Mozaik Peradaban Islam

Mengenal Allah (5): Pangkal Agama adalah Ilmu (3)

in Tasawuf

Last updated on October 9th, 2020 12:58 pm

Suatu hari, Sayidina Ali bin Abi Thalib berjalan bersama sahabatnya, Kumail. Di tengah jalan, langkah Kumail terhenti ketika mendengar seorang melantunkan bacaan Alquran. “Aku akan memberitahu tentang siapa orang yang membaca Alquran itu,” kata Ali.

Foto ilustrasi: sandala.org

Kemuliaan Orang Berilmu

Ada hadis yang menarik, “Kemuliaan orang berilmu satu derajat dibandingkan seorang yang syahid. Kemuliaan orang yang syahid di jalan Allah satu derajat dibandingkan orang beribadah. Keutamaan Nabi itu satu derajat lebih tinggi dibandingkan orang berilmu.” Hadis ini menunjukkan tingginya kedudukan orang berilmu.

Suatu hari, Sayidina Ali bin Abi Thalib berjalan bersama sahabatnya, Kumail. Di tengah jalan, langkah Kumail terhenti ketika mendengar seorang melantunkan bacaan Alquran.

“Aku akan memberitahu tentang siapa orang yang membaca Alquran itu,” kata Ali.

Selepas perang melawan Khawarij di Nahrawan, Sayidina Ali menggamit lengan Kumail dan mengajaknya melihat seorang yang terbunuh di pihak musuh.

“Orang inilah yang membaca Alquran dengan suara yang indah, tetapi suaranya yang indah tidak menghasilkan ilmu dalam dadanya,” kata Ali.

Ilmu diperlukan karena dapat menjadi nutrisi hati. Lantaran ilmu itu nutrisi bagi hati, kita perlu mengetahui ilmu yang masuk dalam hati kita.

Perumpamaan tubuh manusia, jika nutrisi buruk, asupan buruk, maka tubuh akan buruk juga. Boleh jadi tubuhnya kelihatan gempal atau gemuk tapi sesungguhnya rapuh, tak bertenaga karena susunan nutrisinya tidak benar. Asupan nutrisinya justru membawa masalah baru bagi tubuhnya.

Ada banyak cara untuk makan. Sebagian orang makan untuk sekadar melepaskan lapar sebagaimana minum hanya melepas haus. Sebagian lagi rakus. Mereka makan terus tanpa tahu apa tujuannya. Berbagai macam makanan dia makan termasuk makanan yang tidak diperlukan oleh sistem tubuhnya, sehingga asupan itu menjadi kelebihan kolesterol atau racun.

Nah, mencari ilmu itu harus diawali dengan niat. Rasululullah bersabda, “Siapa yang mencari ilmu untuk kesombongan, dia mati dalam keadaan bodoh.Orang yang mencari ilmu untuk sekadar bicara tanpa amal, dia akan mati dalam keadaan munafik. Orang yang mencari ilmu sekadar untuk untuk berdebat, dia akan mati sebagai orang fasik. Orang yang mencari ilmu untuk sekedar menumpuk harta, dia akan mati dalam keadaan zindik[1].”

Golongan pertama pada hadis di atas tampaknya aneh. Orang mencari ilmu justru mati dalam keadaan bodoh. Orang yang mencari ilmu untuk sekedar gaya-gayaan, sombong, akan mati dalam keadaan bodoh. Inilah makanan yang seharusnya membuat orang sehat, tapi karena dimakan berlebihan sehingga membuat orang tersebut sakit.

Tapi, lanjut Rasul, “Siapa yang mencari ilmu untuk amal, akan mati dalam keadaan arif.”

Ini seperti hadis lainnya, “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah.”

Ilmu dalam Alquran digandengkan dengan amal perbuatan. Ilmu mestinya menggerakkan kita untuk beramal. Dalam ilmu Teologi, dikatakan bahwa seorang nabi dapat mencapai derajat maksum[2] karena mereka memiliki ilmu tentang hakikat dosa.

Perumpamaan orang yang menghindari untuk memegang arus listrik karena mengetahui bahayanya, ilmulah yang menjadi ismah darinya.

Lalu bagaimana jika ada orang berilmu tapi amalnya buruk semua? Ilmunya tentu palsu, tidak bermanfaat, oleh karena itu, hakikatnya dia jahil.

Kelompok orang jahil terbagi dua. Pertama, orang yang tidak memiliki ilmu dan menyadari dirinya tak berilmu. Kedua, orang tidak berilmu tapi merasa memiliki ilmu.

Orang yang pertama disebut jahil basit (bodoh sederhana) dan tidak memiliki dampak kecuali dia tidak mendapatkan kesempurnaan yang dimiliki orang berilmu. Sementara orang yang kedua disebut jahil murakabb, yaitu mereka bukan hanya tak mendapat kesempurnaan orang berilmu tapi juga berbahaya bagi orang lain.

Kelompok kedua inilah yang disebut Alquran sebagai jahiliyah. Pekerjaan mereka melakukan keburukan karena merasa berbuat baik. Mereka enggan belajar dari orang lain dan justru merasa bahwa merekalah yang seharusnya mengajari.

Rasulullah mengahadapi umat yang berada pada zaman jahiliyah ini. Ketika sistem kebodohan mampu membuat orang di dalamnya seolah-olah berilmu dan memiliki argumen. Mereka seperti kaum Sofis[3] pada zaman Yunani kuno. Mereka lebih berbahaya daripada orang yang tidak tahu dan menyadari dirinya tidak tahu (tidak berilmu).

Jika Rasul mengahadapi umat yang benar-benar tidak tahu dan polos, maka tidak akan terjadi penentangan dan perang. Tapi Rasul hidup pada zaman jahiliyah, di tengah orang-orang yang merasa tahu, yang merasa memiliki keyakinan yang lebih baik daripada selainnya. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Zindik adalah orang yang tidak punya keyakinan agama yang benar.

[2] Secara mendasar, istilah ini berarti “keterlindungan atau keterbebasan (dari keburukan moral)” dan – dengan sendirinya – berarti bukan hanya integritas moral yang sempurna, melainkan juga bahkan tak bercela sama sekali.

Sebab, sebagaimana diajarkan dalam Islam, Allah melindungi para nabi-Nya dari dosa dan kesalahan, karena bila tidak, Firman ilahi akan tercemar oleh noda yang berasal dari pembawanya. Lihat: Annemarie Schimmel, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah: Cahaya Purnama Kekasih Tuhan (Bandung: Mizan, 2012), hlm 88.

[3] Pada abad ke-5 sebelum Masehi, dilaporkan adanya sekelompok sarjana yang dalam bahasa Yunani disebut dengan “Sofis”: Orang bijak atau berilmu.

Akan tetapi, biarpun berinformasi luas mengenai ilmu pengetahuan pada masanya, mereka tidak meyakini adanya kebenaran-kebenaran pasti. Juga, menafikan adanya sesuatu yang benar-benar diketahui secara pasti.

Menurut laporan para sejarawan filsafat, mereka ini adalah pengajar-pengajar profesional dalam (seni) retorika dan debat. Lihat: Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, (Jakarta: Shadra, 2010), hlm 2.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*