Nuansa Sufistik dalam Susastra Jawa-Islam Awal (2)

in Islam Nusantara

 

Oleh: Khairul Imam

Para ulama ini membabarkan berbagai hal mulai dari yang mudah dan ringan seperti etika hidup sehari-hari, hubungan suami istri, sampai persoalan yang rumit dan pelik dalam tingkatan martabat tujuh, yang di dalamnya menjelaskan proses-proses penciptaan manusia, konsep Nur Muhammad, alam misl, dan alam insan. Kedalaman makna dan penggalian filosofis-teologisnya menyadarkan kita akan keluasan pengetahuan dan jangkauan pengembaraan spritualitas mereka.

 —Ο—

 

Dalam Suluk Seh Madekur pada pupuh 21, 22, 23 tampak selaras dengan ide al-Ghazali, terutama dalam Misykat al-Anwar (Relung-relung Cahaya). Bahwa Allah adalah Cahaya Sejati, dan selain nama cahaya-Nya adalah majazi, tanpa hakikat. Dia adalah cahaya tertinggi dan terjauh. Ketika hakikat cahaya-cahaya itu tersingkap maka Dia-lah satu-satunya cahaya Yang Benar dan Hakiki. Tiada sekutu bagi-Nya.[1] Ghazali menjelaskan, pada dasarnya, pelita-pelita bumi ini tiada lain bersumber dari cahaya tinggi dan ruh kenabian yang suci, yang minyaknya hampir menerangi, meski tak tersentuh api. Ia hanya menjadi cahaya di atas cahaya manakala tersentuh api. Maka lebih tepat bila ruh-ruh bumi ini bersumber dari ruh-ruh Ilahiah nan tinggi, sebagaimana digambarkan oleh ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas ketika mengatakan, “Sesungguhnya Allah itu memiliki malaikat yang memiliki tujuh puluh ribu wajah. Pada setiap wajah terdapat tujuh puluh ribu mulut. Pada setiap mulut terdapat tujuh puluh ribu lidah yang semuanya digunakan untuk bertasbih kepada Allah. Dialah yang dihadapkan kepada seluruh malaikat, lalu difirmankan, Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf. (QS. an-Naba` [78]: 38).”[2]

Tahapan-tahapan tasawuf juga tampak dalam Suluk Sujinah. Sebuah tema nasihat seorang suami, yaitu Syekh Purwaduksina dengan istrinya, Dyah Ayu Sujinah. Dalam suluk tersebut disebutkan beberapa tema berkenaan dengan tirakat dan hakikat. Dalam laku ahli tarekat, penulis menyatakan bahwa ia haruslah bertapa di puncak gunung. Lebih jauh, sekiranya Tuhan meridhai ia pun harus bisa mati dalam hidup (amati sajroning urip), tapa ngeli (berserah diri kepada Tuhan), tapa geniara (tidak mudah emosi dengan ucapan orang lain), tapa banyuara (mampu menyaring kata-kata saudara, sekaligus tidak mudah mengikuti orang lain dan mengikuti anjuran suami), dan tapa ngluwat (menyembunyikan kebaikan diri sendiri). Laku spiritual ini terutama ditujukan untuk para istri yang cenderung mengumbar dan memperbincangkan ruang privat di luar keluarga.

Selain itu, sang suami, Purwaduksina, juga memberikan wejangan tentang laku ahli hakikat, di antaranya: sabar dan ikhlas di dunia, tidak menyekutukan Tuhan, memegang betul pembicaraan hingga menjadi pedoman hidup. Hakikat kehidupan yang sejati telah sirna dan lebur menjadi sikap sehingga manusia memeroleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Selebihnya, dibabarkan tentang tingkatan-tingkatan hati (kalbu) dan ruh, yang dipermisalkan dengan lapisan langit yang tujuh. Selain itu, aroma mistik dalam Suluk Sujinah juga tampak ketika menjelaskan tentang martabat tujuh yang bersumber dari pembabaran ajaran Ibn ‘Arabi. Ajaran ini kemudian dipopulerkan kembali oleh Muhammad Ibn Fadhlillah.

