Ada semacam hubungan saling cinta dan menghormati antara paman dan kemenakan lelakinya yang yatim piatu. Jika bukan lebih, maka Abu Thalib sungguh mencintai Muhammad sebesar cintanya kepada putra yang paling disayanginya.
Abdul Muthalib menyadari bahwa kematiannya tidak akan lama lagi. Masa depan anak yatim piatunya ini dengan segera menjadi perhatian utamanya. Oleh karena itu, dia memanggil putranya Abu Thalib dan meminta dia secara khusus untuk memelihara kemenakan lelakinya, Muhammad, setelah dia meninggal.
Adalah baik bahwa ia melakukannya, sebab Abdul Muthalib meninggal dalam masa dua tahun Muhammad berada dalam pengasuhannya. Konon Abdul Muthalib berumur seratus dua puluh tahun ketika meninggal, tetapi cucunya baru berusia delapan tahun. Lagi, kematian telah merenggut jiwa yang dikasihi dari kehidupan Muhammad.
Dia sangat sedih karena telah kehilangan kakeknya. Dia merasakan bahwa ia telah kehilangan orang yang kasih sayangnya tidak dapat ditandingi oleh orang lain. Dia sangat berduka atas kehilangannya selayaknya duka seorang anak yang penuh kasih pada saat menyadari bahwa ia tak akan pernah melihat lagi orang yang dikasihinya itu untuk selamanya.
Barangkali, Abdul Muthalib memilih untuk memercayakan Muhammad kepada pemeliharaan Abu Thalib sebab di kemudian hari, ia mempunyai ibu yang sama seperti Abdullah, bapak Muhammad. Mungkin ia juga menyadari bahwa Abu Thalib adalah yang paling baik dan peduli di antara putra-putranya.
Hal ini menjelaskan mengapa Abu Thalib telah dipilih untuk tugas tersebut, di samping fakta bahwa ia mempunyai banyak anak dan seorang laki-laki yang kurang mampu. Dari sisi keuangan, banyak paman-paman Muhammad lainnya yang mempunyai tempat lebih baik untuk memeliharanya. Namun, Abdul Muthalib tetap memilih Abu Thalib, dan itu memang suatu pilihan yang amat sesuai.
Abu Thalib tetap memelihara Muhammad sampai menjadi seorang pria dewasa. Bahkan kemudian, ia tetap menunjukkan kepedulian yang penuh kasih layaknya seorang bapak kepada putranya yang telah dewasa. Dia tak pernah lambat di dalam memberikan nasihat dan bimbingan.
Ketika Muhammad mulai menerima risalah dan menyampaikan kepada masyarakatnya, Abu Thalib mendukungnya di hadapan oposisi yang kuat dari kaum Quraish. Dia tak pernah meninggalkannya, bahkan pada saat tekanan-tekanan telah sangat kuat untuk bisa dihadapi oleh orang tua seperti Abu Thalib waktu itu.
Ada semacam hubungan saling cinta dan menghormati antara paman dan kemenakan lelakinya yang yatim piatu. Jika bukan lebih, maka Abu Thalib sungguh mencintai Muhammad sebesar cintanya kepada putra yang paling disayanginya.
Lagi-lagi bahwa pada saat ia berada dalam pemeliharaan pamannya, ada tanda bahwa Karunia Tuhan selalu dihubungkan dengan kehadiran Muhammad. Sementara tak ada limpahan kekayaan yang masuk tiba-tiba ke dalam rumah Abu Thalib, di sana selalu tampak kecukupan sejak Muhammad ada di sana.
Jika makan malam telah disediakan tapi Muhammad belum hadir, maka Abu Thalib meminta putra-putranya untuk menunggunya. Dia telah menyadari bahwa jika Muhammad sedang ikut makan bersama mereka, maka makanan selalu tampak berlimpahan dan setiap orang terpenuhi. Jika dia tak hadir, maka makanan yang tersedia tampak tidak cukup dan semua orang minta lebih.
Secara keseluruhan, masa kanak-kanak Muhammad sangat menyenangkan. Ia menyebarkan kebahagiaan pada semua orang di sekitarnya. Oleh Karena itu, tidak mengejutkan bahwa dia sangat dicintai oleh semua orang yang dekat dengannya.[1]
Kami mempunyai beberapa laporan menyangkut periode itu dalam kehidupan Muhammad yang menyatakan bahwa berbagai orang mengenali dia sebagai Nabi yang akan datang. Banyak yang menyatakan bahwa orang-orang yang mengenalinya akan mencoba berupaya untuk membunuhnya.
