Orientalisme; Sebuah Pengantar (1)

in Orientalis

Last updated on October 20th, 2017 04:04 pm

Orientalisme merupakan salah satu diskursus dalam kajian post-kolonialisme. Adalah Edward W. Said, seorang pemikir paling kondang dalam kajian diskursif tentang post-kolonialisme yang menawarkan tentang studi kritis terhadap ideologi kolonial dalam bukunya yang berjudul “Orientalisme”.  Terlahir sebagai Kristiani Anglikan di Yerusalem pada 1 November 1935, Said harus mengungsi ke Mesir pasca kekalahan Palestina pada 1947, dan kemudian menjadi imigran di Amerika Serikat pada 1951. Dengan latar belakang yang kompleks, dan paradox identitas yang dimilikinya, ia menawarkan sudut pandang yang lain terhadap dunia tentang relasi kekuasaan antara “Timur” dan “Barat”.

Said membagi empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme; kekuasaan politis (pembentukan kolonialisme dan imperialisme); kekuasaan intelektual (mendidik Timur melalui sains, linguistik dan pengetahuan lain); kekuasaan kultural (kanonisasi selera, teks dan nilai-nilai, misalnya Timur memiliki estetika kolonial, yang secara mudah bisa ditemukan di India, Mesir dan Negara-negara bekas koloni lain); dan kekuasaan moral (apa yang baik dan tidak baik dilakukan oleh Timur). Relasi ini menurut Said, beroperasi berdasarkan model ideologi yang disebut Antonio Gramsci sebagai “hegemoni” – suatu pandangan bahwa gagasan tertentu lebih berpengaruh dari gagasan lain, sehingga kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan-kebudayaan lain.

Untuk sedikit membayangkan alam pikir orientalisme, berikut cuplikan pidato Arthur James Balfour pada tahun 1910 di depan Majelis Rendah Inggris:

Pertama-tama, mari kita lihat fakta-fakta yang ada. Bangsa-bangsa Barat – sesaat setelah mereka muncul di panggung sejarah – telah memperlihatkan tanda-tanda kemampuannya untuk memerintah diri sendiri… karena mereka memiliki nilai positif… (tetapi) coba anda telusuri sejarah bangsa-bangsa Timur, anda tidak akan menemukan jejak-jejak pemerintahan diri sendiri (self government). Abad-abad kebesaran Timur selalu muncul di bawah pemerintahan tiranisme, pemerintahan absolut. Begitu pula, semua kontribusi mereka yang luar biasa pada peradaban juga diciptakan di bawah sistem pemerintahan semacam itu. Penaklukan-penaklukan-pun datang silih berganti, dominasi tegak dan runtuh susul menyusul. Akan tetapi, dalam pasang surutnya nasib peruntungan mereka, anda tidak akan melihat satupun dari bangsa-bangsa tersebut, dengan inisiatif sendiri, menegakkan apa yang kita sebut – dalam pandangan Barat – pemerintahan oleh diri sendiri. Ini adalah fakta. Ini bukan masalah superioritas dan inferioritas. Saya yakin, seorang bijak yang sejati dari Timur akan mengatakan bahwa pemerintahan semacam yang kita praktikkan di Mesir dan di tempat-tempat lain bukanlah pekerjaan yang layak bagi seorang filsuf – itu adalah pekerjaan yang kotor, rendah dan kasar”.

Karena ini adalah fakta, maka Balfour kemudian merasa perlu untuk menyampaikan argumentasi penegas bahwa :

Apakah bangsa-bangsa (Timur) yang besar ini akan menerima jika kita yang menyelenggarakan pemerintahan yang absolut itu ? saya pikir, mereka akan menerimanya. Saya juga berpikir – sebagaimana pengalaman juga menunjukkan – bahwa bagi mereka pemerintahan kita jauh lebih baik dibanding dengan pemerintahan yang pernah ada dalam sepanjang sejarah mereka sebelumnya, dan pemerintahan ini tidak hanya bermanfaat bagi mereka sendiri, melainkan bagi seluruh dunia Barat yang beradab… kehadiran kita di Mesir tidaklah hanya dengan orang-orang Mesir saja – meskipun kita hadir di sana demi kepentingan mereka; kita hadir di sana juga demi Eropa pada umumnya.”

