Nuansa Sufistik dalam Susastra Jawa-Islam (1)

in Islam Nusantara

Last updated on December 30th, 2017 09:08 am

 

Oleh: Khairul Imam

Para punggawa susastra Jawa itu mengajarkan nilai-nilai puncak Islam dengan gaya ungkap yang sederhana. Mereka menyampaikan dengan bahasa ibu dan kecenderungan saat itu. Kesederhanaan dalam ungkapan tak mengurangi kemegahan dalam pemikiran. Demikian itu justru menunjukkan karya tersebut telah mengecap esensi ketuhanan. Sehingga kepelikan dan kerumitan dalam tasawuf dan filsafat mampu dicerna dan diterima dengan mudah oleh orang-orang Jawa, bahkan yang tak pernah sekolah sekalipun.

—Ο—

 

Kecenderungan susastra Jawa-Islam awal, salah satunya lebih bernuansa mistik sufi dan mengandung nilai tasawuf daripada nalar teologis atau fikih praktis. Mistik sufi dalam konteks ini berarti segala hal yang bernuansa atau mengandung ajaran tasawuf, dari aspek tarekat, makrifat, sampai hakikat. Jauh sebelum merambah dan mempengaruhi kesusastraan Jawa-Islam, tahapan-tahapan semacam ini telah banyak menghiasi karya-karya sufi Timur sebagai poros pembelajaran mistik awal. Seperti tampak dalam puisi-puisi cinta Jalal ad-Din Rumi dan Sa’di Syirazi, ekstase ketuhanan Ibnu ‘Arabi, kemabukan cinta dalam bait-bait syair Rabi’ah al-Adawiyah, atau idealisme mistik al-Ghazali, perjalanan spiritual Abdul Qadir al-Jilani, dan lain sebagainya.

Termasuk kategori susastra Jawa-Islam awal adalah Kitab Bonang, atau dikenal dengan Peringatan Seh Bari. Karya ini merupakan salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pandangan Zoetmulder, kitab ini layak mendapatkan tempat utama. Kitab ini tidak sekadar memaparkan ajaran pengarang sendiri, melainkan ditunjukkan pula pendapat-pendapat yang menyimpang dan ditolak sebagai ajaran sesat. Dalam kitab ini, Syekh al-Bari—nama lain pengarang—berusaha menerangkan kepada murid-muridnya pendapat ortodoks mengenai Tuhan secara murni serta menentukan kedudukan makhluk terhadap Penciptanya.[1]

Satuhune ananing Pangeran kang asifat saja langgeng mahasuci tan lyan ananira uga, kang tan bastu-jisim ananira kang purba andadeken kang asifat suksma jati tan anuksma tan sinuksma tan awor lan salwiring(du)madi kabeh, rehing langge(ng) anani(ng)kang purba, mapan ananira mahasuci suksmanira wibuh sampurna elok mahamulya mahatinggi mahaluhur, utawi ananira tan ana wikana ing suksmanira tan lyan(ing) piambekira kang wikan ing suksmanira pribadi.[2]

Terjemahan:

Sesungguhnya adanya Tuhan itu bersifat tunggal, langgeng mahasuci dan itu bukan sesuatu yang lain daripada ada-Nya (kodrat-Nya) yang tidak material, yang pada awal mula memberikan “ada” kepada segala sesuatu. Sesungguhnya Dia tidak termasuk alam kebendaan, tidak menjiwai dan tidak dijiwai, tidak berbaur dengan buah ciptaan-Nya karena Dia Ada sebelum segala sesuatu dan bersifat langgeng dan mahasuci. Sifat-Nya yang lepas dari kebendaan meliputi segala sesuatu, sempurna, elok, Mahamulia, Mahatinggi, dan Mahaluhur. Mengenai hakikat-Nya, tak seorang pun tahun akan sifat-Nya yang lepas dari kebendaan (sukma), hanya Dia sendiri maklum akan jiwa-Nya.

 

Lebih gamblang adalah yang termaktub dalam bagian ini, dari Kitab Bonang,

Tegese iku: dening rahasyaning manusya iku tansah jinateni(ng) sih saking pa(nga)kening sahing dhatullah dadi rahasyaning manusya iki tansah anarima angestoken umiring pangakening sih. Rahsyaning dhatu ‘llah iku wiyosung panarimaning manusya kang linewih sinelir ika; mapan sira pangeran kang saja asih angasih ling piambekira iku menargaken panarimaning lisaning manusya, kewala si sihi(ng) kawula ikut minangka walesaning angasih edat ing sifat af’alira, dadi darma malesi kewala lisaning kawula iki.[3]

Terjemahan:

Ini berarti, karena rahasianya manusia selalu menerima cinta sejati (kebenaran mengenai cinta) maka sebagai akibat ia mengetahui cinta Tuhan rahasia manusia selalu menyerahkan dirinya (kepada Tuhan) (anarima), berpegang teguh (pada perintah-Nya) (angestoken) dan selalu menyesuaikan diri kepada pengakuan cinta itu. Penyerahan diri manusia sempurna akhirnya berjumpa dengan rahasia Tuhan. Untuk itu Tuhan yang hanya mencintai diri-Nya sendiri mempergunakan lidah manusia. Demikian cinta si abdi hanya menanggapi cinta yang mendasari zat sifat-sifat dan perbuatan; lidah manusia tak lain daripada sarana untuk menanggapi (cinta).

