Pasukan Salib Merebut Yerusalem (12)

in Sejarah

Last updated on February 12th, 2019 01:39 pm

Setelah berhasil menaklukan Asia Kecil, sebenarnya Pasukan Salib bisa langsung dengan aman menuju Yerusalem. Tapi karena didorong oleh kebutuhan logistik yang mendesak, mereka pun akhirnya memutuskan untuk menaklukkan Kota Antiokhia. Disamping itu, Kota Antoikhia juga merupakan tempat suci bagi agama mereka. Dalam perspektif ini, penaklukkan Antiokhia sebenarnya tak beda jauh urgensinya dengan menaklukkan Yerusalem itu sendiri.

 

Pada oktober 1097, Pasukan Salib sudah terbilang berhasil mengambil alih seluruh kawasan Asia Kecil dan mengusir Saljuk keluar dari wilayah kekuasaan Bizantium. Sisa tentara Saljuk tidak lagi berpikir untuk melancarkan serangan balasan pada pasukan raksasa ini. Mereka lebih memilih bertahan di benteng masing-masing. Dengan demikian, sebenarnya Pasukan Salib sudah tinggal melaju nyaris tanpa hambatan ke Yerusalem.

Tapi setelah bertempur selama empat bulan sambil melintasi kawasan Asia Kecil, pasukan raksasa ini tinggal menyisakan setengah dari jumlah total personil mereka. Logistik mereka kian menipis, dan kelaparan pun mulai mengganggu perjalanan. Ketika melintasi wilayah Antiokhia (sekarang Provinsi Antakya, Turki), rencana mereka pun bertambah.[1]

 

Ilustrasi rute perjalanan Pasukan Salib I menuju Yerusalem. Sumber gambar: historyofenglishpodcast.com

 

Antiokhia merupakan sebuah wilayah dataran yang luas. Kota ini memiliki tanah yang subur, sehingga baik digunakan untuk bercocok tanam dan beternak. Masyarakatnya terhitung sejahtera, karena bahan makanan yang melimpah. Di samping itu, kota ini memiliki arti penting dalam tradisi Kristen. Bahkan nama kota ini – Antioch – tersurat di dalam kitab perjanjian baru umat Kristen. Di tempat inilah, Petrus setuju dengan Paulus menerima orang Yahudi memeluk Kristen. Maka tidak mengherankan tradisi Kristen masih tetap terjaga di kota ini, dan penduduknya pun mayoritas masih beragama Kristen.[2]

Pada tahun 637 M, kota ini sempat diambil alih oleh kaum Muslimin. Di bawah imperium Islam, kota ini mengecil menjadi hanya sekelas kabupaten. Dan pada tahun 969, kota ini berhasil direbut oleh Bizantium dan dijadikan sebagai wilayah penyangga terluar kekuasaannya. Bizantium membangun benteng-benteng yang kokoh untuk melindungi kota ini. Kemudian tahun 1084, kota ini kembali direbut oleh Saljuk. [3]

Adalah Raymond of Saint-Gilles, sosok yang pertama mengusulkan untuk mengambil kota Antiokhia dari kekuasaan Saljuk. Di samping karena didorong oleh kebutuhan logistik yang mendesak, kota ini memiliki ikatan emosial dengan mereka. Dilihat dari perspektif ini, penaklukkan Antiokhia tak beda jauh urgensinya dengan menaklukkan Yerusalem itu sendiri.

Maka demikianlah, pada 21 Oktober 1097, Pasukan Salib sudah mengepung kota Antiokhia. Melihat ancaman besar mendekat, gubernur kota itu bernama Yaghi-Siyan, langsung memerintahkan agar menimbun semua makanan di dalam benteng. Rencananya dia akan bertahan di benteng tersebut selama mungkin. Tapi melihat tidak mungkin menghadapi pasukan Eropa itu sendirian – ditambah lagi umumnya penduduk Antiokhia beragama Kristen, sehingga diragukan kesetiaannya – Yaghi Siyan pun akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan kepada koleganya sesama Saljuk di Damaskus, Aleppo dan Mosul.[4]

 

Lukisan yang mengilustrasikan pengepungan kota Antiokhia oleh Pasukan Salib (21 Oktober 1097-3 Juni 1098). Sumber gambar: thegreatcoursesdaily.com

 

Setelah mendapat kabar terjadinya pengepungan kota Antiokhia, pasukan Saljuk yang tadinya memilih bertahan di dalam benteng, terpanggil untuk keluar membantu koleganya. Seruan Yaghi Siyan pun langsung direspon. Tapi disebabkan jarak antara kota-kota tersebut berbeda jauh satu dengan yang lain, sehingga bantuan pasukan Saljuk ini tiba secara bergelombang dan tidak terkoordinasi.

