Mozaik Peradaban Islam

Mengenal Allah (2): Cara Mendekatkan Diri kepada Allah

in Tasawuf

Last updated on September 25th, 2020 02:05 pm

Doa ibarat hikmah yang datang dari Tuhan untuk membuka hati manusia dan mengisinya dengan makrifat supaya dia siap dekat dengan Allah. Tapi kemudian sebagian orang bertanya dengan nada menggugat, “Saya sudah sering berdoa tapi kok Allah enggan mengabulkan?”

Gambar ilustrasi. Sumber: orizarenews.com

Segala sesuatu terjadi dan tercipta secara bertahap. Tak ada yang langsung sempurna. Semua perlu proses. Proses itulah yang terkadang dipersepsi oleh manusia sebagai kesulitan yang harus dilalui.

Allah tidak memberikan yang instan karena manusia akan segera melupakannya. Manusia begitu mudah membuang sesuatu yang mereka anggap gampang dan murahan. Seperti udara yang Allah berikan cuma-cuma tapi dianggap angin lalu. Berapa banyak orang yang bersyukur kepada-Nya setiap kali menghirup udara?

Menurut Alquran, jalan menuju Allah tidak seenteng itu. Jalannya sarat dengan derita, ujian dan kesulitan sedemikian sehingga manusia benar-benar merasakan tempaan demi tempaan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَٰنُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَىٰ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَٰقِيهِ

“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS al-Insyiqaq [84]: 6) 

Walau sulit, Allah memberikan cara atau kaidah yang jelas. Kaidah ini menjadi petunjuk atau peta dalam perjalanan manusia mendekatkan diri kepada-Nya.

Kaidah pertama ditunjukkan dalam surat al-Baqarah, ayat 152:

فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (al-Baqarah [2]: 152)

Kaidah ini begitu gamblang dan simpel dipahami oleh setiap manusia: Kalau Anda mengingat Allah, Dia akan mengingat Anda. Sesimpel itu.

Ayat ini tidak mensyaratkan waktu dan tempat. Jadi, ingatlah Allah dalam keadaan apa pun, di mana pun dan kapan pun karena Allah begitu dekat dengan makhluk-Nya.

Ketika Sayidina Ali bin Abi Thalib menyaksikan anak panah pemburu berhasil mengenai tubuh seekor binatang, dia berkata, “Hewan itu baru saja lupa bertasbih.” Demikianlah gambaran keintiman Allah dengan seluruh makhluk-Nya.  

Tapi pertanyaannya, apakah kita mengingat-Nya? Apakah kita hanya mengingat Tuhan saat kondisi terpuruk dan melupakan-Nya saat senang.

Mereka yang hanya mengingat-Nya dalam keadaan susah dan melupakan-Nya saat merasakan kenyaman adalah orang-orang yang dikutuk Allah. Musababnya, mereka mempermainkan Tuhan.

Oleh karena itu, kita harus sampai pada tekad yang bulat untuk senantiasa mengingat Allah. Jika kita telah memiliki tekad untuk mengingat-Nya, Dia pasti memenuhi janjinya. Dia akan mengingat kita sebagaimana janjinya dalam surah Al-Baqarah ayat 152. Dan bayangkan kalau Zat Yang Maha Kuasa mengingat kita?

Pesan senada terkandung dalam Alquran surah Muhammad ayat 7:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhammad [47]: 7)

Ayat ini mungkin mengganggu pikiran Anda. Apakah mungkin Tuhan Yang Maha Kaya masih membutuhkan pertolongan dari makhluk-Nya? Tentu tidak mungkin.

Ayat ini mencerminkan Diri-Nya sebagai sumber kasih sayang. Meski memiliki segala sesuatu tapi dalam ayat ini Dia seperti mengajak manusia untuk saling membantu dalam kebaikan.

Dia seolah menurunkan derajat kekuasaannya yang tidak terbatas itu sehingga berkenan menjadi mitra manusia dalam berbuat baik. Sepertinya seorang raja saja enggan berbuat demikian. Presiden pun enggan disamakan derajatnya dengan Gubernur.

Sementara kaidah kedua tercantum dalam surah al-Hasyr, ayat 19:

وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS al-Hasyr [59]: 19)

Ayat ini memperkuat dan seolah menjawab pertanyaan ayat pertama: Bagaimana jika orang itu lupa kepada Allah?

Jawabannya: Allah membuat mereka lupa terhadap dirinya sendiri. Bayangkan, bagaimana kondisi orang yang melupakan dirinya sendiri. Orang lupa meletakan handphone-nya saja bisa belingsatan, bagaimana dengan orang yang lupa terhadap dirinya?

