Mozaik Peradaban Islam

Mengenal Allah (4): Pangkal Agama adalah Ilmu (2)

in Tasawuf

Last updated on October 7th, 2020 01:51 pm

Rasulullah bersabda, “Jika ada majelis ilmu dan majelis ibadah, maka pergilah ke majelis ilmu.”

Foto ilustrasi: vocfm.co.za

Orang beriman ditinggikan derajatnya oleh Allah dan orang berilmu menerima derajat lebih tinggi lagi. Mengapa lebih tinggi? Karena orang berilmu dapat beriman lebih lanjut, dapat memupuk ilmu lebih lanjut, dapat mengukuhkan iman, lebih konstan, lebih stabil, dan bukan sesaat saja beriman.

Tak mungkin ilmu berbenturan dengan iman, bahkan ilmu yang menstabilkan iman. Orang yang memperhatikan semesta ini, dia akan belajar sehingga dapat mengambil kesimpulan bahwa penciptaan semesta bukanlah kesia-siaan, ia tidak terjadi secara tiba-tiba. Dengan belajar, dia akan menyadari semesta ini memiliki sistem yang canggih.

Itulah mengapa ilmu memiliki kedudukan yang luar biasa dalam Islam. Penulis pernah berdiskusi dengan penganut agama lain yang mengenal banyak kitab suci, naskah kuno, dan kata-kata bijak pembawa ajaran agama.

Kesimpulannya: Tak ada kitab suci dan nabi lainnya yang menekankan pada ilmu ketimbang Alquran dan Rasulullah.

Alquran bahkan memulai cerita manusia pertama dengan ilmu pengetahuan:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!’.” (QS al-Baqarah [2]: 31)

Ayat yang pertama turun ialah iqra, bacalah. Ini menunjukkan bahwa basis utama Islam adalah pengetahuan. Dengan ilmu, seseorang akan diantarkan kepada sesuatu yang lebih baik dan itu disebut dengan keimanan.

Sebaliknya, ketakutan pada ilmu merupakan ajaran batil. Ketakutan terhadap penyebaran budaya ilmiah dalam masyarakat adalah cermin sikap jahiliyah. Karena pada hakikatnya ilmu itu cahaya. Nabi bersabda, “Al-ilmu nurun.”

Walhasil, orang berilmu akan menerangi dirinya dan orang lain. Dirinya terang sehingga bisa mengetahui, merasakan, melihat, dan tidak lagi meraba. Di sisi lain, orang yang di dekatnya ikut mendapatkan petunjuk. Inilah keniscayaan cahaya: Terang dan menerangi sekitarnya.

Nabi Muhammad merupakan manusia yang paling tinggi ilmunya dan paling dekat dengan Allah. Meski demikian, Allah tetap mengajari Nabi-Nya untuk menambah ilmu dengan doa:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS Ta Ha [20]: 114)

Inilah ilmu, pondasi agama, dasar mengenal Allah. Tidak mungkin mengenal Allah tanpa ilmu. Ilmu adalah jembatan emas kepada Allah.

Adalah aneh jika umat Muhammad lebih condong kepada segala hal selain ilmu. Bahkan jika dibandingkan dengan majelis ibadah, majelis ilmu lebih mulia di sisi Nabi Muhammad. Pada suatu kesempatan Rasulullah mengatakan, “Jika ada majelis ilmu dan majelis ibadah, maka pergilah ke majelis ilmu.”

Dalam sebuah hadis lainnya, beliau juga bersabda, “Berpikir sesaat lebih baik dibandingkan ibadah setahun.” Intinya, Islam lebih memuliakan ilmu.

Tapi bagaimana bisa masyarakat seperti memilih sebaliknya? Itu karena masyarakat masih mengandalkan panca indra. Mereka mengira ahli ibadah pasti dekat dengan Allah. Namun meskipun mereka menggunakan ilmu untuk untuk dekat kepada-Nya, tapi itu bukan dengan sarana mata, karena panca indra tak selalu menghasilkan ilmu.[1]

Alam sebagai sumber ilmu ini bukan hanya dunia kasat mata.[2] Alam selalu bersanding dengan orang berilmu. Alam merupakan wadah bagi mereka yang belajar, teman menuntut ilmu. Dengan demikian, seorang alim yang berada di alam untuk meraih ilmu, tak lain adalah untuk mencari tanda-tanda (alamat) kebesaran Allah.

Allah berfirman:

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS al-Isra [17]: 85)

Karena pada hakikatnya, kalaupun seseorang sudah belajar seribu tahun tetap akan sedikit ilmunya dibandingkan dengan yang harus dipelajari, dibandingkan dengan kesempurnaan Allah.

Belajar Tanpa Guru?

Ilmu memiliki metode. Ada juga prinsip utamanya. Ada cabang-cabang ilmu dengan metode belajarnya masing-masing. Lantaran menggunakan metode, seseorang tak bisa mengaku menerima ilmu langsung dari Allah. Sayidina Ali bin Abi Thalib saja belajar dari Rasulullah. Kalau yang semulia dia saja belajar dari Rasul, mestinya orang tak mudah mengaku belajar tanpa guru.

Berbeda dengan perasaan, ilmu bisa ditransfer ke orang lain. Oleh sebab itu, kita tidak bisa mentransfer iman yang merupakan hasil pengolahan ilmu. Tak heran jika Allah berfirman kepada Rasul:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS al-Qasas [28]: 56)

Ilmu bisa diajarkan, ditransfer, diwariskan, dan dikembangkan. Contohnya ilmu Tafsir dan Sejarah yang sekarang jauh lebih berkembang dibandingkan dengan 300 tahun lalu. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Menurut para sufi, pengetahuan yang diperoleh melalui sarana indra atau pengetahuan indrawi (sensual knowledge) berada pada tingkatan paling rendah, lantaran objeknya yang sangat terbatas, relatif (related to a thing), dan sementara (temporary).

Begitu banyak realitas objektif yang tak dapat dijangkau oleh indra manusia, termasuk objek-objek bendawi seperti molekul, bakteri, elektron, dan lain sebagainya. Pengetahuan ini takkan sanggup mengantarkan manusia kepada tujuan penciptaan maupun kebahagiaan yang sejati. Lihat: Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi (Jakarta: Lentera, 2002), hlm 83.

[2] Tiga tingkatan persepsi – indra, imajinasi, dan akal – bersesuaian dengan tiga alam eksternal: alam fisik, imajinasi, dan alam akal. Selanjutnya lihat: William C. Chittick, On The Teleology of Perception dalam Transcendent Philosophy Journal, Vol. 1, No. 1, Juni, 2000.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*