Yang pertama-tama tiba adalah pasukan dari Damaskus yang dipimpin sosok bernama Duqaq. Pasukan ini datang pada bulan Desember 1097. Pasukan Salib mengerahkan sekitar 20.000 personel untuk menghadapinya. Akhirnya Duqaq pun berhasil dikalahkan. Kemudian pada awal bulan Februari 1098, bantuan kedua datang dari Aleppo yang dipimpin oleh sosok bernama Ridwan. Sebagaimana pasukan pertama, pasukan kedua inipun berhasil dikalahkan.[5]

 

Ilustrasi Peta pengepungan Kota Antiokhia. Sumber gambar: heihachi.eu

 

Setelah kemenangan dari serang kedua ini, kondisi Pasukan Salib makin memprihatinkan. Mereka tahu, bahwa pasukan dari Mosul dalam jumlah besar sedang berderap menuju Antiokhia. Dan mereka tidak mungkin menghadapi pasukan tersebut dengan kondisi babak belur seperti ini. Berangkat dari kondisi di atas, maka tidak ada pilihan, Pasukan Salib yang tersisa ini harus segera memasuki benteng dan menguasai kota, agar pasokan logistik kembali pulih dan mereka bisa kembali menyusun barisan.[6]

Sebagai catatan, sebenarnya Pasukan Salib sudah meminta bantuan pada Alexius untuk menggandakan kekuatan dan memasok logistik bagi mereka. Tapi karena satu dan lain hal, Alexius dan kontingennya akhirnya kembali ke Konstantinopel. Karena Alexius menolak untuk membantu, maka secara otomatis – jika berhasil ditaklukkan – kota Antoikhia tidak termasuk dalam wilayah yang akan dikembalikan pada Bizantium.

Akhirnya, apa dikhawatirkan oleh Yaghi Siyan terjadi. Bahwa warganya tidak memiliki kesetiaan yang kuat, dan rentan pada penghianatan. Pada akhir Mei 1098, Bohemond berhasil membujuk salah satu prajurit tinggi Antiokhia, serta membuat kesepakatan dengannya. Prajurit Antiokhia pun mulai melonggarkan pertahanan di beberapa gerbang, sehingga Pasukan Salib bisa memasuki benteng dengan mudah. Pada tanggal 3 Juni 1098, benteng Antoikhia akhirnya berhasil di bobol, dan penduduknya dibantai. Dengan demikian, pada tanggal tersebut, secara resmi kota Antoikhia berhasil kembali direbut oleh orang-orang Kristen.[7] (AL)

 

Bersambung…

Pasukan Salib Merebut Yerusalem (13)

Sebelumnya:

Pasukan Salib Merebut Yerusalem (11)

 

Catatan kaki:

[1] Lihat, The First Crusade: The Siege of Antioch and Fall of Jerusalem, https://www.thegreatcoursesdaily.com/siege-of-antioch-and-fall-of-jerusalem/, diakses 17 Januari 2019

[2] Lihat, Siege of Antioch and Fall of Jerusalem, https://www.thegreatcoursesdaily.com/siege-of-antioch-and-fall-of-jerusalem/, diakses 17 Januari 2019

[3]Antiokhia (Antioch ), merupakan wilayah perkebunan penghasil zaitun yang kaya. Kota ini menjadi makmur pada abad ke-4 dan ke-5 M. Tetapi abad ke-6, kota ini diserang serangkaian bencana gempa bumi dan kebakaran hebat yang membuatnya hancur lebur.  Pada tahun 525 sampai 611 masehi, kota ini di kuasai oleh Persia. Dan ketika imperium Islam melakukan ekspansi ke wilayah Suriah dan Palestina, kota ini ikut ditaklukkan dan menjadi wilayah kekuasaan kaum Muslimin pada 637 M. Pada tahun  969, Antiokhia berhasil ditaklukkan oleh Bizantium, dan dijadikan sebagai benteng terdepan wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1084M, kota ini kembali ditaklukkan oleh Saljuk. Kemudian pada tahun 1098, Antiokhia jatuh ke tangan Pasukan Salib, dan menjadinya sebagai salh satu ibu kota kekuasaanya. Dan akhirnya, pada tahun 1268 kota tersebut diserang oleh Pasukan Mamluk hingga hancur berantakan. Kehancuran itu membuat kota tersebut tidak bisa lagi bangkit hingga hari ini.Pada masa kebangkitan Dinasti Utsmani kota tersebut diambil sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Penguasaan tersebut terus berlangsung hingga masa Perang Dunia I. Ketika Prancis menguasai wilayah tersebut, Antiokhia dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Suriah. Pada tahun 1939, kota ini akhirnya kembali menjadi milik Turki atas izin dari pemerintah Prancis. Lihat, Antioch, https://www.britannica.com/place/Antioch-modern-and-ancient-city-south-central-Turkey, diakses 17 Januari 2019

[4] Lihat, Siege of Antioch and Fall of Jerusalem, https://www.thegreatcoursesdaily.com/siege-of-antioch-and-fall-of-jerusalem/,  Op Cit

[5] Ibid

[6] Lihat, War Matrix – Siege of Antioch, http://heihachi.eu/history/warmatrix/time2/time2/time1/siege%20of%20Antioch.html, diakses 17 Januari 2019

[7] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 638

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*