Mozaik Peradaban Islam

Mengenal Allah (3): Pangkal Agama adalah Ilmu (1)

in Tasawuf

Last updated on October 1st, 2020 11:55 am

“Pangkal agama ialah Makrifat tentang Dia.” ~ Ali bin Abi Thalib ra dalam Nahjul Balaghah ~

Lukisan tentang Jafar bin Muhammad al-Balkhi (787–886), seorang ahli hadis dan astrolog, atau lebih terkenal dengan sebutan Abu Mashar, tinggal di Baghdad pada abad ke-9. Foto: Qatar National Library

Setelah mengenal prinsip-prinsip perjalanan menuju Allah, pertanyaan selanjutnya dengan sarana apa kita melangkah? Jika menyelami hadis Nabi Muhammad saw, begitu juga sikap dan tutur kata Ahlulbait-nya[1], kita akan menemukan bahwa betapa mereka menekankan pentingnya ilmu pengetahuan.

Dengan ilmu, mereka mencapai kedekatan kepada Allah. Sedemikian dekatnya dengan Allah sehingga sebagian besar firman-Nya disampaikan kepada mereka, bahkan Dia berbicara tentang mereka.

Lalu bagaimana mereka memperoleh ilmu? Allah berfirman:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS Fussilat [41]: 53)

Berdasarkan ayat ini, para ulama menyebut dua cara Allah memperkenalkan tanda-tanda-Nya sebagai cara memberikan ilmu kepada manusia. Tanda pertama, melalui cakrawala atau apa yang ada di luar diri manusia. Kedua, apa yang ada di dalam diri manusia (fi anfusihim).

Jika keduanya ditimbang, apa yang ada di dalam itu lebih pakem, paten, menghujam, dan berbekas bagi jiwa manusia. Tapi bagaimanapun, dalam proses belajar manusia tidak mengenal batas dalam mengenal Allah. Oleh karena itu, Allah menggunakan istilah ilmu dalam Alquran.

Kata ilmu itu menarik dalam bahasa Arab. Ilmu berasal dari huruf: ain, lam, dan mim. Dari tiga huruf ini juga muncul kata alim atau orang berilmu, alam atau sesuatu yang diketahui manusia. Selain itu, lahir kata alamat yang secara etimologi mencerminkan bahwa ilmu itu tanda tentang hakikat.

Ilmu mestinya mengarahkan orang kepada hakikat atau kenyataan sesungguhnya, dan Wujud Yang Maha Nyata ialah Allah. Bukankah pejalanan hidup ini adalah safari untuk mengenal Allah berdasarkan banyak ayat dalam Alquran?

Salah satu ayat yang sering kita dengar, misalnya:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Fatir [35]: 28)

Kata ulama dalam ayat ini merupakan jamak dari alim, yang berarti orang yang berpengetahuan. Siapa mereka? Orang yang terus menerus belajar dan berupaya mengetahui apa yang ada di luar dirinya sebagai tanda-tanda Allah. Alam[2] adalah tanda, ilmu itu sendiri tanda, ayat (dalam alquran) juga tanda. Semuanya tanda tentang Allah.

Jadi, perjalanan hidup ini adalah proses manusia belajar untuk mengenal lebih jauh Zat yang Maha Sempurna. Proses pengenalan itu tak akan pernah berhenti dan tidak mungkin berhenti karena Allah tak terbatas. Dengan demikian, pengenalan orang kepada-Nya tak akan pernah sampai sempurna.

Nah, dengan mengenal Allah, manusia akan mendapatkan banyak keutamaan. Dengan mengenal Allah timbul penghambaan kepada-Nya, lahir cinta kepada-Nya, muncul kedekatan kepada-Nya, dan berbagai keutamaan jiwa lainnya seperti syukur, tawakal, dan sabar.

Meski demikian, ilmu yang dimaksud Alquran ini ialah ilmu yang mengarahkan kepada kesempurnaan jiwa, ruh, dan fisik. Memiliki metode yang jelas. Dalam istilah hadis Nabi disebut “ilmu nafi’’ atau ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang mengantarkan orang kepada tujuan kesempurnaan.

Itulah mengapa dalam Alquran, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam majlis,’ maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadilah [58]: 11). [MK]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Ali, Fatimah, dan putra-putranya adalah Ahlul Kisa (orang-orang dalam jubah), sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi Muhammad merengkuh mereka ke dalam jubahnya untuk menunjukkan bahwa dia sangat mengistimewakan mereka.

Mereka juga disebut dengan Ahlubait (keluarga Nabi) sebagaimana disebutkan dalam Alquran, QS al-Ahzab, ayat 33. Penjelasan tentang ini lihat: Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah: Cahaya Purnama Kekasih Tuhan (Bandung: Mizan, 2012) hlm 35.

Nabi bersabda, “Barang siapa mengharapkan hidup dan matinya seperti aku dan masuk surga, hendaklah mencintaiku, mencintai Ali, dan mengikuti Ahlulbait-ku. Karena mereka adalah keturunanku dan telah diciptakan dari tanahku. Pengetahuan dan pemahamanku telah dianugerahkan kepada mereka. Maka celakalah orang-orang yang mengingkari mereka. Syafaatku (pada hari kiamat) tak akan mencakup mereka.” Lihat: Munkatab Kanzil-Ummal, pada tepi halaman Musnad Ahmad, Kairo, 1368, jilid V.h.94.

[2] Yang dimaksud dengan alam, adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan, alam yang sekarang kita tengah hidup di dalamnya, dan kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan berbagai panca indera kita. Lihat: Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi (Lentera: Jakarta, 2008) hlm 99.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*