Laporan pertama bercerita tentang Halimah yang membawa Muhammad kepada seorang peramal untuk diramalkan masa depannya. Bagaimanapun, tak satupun dari laporan itu, dapat mencapai suatu derajat keotentikan yang cukup untuk membuatnya bernilai. Hal seperti itu memang mungkin terjadi. Pengaruh mereka, baik kepada anak lelaki itu sendiri maupun kepada mereka yang telah memeliharanya adalah sangat terbatas.
Tidak pula cerita mengenai pertemuan Muhammad dengan biarawan Kristen dari kota Busra di Selatan Syria menjadi sesuatu yang memiliki arti penting yang besar. Cerita ini menyatakan bahwa Muhammad ikut dengan Abu Thalib pamannya ketika ia akan berangkat untuk ekspedisi perdagangan ke Syria, dan dia tak akan pergi tanpa membawanya. Kemudian, Abu Thalib memutuskan untuk membawa kemenakan lelakinya yang berumur dua belas tahun itu untuk ikut bersamanya.
Dalam perjalanan kembali pulang setelah menyelesaikan bisnis mereka di Syria, biarawan ini, Bahira konon mengundang seluruh kafilah untuk makan malam. Hal ini menandai keberangkatan dari kebiasaan lalunya. Dengan tegas dia meminta semua orang dalam rombongan itu untuk ikut hadir.
Dia mengenal Muhammad dan berbicara dengannya, bertanya banyak kepadanya mengenai sisi kehidupannya. Dia juga mengenal sebuah tanda pada bahu Muhammad yang menunjukkan bahwa ia diharapkan untuk menjadi Nabi terakhir.
Ketika yakin mengenai hal itu, Bahira bertanya kepada Abu Thalib tentang hubungannya dengan anak lelaki itu. Ketika Abu Thalib berkata bahwa ia adalah putranya—seperti orang Arab mempertimbangkan bahwa seorang paman mempunyai posisi yang sama sebagai bapak—Bahira berkata: “Ia bukan putramu. Bapak anak lelaki ini pasti sudah meninggal.”
Abu Thalib menceritakan kepadanya bahwa Muhammad adalah kemenakannya dan bahwa bapaknya telah meninggal sebelum kelahirannya. Bahira berkata: “Itu adalah benar. Bawa kemenakan lelakimu ini kembali ke kota asalnya, dan peliharalah dia secara hati-hati. Apabila umat Yahudi mengenalnya seperti yang aku lakukan, maka mereka pasti akan mencoba untuk menyakiti dia. Kemenakan lelakimu ini pasti akan mempunyai masa depan yang hebat.”[2]
Apa pun kebenaran tentang cerita ini dan laporan lain yang kita sudah tunjukkan, hal itu meyakinkan bahwa mereka tidak memengaruhi Muhammad. Kita harus ingat bahwa ia masih kanak-kanak, dan ia tidak bisa bercita-cita mendapatkan penghormatan sebagai hasil dari percakapan Bahira.
Lebih dari itu, orang-orang yang ikut mendengarkan percakapan Bahira dengan Abu Thalib tidak terganggu untuk menghubungkannya dengan orang lain. Satu-Satunya nilai dari laporan ini adalah bahwa mereka mengonfirmasikan fakta bahwa orang yang mempelajari agama lain menyadari akan munculnya seorang Nabi di Arabia. Pengetahuan mereka didasarkan pada kepastian yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka.
Muhammad baru berumur dua belas tahun ketika ia meneruskan perjalanan ini dengan pamannya, Abu Thalib. Beberapa laporan menyatakan bahwa ia bahkan lebih muda.
Tak lama setelah ia kembali ke Mekah, ia menyadari bahwa lebih dulu ia harus melakukan sesuatu untuk membantu pamannya yang miskin yang memiliki keluarga besar untuk dihidupinya. Sekalipun sejak dilahirkan Muhammad telah membawa berkat bagi lingkungan dekatnya, di mana itu terjadi—seperti yang telah diriwayatkan ibu susunya, Halimah—, dia tidak bermaksud untuk memperoleh kehidupan yang makmur. Selalu tampak berkecukupan bagi semua orang di sekelilingnya, tapi sedikit untuk disimpan.
Muhammad sendiri hanya memerlukan sedikit saja: ia menjadi sangat berguna dengan apa pun juga yang ada dan tersedia untuknya. Akan tetapi, ia selalu mempunyai suatu perasaan tajam atas apa pun yang sedang berlangsung di sekelilingnya. Dan, Muhammad menyadari situasi pamannya yang menjerit membutuhkan bantuan. [EH]
Bersambung….
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Dar al-Qalam, Beirut, vol.1, hal. 189. Juga, Ibn Sayyid al-Nas, ‘Uyun al-Athar, Dar al-Turath, Madinah, 1996, hal. 103.
[2] Ibn Hisyam, op.cit., hal. 191-194.