Mozaik Peradaban Islam

Pakistan (4): Peradaban Weda

in Negara Islam

Last updated on November 22nd, 2018 04:14 am

“Peradaban Weda – kitab suci agama Hindu – berpusat di wilayah barat laut anak benua India. Disebut Peradaban Weda, karena penduduk di Asia Selatan waktu itu dipengaruhi kitab Weda yang mula-mula disebarkan secara lisan, kemudian dalam bentuk tulisan. Fase awal peradaban ini bersamaan dengan masa akhir Peradaban Harappa, sedangkan fase akhirnya bersamaan dengan masa kebangkitan Mahajanapadas, Kerajaan Indo-Arya awal di India.”

–O–

Sebelum mayoritas penduduknya menganut Islam, agama dan corak kebudayaan Pakistan relatif sama dengan India. Oleh karena itu, mudah dimengerti apabila Pakistan pernah mengalami masa Peradaban Weda (kitab suci Hindu). Bedanya, kelak, pengaruh Weda di Pakistan mengecil karena penduduknya banyak yang menganut Islam, sedangkan di India tetap besar. Lantaran banyak yang menganut Hindu, maka India pun dinamakan Hindustan alias tanah atau bangsa penganut Hindu.

Periode itu disebut Peradaban Weda karena pada masa itu kitab Weda sedang dikumpulkan dan mulai disebarkan melalui lisan lalu tulisan, sehingga memengaruhi penduduk. Masa pengumpulan kitab ini berlangsung sekitar pertengahan milenium kedua sampai pertengahan milenium pertama Sebelum Masehi (SM). Dengan kata lain, fase awal Peradaban Weda bersamaan dengan masa akhir Peradaban Harappa, sedangkan fase akhirnya bersamaan dengan kebangkitan Mahajanapadas, Kerajaan Indo-Arya awal di India.[1] Keterangan lainnya menyebutkan, Peradaban Weda berlangsung sejak masuknya bangsa Arya ke Punjab hingga munculnya agama Budha kira-kira tahun 500 SM.[2]

Secara etimologi, istilah Weda berasal dari akar kata Vid. Dalam bahasa Sansekerta, Vid bermakna “mengetahui”. Dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, Weda berasal dari akar kata Weid yang berarti “melihat” atau “mengetahui”.[3] Selain itu, Weid juga merupakan akar kata dari wit dalam bahasa Inggris, sebagaimana istilah vision dalam bahasa Latin.

Secara terminologi, Weda adalah kumpulan sastra-sastra kuno dari zaman India kuno yang jumlahnya sangat banyak dan luas. Dalam ajaran agama Hindu, Weda termasuk ke dalam golongan Sruti yang secara harfiah berarti “yang didengar”, karena umat Hindu percaya bahwa isi Weda adalah kumpulan wahyu dari Brahman (Tuhan). Weda diyakini sebagai karya sastra tertua dalam peradaban manusia yang masih ada hingga saat ini.

Manuskrip Weda dalam bahasa Sansekerta yang ditemukan di India pada awal abad ke-19. Photo: Public Domain

Pada masa awal turunnya wahyu, Weda diturunkan atau diajarkan dengan sistem lisan – pengajaran dari mulut ke mulut sebab waktu itu belum ditemukan tulisan – dari guru kepada murid. Pasca tulisan ditemukan, para resi menuangkan ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan.[4] Weda bersifat apaurusheya, karena bersifat abadi dan berasal dari wahyu alias tidak dikarang manusia.[5] Selanjutnya, pada masa awal Kaliyuga, Maharesi Byasa menyusun lagi Weda sebelumnya dan membaginya menjadi empat bagian utama: Regweda, Yajurweda, Samaweda, dan Atharwaweda.

Selain itu, Weda juga memiliki kitab yang diturunkan darinya, yaitu Upaweda berupa kitab yang berisi jurusan ilmu yang lebih spesifik dan aplikatif dalam kehidupan. Upaweda dapat digolongkan ke dalam beberapa jurusan. Antara lain, Ayurweda yang berisi ilmu pengobatan, Dhanurweda yang berisi seni bela diri dan persenjataan, Stahapatya Weda yang berisi ilmu arsitektur dan seni pahat serta ilmu geomansi, dan Gandharv Weda yang berisi seni musik dan sajak serta tari.

Peradaban Weda terbentuk akibat terjadinya asimilasi bangsa Dravida yang telah tinggal lebih dahulu di Asia Selatan dan pernah membangun Peradaban Mohenjo Daro dan Harappa, dengan bangsa Arya dari Persia yang datang ke Punjab sesudah itu. Sebelum bertemu dan membangun Peradaban Weda, bangsa Dravida dan bangsa Arya sama-sama pernah membangun peradaban. Berkat pertemuan itu, Peradaban Weda yang dibangun oleh dua bangsa ini tampak lebih canggih.

