Mozaik Peradaban Islam

Mengenal Allah (1): Mengobati Kecemasan

in Tasawuf

Last updated on June 28th, 2020 11:33 am

Huzn adalah kesedihan yang mendatangi orang-orang yang merasa kalah, tersingkirkan, dan tak mendapatkan apa yang dia inginkan. Bagaimana cara mengobatinya?

Foto: aalequtub.com

Takut atau cemas dapat menjangkiti setiap orang yang tidak tahu. Benar, manusia dan makhluk mana pun tak akan pernah mengetahui masa depan. Tapi dengan makrifat tentang Allah, seseorang bisa dekat dengan Tuhan.

Sedemikian dekatnya sehingga dia dapat menjadi wali sebagaimana disebutkan dalam surat Yunus ayat 62:

أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada ketakutan pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Kata wali dalam bahasa Alquran bisa bermakna dua: hamba dan tuan. Artinya, tiada tuan sejati kecuali memiliki hamba dan tiada hamba sejati kecuali selalu bersama tuannya.

Hamba sahaya sejatinya selalu bersama tuannya. Dalam bahasa Arab, kata wali dengan masdar wilayah, berarti kedekatan interaktif, bilateral, atau dua sisi. Sementara hamba yang menjauh dari tuannya adalah hamba yang sedang mengingkari tuannya atau tidak menjalankan perintah tuannya.

Betul, Allah dekat dengan makhluk-Nya. Dalam Alquran, Dia berfirman:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

“Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaf [50]: 16)

Tapi dalam konsep wali, kedekatan bukan sekedar satu sisi.  Pada kenyataannya, sering kali hamba itulah yang tidak dekat pada tuannya. Hamba sendirilah yang menciptakan hijab yang membuat dirinya menjauh dari Allah dan tidak pernah bisa dekat dengan-Nya.

Akibatnya, orang seperti ini merasa Tuhan itu jauh. Dia menganggap keluhan, rintihan, dan doanya tak pernah didengarkan oleh Allah lantaran rahmat-Nya terhambat oleh jarak. 

Perasaan ini datang dari mana? Dari tiadanya makrifat tentang Allah. Perasaan ini, misalnya, datang dari dosa syirik. Sikap syirik itu bertingkat-tingkat dan tingkat paling rendah ialah menyatakan ada penguasa selain Allah di alam ini. Ketika syirik menghinggapi jiwa seseorang maka dia akan jauh dari Allah Yang Maha Tunggal.

Sebaliknya, dengan makrifat yang benar tentang Allah, seseorang akan dekat dengan-Nya. Apabila seseorang dekat dengan-Nya, dia menjadi wali Allah sebagaimana dikatakan dalam surat Yunus ayat 62 di atas. Menariknya lagi, dalam ayat ini Allah berfirman, “la khaufun alaihim” yang berarti “tidak memiliki ketakutan”. Wali-wali Allah itu bukan hanya tidak takut tapi tidak memiliki ketakutan.

Kalimat berikutnya dari ayat ini tak kalah menariknya:  “Wa laa hum yahzanun”. Kata yahzanun dalam bahasa Arab tergolong fiil mudhari  atau kata kerja yang sedang berlangsung. Jadi mereka tidak pernah merasakan sedih, gelisah, atau cemas (anxiety) seperti disebut dalam pembuka artikel ini.

Sedih mendatangi orang-orang yang merasa kalah, merasa tersingkirkan, dan merasa tak mendapatkan apa yang dia inginkan.  Huzn  lahir lantaran merasa apa yang seseorang cita-citakan atau harapkan tidak pernah mewujud. Jadi kesenjangan antara ekspektasi dan realitas inilah yang menciptakan huzn. Semakin jauh kesenjangannya, kesedihannya kian mendalam.

Tapi orang yang dekat dengan Allah tak akan merasa demikian. Mereka tidak pernah merasa apa yang dia inginkan itu tidak ada. Mengapa? Karena dia merasa Allah selalu bersamanya.  

“Apa yang bisa diraih oleh orang yang kehilangan-Mu. Apa yang dirasakan hilang bagi orang yang telah mendapatkan-Mu,” kata cucu Rasulullah saw, Sayidina Husain ra, dalam munajat doa Arafah.

Wali Allah tidak pernah merasakan ada yang hilang. Semuanya sudah dia dapatkan setelah menemukan Sang Maha Sempurna, Maha Penguasa, Maha Mengetahui, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hatinya terisi oleh sesuatu yang bukan sekedar kebahagiaan seperti penggalan doa Sayidina Ali bin Abi Thalib ra yang diajarkan kepada Kumail bin Ziyad ra:

وَ طاعَتُهُ غِنىً

 (Taat kepada Allah adalah kekayaan.)

Maksud kekayaan di sini bukanlah memiliki limpahan materi karena kekayan materi itu sejatinya adalah kemiskinan. Dalam pembahasan makrifat tentang Allah, kekayaan materi justru memperbudak seseorang.

Terkait hal ini, dalam kesempatan lain Ali ra berkata kepada Kumail ra, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin:

“Hai Kumail! Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta itu terhukum. Harta itu berkurang apabila dibelanjakan dan ilmu itu bertambah dengan dibelanjakan.”[1]

Maksud kekayaan dalam potongan doa di atas ialah ketaatan kepada Allah akan menimbulkan kekayaan berupa kepuasan, hilangnya ketakutan dan kegelisahan. Ini berarti hati dan bahkan seluruh eksistensinya sudah dipenuhi oleh rahmaniyah (kasih sayang), jamaliah (keindahan), dan jalaliyah (keagungan) Allah.

Dengan demikian, ketakutan akan sirna dari dirinya. Dia melangkah di muka bumi ini dengan penuh khusyuk, tidak lagi tengok kanan dan kiri, tak mau pusing dengan orang lain yang sudah memiliki ini dan itu. Semua penyakit tersebut tidak lagi menjangkitinya karena dia sudah bersama Allah.  

Ibarat orang yang berpergian jauh bersama sahabat yang memiliki moral, kecerdasan, kekuatan fisik, dan keuangan yang memadai. Meski perjalanan itu berat, dia yakin sampai tujuan dengan selamat. Dia meyakini sahabatnya tak akan mengganggunya apalagi mencelakakannya. Teman seperjalanannya itu justru siap berkorban untuknya.

Walhasil, dia menempuh safar dengan tenang. Inilah keyakinan yang dimiliki para wali Allah. Mereka tidak pernah cemas atau takut lantaran meyakini Allah dekat dengannya. Allah adalah sahabatnya sekaligus penolongnya.

Jadi mengapa harus takut? Bukankah Allah Pencipta dan Pemilik segala sesuatu? Bukankah Dia yang Maha Mengetahui nasib segala sesuatu, baik masa lalu, kini, dan masa depan? (MK)

Bersambung ke:

Catatan Kaki:


[1]  Imam al-Ghazzali, Ihya Ulumuddin: Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama (Buku Republika: Jakarta, 1965), hlm 52-53.

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*