Orientalisme; Sebuah Pengantar (2)

in Orientalis

Last updated on March 28th, 2019 01:33 pm

Menurut Edward W. Said, relasi antara Timur dengan Barat adalah relasi kekuasaan, dominasi, dan hegemoni yang kompleks… Timur mengalami “orientalisasi” atau Timur yang ditimurkan. Timur adalah ciptaan, hasil imajinasi yang muncul dari ketidakjujuran. Struktur orientalisme merupakan struktur kebohongan atau mitos belaka. Said sendiri berkeyakinan bahwa orientalisme secara khusus lebih bermakna sebagai tanda kekuasaan Atlantik-Eropa terhadap dunia Timur daripada sebagai wacana yang murni yang jujur mengenai Timur seperti yang sering di dakwakan, baik dalam bentuk akademis maupun kesarjanaan.[1]

Meski begitu, orientalisme memiliki kekuatan wacana yang sistematis, dengan ketahanan yang luar biasa dalam kaitannya dengan institusi-institusi sosial, ekonomi dan politik, seakan-akan gagasan-gagasan tersebut mampu bertahan sebagai sebuah “kearifan”, sehingga ia dapat diajarkan di berbagai perguruan tinggi, buku, dan lembaga-lembaga kedutaan luar negeri. Setahap demi setahap, orientalisme tidak lagi menjadi omong kosong politik, melainkan sudah berkembang menjadi sebuah diskursus yang memiliki landasan teoritis dan dapat dilaksanakan dalam praktek, bahkan mampu memberi investasi material yang luar biasa besar bagi dunia Barat. Investasi berkesinambungan inilah yang menjadikan orientalisme, sebagai sebuah sistem pengetahuan tentang dunia Timur, yang berfungsi sebagai kerangka konseptual yang diakui sebagai alat untuk menyaring dunia Timur ke dalam kesadaran Barat.[2]

Dalam perspektif yang lebih netral, P. W. Perston, dalam studi tentang developmentalisme, menjelaskan tentang sejarah, struktur, serta perdebatan yang dilatari oleh struktur relasi antara koloni (Timur) dan penjajah (Barat). Bila pada masa lalu, model hegemoni Barat terhadap Timur di wadahi oleh praktek kolonialisme, maka pada era post-kolonialisme hal tersebut diwadahi oleh jargon-jargon developmentalisme (pembangunan). Apa yang ditinggalkan oleh kolonialisme kemudian di “install ulang” dengan mode kolonialisme baru yang bernama developmentalisme. Berbeda dengan orientalisme, dimana diskursus dibangun dari imajinasi yang tidak jujur para intelektual Eropa, developmentalisme dibangun di atas landasan teoritis yang lebih ajeg, namun tetap dengan semangat yang sama, yaitu melestarikan dominasi Barat atas Timur.

Menurut Preston, ekspansi kapitalisme eropa terdiri dari beberapa elemen diantaranya : pertama, membangun dasar material bagi tegaknya sistem industri, perdagangan dan finansial modern; kedua, membangun mesin administrasi negara kolonial, dimana ini merupakan basis dari terbentuknya Negara kolonial, kota kolonial dan masyarakat kolonial; elemen ketiga, pada fase ini terjadi proses elaborasi pemikiran dan ideologi-ideologi pembangunan yang menjadi landasan bagi terbangunnya konstruksi pemikiran developmentalisme kontemporer.[3]

Menurut Preston, sebelum masa kebangkitan bangsa Eropa, perdagangan global dan interaksi yang berlangsung diantara mereka bersifat wajar dan sejajar (equal). Adalah abad pencerahan (enlightenment), dimana bangsa Eropa menemukan makna ke-diri-an mereka dalam berbagai bidang keilmuan yang memukau sejarah. Dari sini muncullah perasaan suprioritas bangsa Eropa atas bangsa-bangsa lain di dunia.[4] Capaian-capaian mereka – dikonfirmasi oleh para penemu dan penjelajah (agent) – sebagai yang tertinggi di dunia pada masa itu. Dan hal ini memunculkan hasrat bangsa-bangsa Eropa untuk membangun instalasi ekonomi, politik dan hukum secara global, sebagai prasyarat melanggengkan kekuasaan kolonialnya.

Lebih lanjut PE. Preston menyampaikan bahwa telah terjadi interaksi yang panjang antara negara-negara Eropa dengan masyarakat di seluruh penjuru dunia sejak abad 15 hingga meletusnya perang dunia II. Pada awalnya interaksi ini terjadi diantara negara-negara Eropa dengan sesamanya, kemudian pada abad ke 16 meluas secara global ke Amerika, Asia, dan Afrika. Adapun yang menjadi faktor penggerak utama globalisasi tersebut adalah sistem kapitalisme Eropa.

Pada awalnya agen-agen penghubung interaksi tersebut merupakan agen-agen yang bergerak secara terpisah dengan sudut pandang pemikiran yang berbeda-beda terkait bagaimana sebaiknya interaksi antara mereka dan wilayah-wilayah kolonial tersebut dilakukan. Agen-agen tersebut bisa penjelajah, tentara, pedagang, pengembara dan lain-lain, dimana setiap mereka memiliki sudut padangan dan ide-ide tersendiri terkait dengan problem dan strategi untuk mencapai tujuannya. Namun menurut PW Preston secara umum setidaknya terdapat dua ide yang menjadi pusat gravitasi semua ide developmentalisme yaitu power relationship of dominance dan dependence.

Sumber: P. W. Preston, Development Theory; An Introduction, USA, Black Publisher, 1996. Hal. 140

Bersambung ke:

Orientalisme; Sebuah Pengantar (3)

Sebelumnya:

Orientalisme; Sebuah Pengantar (1)

Catatan kaki:

[1] Edward W. Said, “Orientalisme; Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek”, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2010, Hal. 7

[2] Ibid, Hal. 8-9

[3] Lihat, P. W. Preston, Development Theory; An Introduction, USA, Black Publisher, 1996. Hal. 139

[4] Ibid, Hal. 138

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*