Mengenal Abdul Karim Oey (5): Indonesia Telah Merdeka, Perjuangan Selanjutnya adalah Dakwah

in Mualaf

“Setelah merdeka tujuan dakwah Islam Karim Oey difokuskan kepada etnis Tionghoa di Indonesia. Pertimbangannya adalah bahwa dakwah terhadap etnis Tionghoa akan lebih efektif apabila dilakukan oleh sesama etnis Tionghoa yang muslim.”

–O–

Di dalam penjara, Letnan Van den Berg mendatangi Karim Oey tengah malam. Mereka berdialog berhadapan, namun Karim Oey tidak dapat melihat wajah Van den Berg sebab tertutup surat kabar yang seolah sedang dibacanya. Van den Berg mengatakan, “Orang-orang Tionghoa biasanya pedagang. Tetapi tuan menjadi orang politik. Sekarang sudah masuk penjara. Apa keuntungannya? Kalau tuan mau mau bekerjasama dengan Belanda, bisa saya usulkan tuan menjadi agen perusahaan-perusahaan Belanda seperti Borsumij, Internatio, Tels, atau agen Geo Wehry. Itukan suatu keuntungan besar?”

Oey menjawab, “saya banyak mengucap terima kasih atas anjuran tuan yang baik itu. Tetapi saya tidak bisa terima. Saya berjuang membela agama, bangsa, dan negara dari muda sampai sekarang. Saya sudah menempuh berbagai kesulitan dan beberapa kali masuk penjara. Sampai-sampai mau dibuang ke Digul.”

“Kalau begitu tuan bisa dihukum lebih berat dan dibuang lebih jauh,” ancam Van Den Berg.

“Terserah. Tuan punya kekuasaan!” Balas Karim Oey tanpa gentar sedikit pun.

Akhirnya Van Den Berg marah, menghentakkan kaki dan lalu pergi. Van Den Berg datang kembali untuk membujuknya, namun pendirian Karim Oey tidak berubah. Oey malah menantang, “Pendirian saya tidak bisa dibeli dengan apapun. Saya tetap menunggu apa yang akan terjadi.”

Esoknya dia dibebaskan dan berganti statusnya menjadi tahanan rumah. Dia dilarang keluar rumah dan menerima tamu. Siang malam petugas menjaga di depan rumahnya. Demikian hukuman itu berlangsung sampai delapan bulan. Beberapa hari menjelang pengakuan kedaulatan, Belanda angkat kaki meninggalkan Bengkulu dan Oey dibebaskan.[1]

Perjuangan Abdul Karim Oey tak hanya berhenti di masa revolusi. Dia melanjutkan perjuangannya di jalan dakwah. Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) didirikan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 1963 (berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PITI). PITI didirikan oleh Abdul Karim Oey Tjeng Hien, Abdusomad Yap A Siong, dan Kho Goan Tjin. PITI merupakan gabungan dari dua organisasi, yaitu Persatuan Islam Tionghoa yang berbasis di Medan dan Persatuan Tionghoa Muslim yang berbasis di Bengkulu.[2]

Pada waktu didirikan PITI mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat luas, sehingga PITI dapat tumbuh dengan pesat dari kota ke kota dan akhirnya dapat menjadi organisasi keagamaan yang berskala nasional. Pada awalnya PITI didirikan dengan tujuan dakwah Islam kepada etnis Tionghoa di Indonesia. Pertimbangannya adalah bahwa dakwah terhadap etnis Tionghoa akan lebih efektif apabila dilakukan oleh sesama etnis Tionghoa yang muslim.[3]

Pada 15 Desember 1972 PITI mengubah namanya dari yang sebelumnya “Persatuan Islam Tionghoa Indonesia” menjadi “Pembina Iman Tauhid Islam”, yang apabila disingkat masih sama-sama PITI. Dasar perubahan nama tersebut adalah karena desakan pemerintah yang berkuasa pada saat itu melarang organisasi-organisasi yang bersifat etnis atau bahasa tertentu.[4]

Walaupun demikian, kendati sudah berganti nama, PITI masih identik dengan organisasi Islam yang diperuntukkan etnis Tionghoa. Pada tahun 1998, pemerintahan Soeharto digulingkan oleh gerakan rakyat yang disebut dengan Reformasi. Semenjak itu segala kebijakan negara yang bersifat mengekang dihilangkan. Pada bulan Mei tahun 2000, PITI mengubah kembali namanya ke nama lama, yaitu “Persatuan Islam Tionghoa Indonesia”.[5]