Cuplikan pidato Arthur James Balfour pada tahun 1910 di depan Majelis Rendah Inggris tersebut, mengawali argumentasi kritis Edward W. Said tentang apa itu orientalisme? Menurut Said, orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur yang didasarkan pada keeksotikannya di mata orang Eropa. Bagi orang-orang Eropa – lanjutnya – Timur tidak hanya bersebelahan dengan kawasan mereka. Lebih dari itu, orang Eropa selalu menganggap Timur sebagai daerah jajahan mereka yang terbesar, terkaya, dan tertua selama ini. Timur juga dianggap sebagai sumber dari peradaban dan Bahasa Eropa, saingan atas budaya Eropa, dan sebagian dari imajinasi Eropa yang terdalam. Timur adalah “yang lain” (the Other) bagi Eropa.

Timur – yang menurut Said bahkan istilahnya-pun sangat imajinatif, tidak mengandung kejelasan makna – didefinisikan secara sepihak oleh Eropa, dengan cara pandang mereka sendiri, seraya meninggalkan kaidah-kaidah objektifitas ilmu pengetahuan yang mereka rumuskan sendiri. Mereka mengungkap dan merepresentasikan Timur secara kultural dan ideologis dalam bentuk wacana (discourse), beserta dengan institusi, kosa kata, kesarjanaan, pencitraan, dan doktrin pendukungnya, bahkan dengan birokrasi dan gaya-gaya kolonialnya. Lebih lanjut Said mengatakan, bahwa “orientalisme dapat kita lihat dalam kapasitasnya sebagai institusi resmi yang mengurusi dunia Timur, dengan cara mengajar, mencarikan solusinya dan menguasainya”. Pidato Balfour di atas, hanya salah satu contoh yang paling telanjang bagaimana orientalisme menjadi cara pandang bangsa Eropa dalam mendefinisikan Timur.

Persoalannya, apakah bangsa Mesir dan bangsa-bangsa lain yang disebut sebagai “Timur” pada saat itu menyepakati definisi yang diberikan oleh Inggris dan bangsa Eropa? Dalam kerangka ini, orientalisme tidak memberikan celah sedikitpun bagi kebudayaan Timur untuk tampil dan mendefinisikan dirinya sendiri secara otentik di tengah masyarakat dunia. Karena menurut Said, gagasan orientalisme tentang dikotomi antara “Timur” dan “Barat” sudah menjadi semacam common sense, mempengaruhi juga kesadaran “orang-orang Timur”, “orang-orang Barat”, ataupun “orang-orang Eropa”.

Masalahnya kemudian tidaklah sederhana, menurut Said, bila orang menggunakan kategori-kategor seperti “Timur” dan “Barat”, baik sebagai titik tolak maupun titik tujuan analisis, riset, kebijakan masyarakat, maka hasilnya adalah terpolarisasinya perbedaan – Timur menjadi semakin Timur, dan Barat menjadi semakin Barat – dan terbatasnya persentuhan insani antara beragam budaya, tradisi, dan masyarakat. Dikotomi ini menggiring kedua konsep “Timur” dan “Barat” ke dalam apa yang di sebut Metode Kissinger sebagai “oposisi biner”. Sehingga menurut Said, hakikat orientalisme adalah pembedaan yang tidak dapat dihapuskan antara superioritas Barat dan inferioritas Timur. Dan karena kecenderungan ini berada pada poros teori, praktik, dan nilai-nilai orientalis, maka perasaan kekuatan Barat atas Timur dianggap taken for granted memiliki status kebenaran ilmiah. (AL)

Bersambung ke:

Orientalisme; Sebuah Pengantar (2)

Sumber : Edward W. Said, “Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek”, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*