 

Menurutnya, dalam Kitab Bonang tersebut tampak adanya penyatuan mistik dengan Tuhan, sedangkan jiwa yang dikasihinya bersikap pasif sehingga Tuhan dapat menggantikannya, menguasai daya kekuatannya lalu mempergunakannya untuk membalas dengan cara yang memadai cinta yang diberikan kepada “karya tangan-Nya.” Dan itu semua terjadi di dalam sirr, yaitu rahasianya manusia.[4]

Selain itu, dalam Suluk Seh Madekur juga kental dengan nuansa mistik Islam, meski disinyalir tidak sampai ke arah panteistik dan monistik. Dalam suluk ini dijelaskan mengenai konsep lahir dan batin dalam diri manusia, dengan pertama-tama membedah masalah pengenalan Tuhan, kemudian mengetengahkan konsep diri, “barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.” Demikian pula menguraikan kunci pemahaman diri yang dapat menyibak rahasia batin, yang disebutnya sebagai rasa dat (Nur Muhammad) atau hakikat Muhammad. Dalam diri manusia ada ruh idhafi yang tersembunyi dalam ruhani, dan ruhani berada dalam jasad atau badan. Nur Muhammad inilah sebagai cahaya yang dapat menyinari seluruh alam semesta tanpa terkecuali. Hanya saja manusia dengan keadaan dirinya tidak semua manusia sanggup menangkap cahaya itu, terutama mereka yang masih kotor cermin dirinya.[5]

Kemungkinan konsep Nur Muhammad sebagai cahaya ini selaras dengan ungkapan dalam salah satu bait al-Hikam Ibnu Athaillah as-Sakandary bahwa;

“Cahaya bisa menyingkap, mata hati dapat mengetahui,

sedangkan hati bisa menerima dan menolak.”

Dalam arti, cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati bisa menyibak berbagai makna dan hal gaib. Mata hati membutuhkan cahaya, dan yang disaksikan mata hati itu akan diterima atau ditolak oleh hati. Jika mata hati melihat baiknya ketaatan, hati akan menerima dan mencintainya, lalu diikuti oleh seluruh anggota tubuh. Bila mata hati melihat buruknya maksiat, hati akan menolak dan menjauhinya, kemudian diikuti oleh anggota tubuh yang lain.[6]

Begitu juga diungkapkan gambaran penyatuan Tuhan (Nur Muhammad dan ruh idhafi) dengan manusia yang sangat halus, seperti putihnya kertas dengan kertas, layaknya air dengan leri; menyatu tapi tidak menyatu (tunggal tan tunggal). Dalam pupuh 16, 17, 18, 19, diumpamakan sebagaimana ombak dengan air laut; matahari dengan sinarnya. Sekalipun demikian Tuhan tidak menjadi hamba, dan hamba tidak menjelma Tuhan. Kemudian dalam pupuh selanjutnya dijelaskan mengenai hati sang manusia paripurna (Insan Kamil) sebagai rumah tuhan, tempat bertemunya hamba dengan Tuhan. Hati dalam konteks ini adalah hati sirri, yang menjadi cermin Tuhan. Hal ini diibaratkan bulan purnama yang menyinari air maka bayangan bulan akan ditemukan dalam air. Bulan di air adalah wujud majazi, bukan wujud hakiki (pupuh 21, 22, 23).[7]

Bersambung…

Nuansa Sufistik dalam Susastra Jawa-Islam Awal (2)

Catatan kaki:

[1] P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hartoko (Jakarta: Gramedia, 2000)., hlm. 97

[2] G.W.J. Drewes, The Admonitions of She Bari (The Hague: Martinus Nyhoff, 1967), hlm. 58

[3] Ibid., hlm. 60

[4] P.J. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti:., hlm. 102

[5] Wasim Bilal, Mistik dalam Suluk Pesisiran., hlm. 22

[6] Abdullah asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam Ibnu Athaillah al-Sakandari, terj. Iman Firdaus (Jakarta: Turots Pustaka, 2013)., hlm. 84-85

[7] Wasim Bilal, Mistik dalam Suluk Pesisiran.,hlm. 23

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*