Dalam kiprahnya sebagai organisasi keislaman, PITI tercatat telah mendirikan masjid dengan nama Cheng Ho sebanyak 10 kali semenjak tahun 2002. Masjid tersebut tersebar di berbagai kota di Indonesia, sesuai dengan urutan berdirinya yaitu Surabaya, Jambi, Palembang, Kutai Kartanegara, Purbalingga, Gowa, Banjarmasin, Batam, Banyuwangi, dan Samarinda. Selain 10 masjid tersebut, masih ada lagi 5 masjid di kota lainnya yang sama-sama menggunakan atribut Cheng Ho.[6]

Tidak hanya di PITI, Oey tetap aktif di Muhammadiyah dan juga pernah menjabat sebagai anggota DPR (1956-1959) yang mewakili kaum Tionghoa. Pada tahun 1967-1974, dia aktif menjabat sebagai Pimpinan Harian Masjid Istiqlal Jakarta.[7]

Di bidang perniagaan Oey tetap melanjutkan bakatnya. Karim Oey sukses memimpin beberapa perusahaan, antara lain pabrik kaos Asli 777, Komisaris Utama BCA (Bank Central Asia), Direktur Utama Asuransi Central Asia, PT Mega milik bersama Hasan Din, (ayahanda Ibu Fatmawati Soekarno) yang mengimpor cengkeh dan lain-lain.[8]

Perjuangan Abdul Karim Oey berhenti di Usia 83 tahun. Ia wafat pada 16 Oktober 1988. Jenzahnya dimakamkan di TPU tanah kusir, berdekatan dengan Maemunah Mukhtar, istrinya yang wafat pada tahun 1984.[9] Perjuangan panjangnya membela agama dan tanah airnya memberikan cermin teladan bagi kehadiran etnis tionghoa di Indonesia. Keimanan Abdul Karim Oey Tjeng Hien yang mendasari perjuangannya membela Indonesia.[10]

Takdirnya sebagai etnis Tionghoa tidak menghalangi dirinya untuk berjihad di negeri ini. Sebab Islam tidak memandang etnis seseorang. Islam mengikis habis diskriminasi etnis. Islam memerintahkan umatnya untuk menolong saudaranya di manapun berada. Sikap rasialis hanya merupakan warisan kebijakan rasis penjajah Belanda yang mengkotak-kotakan masyarakat di Nusantara, maka ajaran Islam justru menembus sekat-sekat etnis. Dalam Alqur’an Allah berfirman,“sesungguhnya sesama mukmin itu bersaudara.” Maka wajar, kisah Abdul Karim Oey menjadi contoh nyata pembauran yang efektif bagi orang-orang keturunan Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.[11] (PH)

Selesai.

Sebelumnya:

Mengenal Abdul Karim Oey (4): Pengkhianatan Masyumi Bengkulu

Catatan Kaki:

[1] Autobiografi H.Abdul Karim Oey Tjeng Hien: Mengabdi Agama, Nusa, dan Bangsa. Gunung Agung:Jakarta, 1982, hlm 103-116. Dalam Andi Ryanshah, “Abdul Karim Oey Tjeng Hien: Kisah Tionghoa Pembela Agama dan Negara”, dari laman http://jejakislam.net/abdul-karim-oey-tjeng-hien-kisah-tionghoa-pembela-agama-dan-negara/, diakses 7 Desember 2017.

[2] Mahyudi, Strategi Dakwah Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Periode 2005-2010 Dalam Meningkatkan Ibadah Anggota, (Skripsi Jurusan Manajemen Dakwah, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2008, tidak diterbitkan), hlm 35.

[3] Ibid., hlm 36.

[4] Ibid.

[5] Ibid., hlm 37.

[6] Petrik Matanasi, “15 Masjid yang Mengabadikan Cheng Ho di Indonesia”, dari laman https://tirto.id/15-masjid-yang-mengabadikan-cheng-ho-di-indonesia-cpDS, diakses 21 November 2017.

[7] Elvan Dany Sutrisno, “Jejak Tokoh Islam Oei Tjeng Hien di Rumah Pengasingan Soekarno”, dari laman https://news.detik.com/berita/3155599/jejak-tokoh-islam-oei-tjeng-hien-di-rumah-pengasingan-soekarno, diakses 7 Desember 2017.

[8] Ana Amalia, “Mengenal Karim Oei, Perintis Persatuan Islam Tionghoa Indonesia”, dari laman https://merahputih.com/post/read/mengenal-karim-oei-perintis-persatuan-islam-tionghoa-indonesia, diakses 7 Desember 2017.

[9] Elvan Dany Sutrisno, Ibid.

[10] Andi Ryanshah, Ibid.

[11] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*