Mengenal Nabi Khidir AS (1)

in Studi Islam

Last updated on February 25th, 2019 06:19 am

“Lalu keduanya berjumpa dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 65)

—Ο—

 

Namanya sangat masyhur, meski sosoknya demikian misterius. Bahkan namanya-pun bukan nama sebenarnya. Orang-orang hanya mengenalnya dengan sebutan Khidir, yang artinya hijau. M. Quraish Shihab mengatakan bahwa hijau adalah simbol keberkahan.[1]

Di dalam Al Quran, ada beberapa sosok agung dalam sejarah yang tidak disebutkan namanya. Tapi lakon hidup yang mereka mainkan demikian penting, hingga Allah SWT mengabadikan kisah-kisah mereka dalam Al Quran. Seperti dalam Surat Yasin ayat 20, Allah SWT berfirman: “Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, ‘Wahai kaumku! Ikutilah utusan-utusan itu’.”

Selain itu, ada juga kisah tentang Ashhabul Kahfi yang kisahnya demikian masyhur. Allah SWT berfirman, “Atau seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh hingga menutupi (reruntuhan) atap-atapnya, dia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?’ Lalu Allah mematikan (orang itu) selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (menghidupkannya) kembali. Dan (Allah SWT) bertanya, ‘Berapa lama engkau tinggal (di sini)?’ dia (orang itu) menjawab, “Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari’. Allah berfirman. ‘Tidak! Engkau telah tinggal seratus tahun. Lihatlah makanan dn minumanmu yang belum berubah, tapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar Kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging. ‘Maka ketika telah nyata baginya, iapun berkata, ‘saya mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu’.” (QS. Al Baqarah: 259)

Tapi dari sejumlah tokoh besar yang diceritakan Al Quran, kisah soal Nabi Musa As yang berguru pada Khidir adalah yang paling banyak menyita perhatian para mufasir dan kaum Muslimin umumnya. Bagaimana tidak, Allah SWT menyebutnya sebagai, “…Seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS. al-Kahfi: 65)

Menariknya lagi, sosok yang dikenal sebagai Khidir ini ternyata memiliki ilmu lebih tinggi daripada Nabi Musa As. Allah SWT berfirman: “Musa berkata kepadanya: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab: ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?’ Musa berkata: ‘Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.’ Dia berkata: ‘Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.'” (QS. al-Kahfi: 66-70)

Ada beberapa perbedaan pendapat terkait kedudukan Khidir. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah seorang wali, ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah seorang Nabi. Tapi yang banyak disepakati oleh para mufasir bahwa Khidir adalah seorang Nabi. Salah satu yang menguatkan hal itu adalah ucapan Khidir kepada Musa As diakhir perjalanan mereka, Khidir berkata kepada Musa, “Dan bukanlah aku melakukan (semua perbuatan itu) menurut kemauanku sendiri..” (QS. al-Kahfi: 82)[2]

Musa Kazhim, mengutip dari tafsir Al Mizan karya Allamah Husein Thabathaba’I menyatakan, salah satu tanda kenabian atau mukjizat Khidir ialah setiap kali ia duduk di atas kayu ataupun tanah gersang, maka berubahlah tempat yang didudukinya menjadi hijau royo-royo. Itulah alasan mengapa dia dipanggil dengan sebutan Khidir atau “Yang Hijau”.[3]

Jalaluddin as-Suyuthi dalam tafsir ad-Dur al-Mantsur menukil hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas sebagai berikut: “Sesungguhnya Khidir disebut Khidir lantaran setiap dia shalat di atas hamparan kulit putih, maka hamparan itu tiba-tiba berubah menjadi hijau.”[4]

Menurut berbagai riwayat, nama Nabi Khidir yang sebenarnya adalah Talia bin Malik bin Abir bin Arfakhsyad bin Sam (atau Shem) bin Nuh. Dia laki-laki yang lahir dengan sendok perak di mulutnya. Seorang anak raja pada zaman kenabian Zulkarnain As.

Dalam banyak kisah yang dituturkan mengenai dirinya di berbagai belahan dunia, Khidir merupakan superhero dalam sosok yang hanya bisa dinikmati manusia sekarang lewat film-film fiksi di layar kaca. Dia bisa melipat ruang dan waktu, bebas melakukan segala hal yang dia inginkan. Sejarah merekam sisi lain kehidupannya. Dia dikenal sebagai nabi yang diutus untuk menguji nabi sejawatnya. Di pernah menguji Zulkarnain. Dia juga pernah mengetes kesabaran Musa. Muslimin di seluruh dunia mafhum adanya soal kisah-kisah ini. Di banyak sekolah dasar, guru-guru agama umumnya mengajarkan betapa akhirnya Musa harus mengakui Khidir hanya bertindak sesuai keinginan Tuhannya – sekalipun itu tak sejalan dengan pandangan banyak orang. Tapi bahkan setelah semua itu, Khidir tetaplah kekayaan Tuhan yang tersimpan rapat. Orang tidak pernah tau di mana dia sekarang ini, di mana rumahnya, dan seperti apa kehidupaannya. Orang bahkan hanya mengenalnya dengan warna. Ya, warna. Khidir, dalam Bahasa Arab, merujuk hijau, warna kehidupan.[5] (AL)

Bersambung…

Mengenal Nabi Khidir AS (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, Musa Kazhim & Alfian Hamzah, Menyerap Energi Ketuhanan, Jakarta, Hikmah, 2009, hal. 4-5.

Catatan: ejaan yang benar dari kata خضر dalam bahasa Arab adalah Khadir, dan bukan Khidir. Akan tetapi, karena ejaan salah kaprah Khidir lebih populer daripada Khadir, maka dalam tulisan ini ejaan yang dipakai adalah yang populer tersebut–Editor.

[2] Lihat, DR. Abdul Karim Zaidan, Hikmah Kisah-Kisah Dalam Al Quran; Dari Nabi Adam – Isa Beserta Kaumnya, Jakarta, DarusSunnah, 2010, hal. 469

[3] Lihat, Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi, Jakarta, Lentera, 2002, hal. 113.

[4] Ibid

[5] Lihat, Musa Kazhim & Alfian Hamzah, Op Cit, hal. 4-5

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*