Mengenal Abdul Karim Oey (2): Masuk Islam

in Mualaf

Last updated on November 28th, 2017 06:03 am

“Oey Tiang Seng: ‘Ananda adalah orang yang mampu, orang keturunan baik-baik mengapa mau masuk suku Melayu, pakaian jorok dan serba buruk itu.'”

–O–

Di Bintuhan usaha Oey Tjeng Hien berkembang pesat. Dia telah menjadi pengusaha yang sukses dan kaya raya,  tapi hatinya terasa kosong dan hampa. Pegangan batin yang dia bawa dari Padang adalah kepercayaannya kepada Yesus Kristus. Oey Tjeng Hien adalah penganut Advent. Selama dua tahun di Bintuhan, dia masih menganut Advent.[1]

Lewat dua tahun, dia mulai merasakan pergolakan di dalam jiwa. Semenjak itu, dimulailah petualangan Oey Tjeng Hien mempelajari agama-agama lainnya.[2] Mula-mula dia mempelajari berbagai agama melalui bacaan buku, majalah, dan bergaul dengan berbagai pemeluk agama.[3] Meski banyak bergaul dengan teman-teman yang beragama Islam, dia belum sempat memahami apa yang disebut Islam.  Secara diam-diam, dia mulai mengalihkan perhatiannya pada Islam. “Benarkah Islam itu jelek? Benarkah Islam itu hanya untuk orang Arab dan Indonesia?” Tanyanya.[4]

Dia mulai membanding-bandingkan ajaran Advent dengan Islam. Dengan tekun dan sungguh-sungguh dia pelajari satu demi satu. Apakah benar ada kelemahan dalam Islam dan dimana letak kelemahan itu? Pertanyaan demi pertanyaan muncul di dalam benaknya, benarkah Islam merendahkan derajat dan martabat manusia? Benarkah Islam itu hanya untuk orang Arab atau Melayu? Untuk mendapat jawabannya dia berusaha mempelajari buku-buku agama. Setiap pergi ke Jakarta untuk urusan dagang, dia selalu mencari buku-buku tentang Islam.[5]

Setiap ada kesempatan, buku-buku itu dia baca dan pelajari dengan sungguh-sungguh. Demikian juga kepada teman-temannya yang beragama Islam, Oey sering bertanya mengenai ajaran Islam, tentang Nabi Muhammad, shalat, puasa, dan lain sebagainya. Apa yang sebelumnya sangat dia benci berdasarkan anggapan masyarakat Tionghoa yang memberi tuduhan jelek terhadap Islam dan orang Islam, dipelajarinya dengan seksama. Ejekan yang pernah ditanamkan padanya sejak dari Padang tentang shalat, sedekah, zakat, puasa, dan lain sebagainya, diselidikinya dengan teliti. Hingga akhirnya dia sampai pada suatu kesimpulan: menganut agama Islam.[6]

Oey Tjeng Hien menganut agama Islam pada tahun 1926 atau pada usia 20 tahun.[7] Meskipun demikian, batinnya masih dihantui perasaan takut dan cemas apabila nanti menghadapi pandangan Ayah dan saudara-saudaranya kalau mereka tahu dirinya masuk Islam. Pada masa itu, berpindahnya seorang etnis Tionghoa ke agama Islam adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi.[8]

Namun perasaan itu tidak berlangsung lama. Dia membaca Surat Al-Hujurat Ayat 13 di dalam Al-Quran yang memberinya pencerahan tentang hakikat manusia:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat tersebut benar-benar menyentuh kalbunya. Sehingga pendiriannya semakin teguh akan kebenaran Islam dan kekuasaan Tuhan. Dia sadar bahwa Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia. Tidak ada diskriminasi di dalam Islam. Tidak benar bangsa Arab lebih mulia dari bangsa lain. Dia pun akhirnya mengucapkan kalimat syahadat di hadapan Ustadz Abdul Kadir, “asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.[9]

