakinan umat Islam awal yang begitu mendalam. Karena itulah Rasulullah saw. berpesan, “Siapa pun yang membangun masjid dengan tujuan mencari ridha Allah, maka Allah akan membangun baginya tempat yang sama di surga.”

Setelah Nabi Hijrah ke Madinah, beliau dibantu oleh kaum Muhajirin meletakkan fondasi pembangunan sebuah masjid di sebuah area di wilayah Madinah yang dikenal dengan Quba. Jarak dari kota Madinah sekitar dua mil atau kurang lebih lima kilometer. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Masjid Quba ini adalah salah satu masjid yang paling disucikan (dimuliakan) Allah setelah Masjid al-Haram di Mekah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjid al-Aqsha di Palestina.

Menurut para sejarawan, tanah yang dijadikan lahan pembangunan masjid ini semula adalah tanah lapang milik Kultsum bin Hadam, yang biasa ia gunakan untuk menjemur kurma. Sekilas tampak sederhana, hanya sebuah bangunan kosong yang luas, tetapi makna fungsinya adalah untuk menyediakan halaman yang luas, terbuka, dan masih dapat diperluas sehingga masyarakat yang terus tumbuh dapat bertemu di satu tempat.

Dinding halaman terbuat dari bata dari lumpur tanah dan memiliki tiga pintu. Dindingnya mengelilingi area terbuka sekitar 61 meter persegi (56 meter). Di bagian timur halaman merupakan tempat tinggal Nabi Muhammad dan keluarganya. Tiangnya terbuat dari batang pohon kurma, kemudian daunnya digunakan sebagai atap yang disebut zulla.  Atap ini sengaja dibangun untuk melindungi jamaah dari matahari ketika tengah hari. Zulla juga berfungsi untuk menandai orientasi awal arah kiblat—utara, menuju kota suci Yerusalem. Setelah Nabi Muhammad menerima wahyu yang berkaitan dengan perpindahan arah kiblat ke selatan menuju Ka’bah di Mekah, maka zulla dipindahkan sesuai arah kiblat baru.

Selain kiblat, interior masjid juga tak luput dari sorotan. Bentuk arsitektur lain yang diperkenalkan di masjid pertama ini adalah mimbar, di mana Nabi Muhammad saw. secara berkala berbicara kepada masyarakat komunitas Muslim yang sedang tumbuh. Mimbar juga menjadi identifikasi fitur arsitektural dalam Islam. Biasanya terletak di sebelah kanan mihrab atau tempat imam dalam shalat. Terbuat dari fitur sederhana yang terdiri dari dua tangga kursi yang menyerupai tahta.

Dengan demikian, konsep arsitektural Islam awal tidak hanya mengandalkan pendirian sebuah bangunan an sich, atau kemegahan menjulang tanda kejayaan, tidak pula rayuan artistik ornamentasi yang rumit, melainkan ada keberpihakan ilahiah (divine partiality) di dalam meletakkan dan menunjukkan di mana sebuah bangunan akan didirikan. Terbukti bahwa memasukinya tidak semata-mata disuguhkan pemandangan yang kosong tanpa makna, tidak pula sekadar hiasan estetis yang memikat mata dan jiwa, tetapi juga ada pahala yang berlipat bagi mereka yang meyakininya. Seperti direkam oleh at-Tirmidzi, orang yang melakukan shalat di Masjid Quba sama pahalanya dengan melaksanakan umrah.

Bersambung…

Menafsirkan Kembali Arsitektur Islam (2)

Catatan kaki:

 

[1] Santhi Kavuri-Bauer, “Islamic Architecture” dalam http://islamic-arts.org/2012/islamic-architecture/ akses tanggal 12 Desember 2017

[2] Rabah Saoud, “Introduction to Islamic Architecture” dalam http://www.muslimheritage.com/article/introduction-islamic-architecture akses tanggal 12 Desember 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*