Pada dasarnya, jika merujuk pada ajaran martabat tujuh yang bersumber dari kitab at-Tuhfah al-Mursalah ila an-Nabiy karya Muhammad Ibn Fadhlillah, Nur Muhammad menjadi inti dari awal mula penciptaan makhluk. Konsep ini merupakan perwujudan dari martabat Wahdat, dan menjadi sifat atma. Wahdat dalam ajaran martabat tujuh merupakan kesatuan yang mengandung kejamakan secara global. Dalam hal ini belum tampak batas-batas pemisah antara satu dengan yang lainnya, tetapi telah menjelma ta’yun awal, yakni awal dari kenyataan yang dapat dikenal.[3]

Nur Muhammad merupakan hakikat cahaya yang dianggap sebagai penampakan Ilahi (Tajalli Dzat),[4] yang darinya tercipta seluruh manusia dan alam semesta. Dialah cahaya mahacahaya. Cahaya yang mampu menerangi seluruh alam, sebagaimana diungkap oleh al-Ghazali, bahkan ia lebih tepat dikatakan sebagai pelita yang menerangi karena cahayanya memancar pada selain dirinya. Keistimewaan ini hanya terdapat pada ruh Nabi yang suci, sebab melalui Sang Nabi-lah berbagai cahaya pengetahuan memancar kepada makhluk. Dengan demikian dapat dipahami mengapa Allah Swt. menyebut Muhammad dengan “Pelita yang Menerangi” (sirajan munira). Semua nabi adalah pelita, demikian pula para ulama, meski ada perbedaan yang tak terkira di antara mereka.[5]

Konsep ini kemungkinan lahir dari pemaknaan terhadap hadis Nabi yang terekam dalam kitab Daqa’iq al-Akhbar karya Syekh Abdurrahman bin Ahmad al-Qadhi. Dalam kitab tersebut disebutkan hadis Nabi saw. tentang penciptaan Nur Muhammad saw., di mana runtutannya hampir senada dengan ajaran dalam martabat tujuh seperti di atas; Syajaratul Yaqin, tumbuh pada alam Adam Maqdum Azali Abadi; Cahaya bernama Nur Muhammad; Kaca bernama Mir`atul Haya`; Nyawa bernama Ruh Idhafi; Damar bernama Kandhil; Sesotya bernama Darah; Dinding Agung bernama Hijab yang merupakan Selubung Hadharat Ingsun.

Nur Muhammad juga disebutkan kembali dalam Serat Wirid Hidayat Jati karya R.Ng. Ronggowarsito, yang kemungkinan merupakan penjabaran dari Suluk Linglung dan Serat Dewa Ruci ajaran Sunan Kalijaga.

Di sana sudah nyata pertanda dari Af’al Ingsun sebagai pembuka Iradah Ingsun. Pada mula pertama Ingsun menitahkan Hayyu bernama Syajaratul Yaqin, tumbuh pada alam Adam Maqdum Azali Abadi; kemudian Cahaya bernama Nur Muhammad; Kemudian Kaca bernama Mir`atul Haya`; Kemudian Nyawa bernama Ruh Idhafi; kemudian Damar bernama Kandhil; kemudian Sesotya bernama Darah; kemudian Dinding Agung bernama Hijab yang merupakan Selubung Hadharat Ingsun.[6]

Demikianlah beberapa suluk tampil dengan nuansa mistik yang kental. Masing-masing menggambarkan corak penulisan susastra Jawa-Islam awal, terutama setelah berakhirnya kekuasaan Majapahit dan berdirinya Kerajaan Islam Demak. Pada perkembangannya, sastra Pesisir mampu mempengaruhi corak sastra di Banten, Palembang, Banjarmasin, Pasundan, dan Lombok. Dari sinilah, susastra Jawa-Islam semakin berkembang sekaligus menjadi magnet kuat dalam persebaran Islam ke seantero Nusantara.

Selesai

Sebelumnya:

Nuansa Sufistik dalam Susastra Jawa-Islam (1)

Catatan:

[1] Abu Hamid al-Ghazali, “Misykat al-Anwar” dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali, tahqiq: Ibrahim Amin Muhammad (Kairo: al-Maktabah at-Tauqifiyyah, tt.)., hlm. 287

[2] Ibid., hlm. 292

[3] Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsitas: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati (Jakarta: UI Pres, 1988).,   hlm. 310

[4] al-Ghazali menjelaskan bahwa tajalli keagungan itu meniscayakan lahirnya khauf  (takut) dan haibah (kewibawaan); tajalli kebaikan dan keindahan meniscayakan lahirnya cinta; tajalli sifat-sifat menghendaki lahirnya cinta; tajalli Dzat menciptakan lahirnya tauhid. Lihat, Abu Hamid al-Ghazali “Raudhat ath-Thalibin wa ‘Umdat as-Salikin” dalam Majmu’ah Rasail., hlm. 121

[5] Abu Hamid al-Ghazali, “Misykat al-Anwar”., hlm. 292

[6] Damar Shashangka, Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati (Jakarta: Dolphin, 2014).,hlm. 92

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*