Terhadap perubahan yang terjadi pada anaknya, Oey Tiang Seng (Ayah Oey) mengatakan, “ananda adalah orang yang mampu, orang keturunan baik-baik mengapa mau masuk suku Melayu, pakaian jorok dan serba buruk itu,” sebagaimana dikutip dari buku Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia yang ditulis Leo Suryadinata dan diterbitkan Komunitas Bambu tahun 2010. Tetapi Oey tetap pada pendiriannya. Bahkan pada akhirnya Oey membuat ayahnya masuk Islam juga.[10]

Setelah mengucapkan kalimat syahadat, Oey semakin memperdalam ilmu agama Islam. Ketika itu di Bintuhan ada seorang guru agama yang cukup terkenal, tamatan Tawalib Padang Panjang, namanya Fikir Daud. Dia belajar dengannya dua kali dalam seminggu setelah shalat maghrib. Guru Fikir pandai sekali mengajar, pertanyan-pertanyaan Oey selalu dijawabnya dengan jelas dan semuanya berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Beberapa tahun kemudian setelah Oey menjadi Konsul Muhammadiyah Bengkulu, Fikir Daud diangkatnya menjadi Kepala Sekolah Muallimin Muhammadiyah di Kebon Ros Bengkulu.[11]

Ketika pergi ke Jawa untuk urusan dagang, dia juga manfaatkannya untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional dan Islam. Dia juga membeli buku-buku tentang Islam dan pergerakan untuk dipelajari. Ilmu agamanya makin luas dan mendalam. Di samping belajar dengan guru-guru lain, dia memang sangat berminat dan tekun sehingga tidak begitu sulit memahami ilmu yang diajarkan Fikir Daud.[12]

Selain berguru dengan Fikir Daud, dia juga berguru kepada ayah Buya Hamka, Syaikh Abdul Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Haji Rasul lah yang menambah nama depannya dengan kata “Abdul Karim” sehingga nama lengkapnya menjadi Abdul Karim Oey Tjeng Hien.[13] (PH)

Bersambung ke:

Mengenal Abdul Karim Oey (3): Perjuangan Kemerdekaan

Sebelumnya:

Mengenal Abdul Karim Oey (1): Tionghoa Pembela Rakyat Kecil

Catatan Kaki:

[1] Andi Ryanshah, “Abdul Karim Oey Tjeng Hien: Kisah Tionghoa Pembela Agama dan Negara”, dari laman http://jejakislam.net/abdul-karim-oey-tjeng-hien-kisah-tionghoa-pembela-agama-dan-negara/, diakses 24 November 2017.

[2] Ana Amalia, “Mengenal Karim Oei, Perintis Persatuan Islam Tionghoa Indonesia”, dari laman https://merahputih.com/post/read/mengenal-karim-oei-perintis-persatuan-islam-tionghoa-indonesia, diakses 24 November 2017.

[3] Abdullah, “Kisah Haji Abdul Karim (Oei Tjen Hien) Menjadi Seorang Mualaf”, dari laman http://www.voa-islam.com/read/christology/2014/09/01/32605/kisah-haji-abdul-karim-oei-tjen-hien-menjadi-mualaf/#sthash.N9atXWeC.dpbs, diakses 24 November.

[4] Andi Ryanshah, Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ana Amalia, Ibid.

[8] Mustiana Lestari, “Abdul Karim Oey, aktivis Muhammadiyah dan sahabat Soekarno”, dari laman https://www.merdeka.com/peristiwa/abdul-karim-oey-aktivis-muhammadiyah-dan-sahabat-soekarno.html, diakses 24 November 2017.

[9] Andi Ryanshah, Ibid.

[10] Mustiana Lestari, Ibid.

[11] Andi Ryanshah, Ibid.

[12] Autobiografi H.Abdul Karim Oey Tjeng Hien: Mengabdi Agama, Nusa, dan Bangsa. Gunung Agung:Jakarta, 1982, hlm. 10-12, dalam Andi Ryanshah, Ibid.

[13] Wawancara Andi Ryanshah dengan anak dari Abdul Karim Oey Tjeng Hien yang bernama Mohd. Ali Karim di Masjid Lautze Pasar Baru Mei 2014, dalam Andi Ryanshah, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*