 

Peradaban

Bukan hanya semakin gencar menggunakan tulisan, melainkan juga ilmu pengetahuan pada zaman Peradaban Weda mulai berkembang pesat. Dalam periode peradaban ini, berbagai kitab yang ditulis bukan hanya diposisikan sebagai teks, melainkan juga sebagai panduan hidup. Di zaman ini berbagai kitab suci seperti Weda Samhita dan Brahmana serta Upanisha, disusun. Oleh sebab itu pada akhirnya zaman Peradaban Weda dibagi tiga: zaman Weda, zaman Brahmana, dan zaman Upanishad.[6]

Dalam periode Peradaban Weda, penduduk setempat mengenal nama para dewa. Nama-nama dan identitas setiap dewa dihubungkan dengan setiap tenaga alam yang menguasai dan memengaruhi kehidupan manusia saat itu. Dengan kata lain, tenaga alam dianggap manifestasi para dewa. Misalnya, Agni sebagai dewa api, Surya sebagai dewa matahari, Chandra sebagai dewa bulan, Maruta sebagai dewa badai, Indra sebagai dewa perang, dan seterusnya.

Kendati mengenal banyak dewa, namun mereka pun mempercayai Tuhan Yang Maha Esa yakni Hyang Widhi atau dengan nama yang berbeda-beda. Hubungan setiap orang dalam peradaban ini dengan dewa sangat dekat. Aspek kekuatan alam sebagai manifestasi dewa dipuja melalui dewa tertentu dan dengan menjalankan upacara tertentu. Upacara ini dipimpin oleh kelompok Brahmana alias pemuka agama Hindu.

Ketika peranan kelompok Brahmana mulai dominan, maka peradaban di Asia Selatan mulai memasuki zaman Brahmana sebagai bagian dari Peradaban Weda. Pada zaman ini, lahir sistem kasta (pembagian kelompok masyarakat) dengan kasta tertinggi ditempati oleh kalangan Brahmana. Kemudian secara berturut-turut, di bawah kasta Brahmana terdapat kasta Ksatria (para kepala dan anggota lembaga pemerintahan), kasta Waisya (para tenaga kerja), dan kasta Sudra (para pelayan).

Pada zaman Brahmana, muncul kitab-kitab lainnya sebagai bagian dari Weda dan berisi peraturan dan kewajiban keagamaan. Dilihat dari segi filsafat, isi kitab-kitab tersebut tampak memiliki dasar-dasar pemikiran yang sistematis. Kendati pada masa Peradaban Weda sebelum dominannya kelompok Brahmana sudah ada, namun pada zaman Brahmana, sistem filsafat tersebut diperluas dalam bentuk sintesa dan lebih abstrak.

Pada zaman Brahmana, kehidupan didominasi masalah yajna (kurban suci yang ditunaikan secara tulus), sehingga muncul banyak pemikiran keagamaan yang spekulatif dan anggapan bahwa yajna memiliki daya sakti dan mistik serta rahasia. Pada zaman Brahmana, berkembang kepercayaan kepada kehidupan sesudah mati dan kepercayaan adanya pitara dan dunia dewa atau surga. Dengan kata lain pada zaman ini, kepercayaan tampak lebih logis atau rasional.

Selanjutnya, uraian filsafat yang lebih sistematis berlangsung pada zaman berikutnya yakni di zaman Upanishad yang ditandai dengan munculnya kitab-kitab Upanishad. Pada zaman ini, Hyang Widhi telah dipercayai sebagai sesuatu yang bersifat monistis dan absolutis. Artinya mereka percaya bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam di dunia ini berasal dari satu realitas tertinggi (Brahman atau Hyang Widhi) yang tak terlihat, bebas dari awidya, dan tak tembus akal namun menyelami segala sesuatu.

Akhirnya, kepercayaan dalam Peradaban Weda bukan hanya mengisi alam pemikiran penduduk Asia Selatan waktu itu – di dalamnya termasuk Pakistan klasik, melainkan juga menjadi basis kepercayaan bagi terbentuknya nilai-nilai, sikap, perilaku, dan wujud-wujud kebudayaan yang bersifat konkret. Dengan kata lain, Peradaban Weda bukan hanya berupa sistem kepercayaan, melainkan juga berupa cara hidup dan tata kemasyarakatan. (MDK)

Bersambung ke:

Pakistan (5): Dikuasai Persia

Sebelumnya:

Pakistan (3): Peradaban Harappa

Catatan Kaki:

[1]     Lihat S. Bukonyi. 1997b. “Horse Remains from the Prehistoric Site of Surkotada, Kutch, Late 3rd Millennium BC”, South Asian Studies 13: 297-307; B.B. Lal. 2005. The Homeland of the Aryans: Evidence of Rigvedic Flora and Fauna & Archaeology. New Delhi: Aryan Books International.

[2]     Harun Hadiwijono. 2010. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm 13.

[3]     Lihat http://www.sacred-texts.com/hin/index.htm. Diakses di Cianjur, 18 November 2018.

[4]     Ibid.

[5]     D. Prahladachar. 2006. Vedapauruseyatva (PDF). D.K. Printworld (P) Ltd. Diakses di Cianjur, 18 November 2018.

[6]     Loc. Cit., Harun Hadiwijono…, hlm 17-28.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*