Ini bagaikan orang yang berjalan dengan tubuhnya tapi melupakan dirinya. Seperti zombie yang hidup dan tidak tahu mau ke mana. Dia dikendalikan dari jauh tapi dia sendiri tidak tahu ke mana. Dia tidak tahu apa yang seharusnya dipikirkan dan diperbuat karena memang tak punya tujuan.

Inilah akibat orang yang melupakan Allah. Dia tidak pernah ber-munajat, tak pernah meluangkan waktu berbisik-bisik kepada Tuhannya. Kalaupun pernah, ya sekali-sekali, itu pun dalam keadan pikirannya entah ke mana.

Orang seperti ini tidak akan pernah hidup dalam keadaan waras menurut definisi Alquran. Orang waras dalam konteks ini ialah mereka yang bertakwa kepada Allah. Sebaliknya, orang yang tidak waras berarti tidak tahu tujuan hidup, tidak punya perasaaan, dirinya hanya dikendalikan oleh nafsu dan iblis.

Jika waras berarti takwa, maka orang yang tak waras dalam definisi agama disebut fasik. Secara bahasa, fasik berarti rusak. Ibarat tanaman yang busuk dan tak dapat dipanen. Seperti orang yang hatinya membusuk sehingga tak ada lagi rasa kemanusiaan di dalamnya.

Selanjutnya, Tuhan menunjukkan kaidah ketiga melalui surat al-Mukmin ayat 60:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.’.” (QS al-Mukmin [40]: 60)

Tuhan meminta manusia untuk mencoba mengetuk pintu-Nya dan berdoa kepada-Nya. Allah berfirman, Dia pasti menjawabnya.

Lewat Alquran dan teks-teks riwayat Rasulullah dan keluarganya, Allah bahkan mengajarkan hambanya cara berdoa. Doa-doa dalam Alquran dan riwayat itu mengajarkan bagaimana seorang hamba berhubungan kepada Allah dan merasakan lezatnya dekat dengan Zat Yang Maha Indah dan Maha Kaya.

Oleh karena itu, doa sejatinya bagian dari pengenalan kepada Allah. Doa ibarat hikmah yang datang dari Tuhan untuk membuka hati manusia dan mengisinya dengan makrifat supaya dia siap dekat dengan Allah.

Tapi kemudian sebagian orang bertanya dengan nada menggugat, “Saya sudah sering berdoa tapi kok Allah enggan mengabulkan?”

Jika kembali pada ayat pertama di atas, si penggugat lupa bahwa Tuhan memberikan segala nikmat kepadanya, termasuk kehadirannya di muka bumi ini. Si penggugat lupa bahwa ia dulunya tiada, bukan apa-apa. Lalu kemudian Allah menjadikannya ada dan memberikannya kekuatan.

Sebelumnya dia makan dengan bantuan orang lain, kini dia dapat makan dengan tangan sendiri.  Sebelumnya anak-anak, sekarang dia tumbuh dewasa, dan seterusnya. Tapi setelah itu semua, dia berdoa meminta keinginannya dan menganggap Allah tak mengabulkannya. Berarti dia memang lupa kepada Allah.

Seorang hamba seharusnya percaya kepada Allah lebih daripada bayi yang yakin kepada ibunya. Padahal ketika bayi menangis, ibunya belum tentu mengetahui secara pasti keinginan anaknya. Bisa jadi si bayi menangis lantaran mengantuk, sakit, atau minta air susu ibunya. Tapi sang bayi yang tak bisa mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata itu toh meyakini ibunya akan mendatanginya dan menjawab permintaannya.

Sementara Allah sudah pasti lebih kuasa dari itu. Allah mengetahui kepentingan dan kebutuhan hambanya lebih daripada hamba-Nya. Boleh jadi keinginan seseorang itu justru buruk baginya bahkan dapat mendorongnya kepada kehancuran tapi Allah menggantinya dengan sesuatu yang terbaik.  

Walhasil, kaidah-kaidah inilah yang bisa membantu manusia melangkah dalam pengalaman ruhani menuju Allah. Dengan mengingat Allah, kita akan keluar dari penjara kelalaian. Begitu keluar dari kerangkeng kelalaian menuju Allah, saat itu lah kegelisahan, ketakutan, dan seluruh kesedihan akan sirna dari dalam hati kita. Inilah yang disebut dengan obat segala penyakit. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*