Meski hipotesis tentang adanya aliansi antara Fatimiyah dengan Pasukan Salib disangsikan, tapi Perang Salib yang kita persepsikan sebagai perang agama ini, sebenarnya tidak bersifat hitam-putih atau murni masalah agama. Dinamika politik yang terjadi pada masa itu demikian dinamis. Bahkan bisa dikatakan agama hanyalah isu politik yang digunakan untuk mengikat visi kolektif.
Sebagaimaan sudah diulas pada edisi sebelumnya, hipotesis Ibn Athir yang mengatakan bahwa Dinasti Fatimiyah menjalin aliansi dengan Pasukan Salib, sebagian sejarawan meragukannya. Keraguan ini bukan disebabkan oleh kredibilitas dan kompetitensi Ibn Athir, tapi lebih pada adanya distorsi infomasi yang dilakukan oleh sejarawan lain pada hipotesis tersebut.
Sebagai catatan, Ibn Athir adalah seorang sejarawan yang cukup disegani dalam dunia Islam. Beliau hidup antara tahun 1160 M- 1232 M. Karya-karyanya, terlebih mengenai Fatimiyah dan Perang Salib, banyak menjadi rujukan sejarawan di timur maupun di barat. Sebagaimana Al Tabari, sebagian dari karya Ibn Athir, ditulis berdasarkan peliputan langsung atas peristiwa tersebut. Hal ini menjadikan karyanya kridibel untuk dijadikan sebagai rujukan dalam diskursus mengenai tema-tema abad pertengahan.[1]
Dengan demikian, terkait kritik Maher Y. Abu-Munshar, tentang hipotesis Ibn Atsir yang kita ulas pada edisi sebelumnya, analisis Maher sebenarnya bisa dibenarkan. Mengingat dalam tradisi penuturan sejarah (periwayatan) di dunia Islam, seorang periwayat biasanya akan menuliskan secara detail urutan sumber informasi (sanat) yang dimilikinya. Ibn Atsir adalah seorang sejarawan yang kridibel, dan tentu sangat memahimi kaidah ini. Sehingga wajar ketika beliau mengajukan satu hipotesis yang diangkat dari sumber yang tidak terlalu kredibel, beliau mengunakan statemen yang menyiratkan keraguannya.[2]
Akan tetapi, bila dinilai secara strategis, asumsi tersebut mungkin saja benar. Mengingat gesekan kepentingan antar Saljuk, Fatimiyah dan Pasukan Salib memang mengalami frekuensi sangat tinggi pada periode tersebut. Sehingga cukup memungkinkan terjadinya konflik di satu sisi, dan perjanjian (kerjasama, ataupun aliansi) di sisi lain.
Sebagaimana dikatakan oleh Eamonn Gaeron, Perang Salib yang kita persepsikan sebagai perang agama ini, sebenarnya tidak bersifat hitam-putih atau murni masalah agama. Terdapat juga perjanjian dan aliansi antar kekuatan Islam-Kristen yang terjadi dalam periode ini.[3] Sehingga bisa dikatakan, perang ini relatif jauh dari nuasa agama. Agama hanya menjadi isu politik untuk mengikat visi kolektif. Selebihnya, terkait strategi dan taktik, motif politiklah yang menjadi faktor pendorong utamanya.
Adapun tarik ulur kepentingan dalam skema Perang Salib ini, umumnya disebabkan oleh adanya perubahan fundamental pada situasi politik internal masing-masing kekuatan. Ketika kekuatan di Timur disatukan oleh Dinasti Saljuk, dan kekuatan di Barat kembali terkonsolidasi dengan tajuk Perang Salib, Dinasti Fatimiyah justru mengalami dekadensi yang memprihatinkan. Dimana khalifah Fatimiyah pada periode ini nyaris tidak memegang otoritas. Semua keputusan nyaris diambil alih oleh wazir atau perdana menteri.
Para khalifah Fatimiyah yang lahir pada masa ini umumnya masih anak-anak. Sehingga mereka membutuhkan pendamping yang sementara waktu bertugas mengelola urusan negara, atau yang biasa disebut sebagai Wazir. Lazimnya, seorang wazir hanya bertindak sebagai pembantu khalifah. Tapi disebabkan kecakapan para khalifah masih belum memadai, mereka kemudian mengambil alih otoritas tersebut dan bertindak layaknya khalifah itu sendiri. Lama kelamaan, kedudukan wazir ini demikian perkasa. Tidak hanya mengatur negara, mereka bahkan bisa menentukan siapa yang duduk menggantikan posisi khalifah. Demikianlah yang terjadi di tubuh Dinasti Fatimiyah kala itu.[4]
Adapun periode pertama pemerintahan para wazir ini, dimulai ketika sosok yang bernama Malik al Afdal menduduki jabatan tersebut. Dialah aktor sentral dari Fatimiyah yang memainkan peran dalam Perang Salib I ini.
Malik al Afdal yang menduduki posisi wazir menggantikan ayahnya sebagai menteri, dan menguasai angkatan bersenjata kerajaan. Sayangnya, hubungan Malik dengan putra mahkota bernama Nizar, tidak terlalu baik. Perselisihan antara wazir dengan putra mahkota ini mencapai titik puncak ketika khalifah Al Mustansir wafat pada tahun 1094. Segera, Malik mengawal proses transisi dan menggeser pengganti Khalifah dari Nizar kepada adiknya yang bernama al-Qasim Al-Musta’libi-llah. Malik diangkat menjadi wazir yang berkuasa penuh di Istana, dan Nizar pun menjadi buron yang paling di cari oleh Malik dan aparaturnya.[5]
Menyadari situasi yang mengancam keselamatannya, tiga hari setelah pelantikan Al Qasim, Nizar memutuskan pergi dari Kairo menuju Alexanderia. Di sana ternyata dia disambut baik oleh penduduknya. Nizar dinobatkan sebagai khalifah yang sah oleh masyarakat di Alexanderia. Kelak para pengikut Nizar inilah yang kita kenal sekarang sebagai penganut sekte Nizari Ismailiyah. Ketika mendengar kekuatan Nizar bangkit di Alexanderia, Malik Al Afdal segera melakukan penyerbuan. Dia berhasil memadamkan pemberontakan di sana, dan menyandera Nizar, kemudian menjatuhinya hukuman mati. Tapi pendukung Nizar sudah terlanjur membengkak. Setelah kematian Nizar, para pendukungnya kemudian membaiat putranya yang masih kecil sebagai imam sekte Nizari.[6]
Sejak kematian Nizar, praktis Dinasti Fatimiyah terbelah menjadi dua kubu, para pendukung Nizari, dan pendukung khalifah. Dalam hal politik dan pemerintahan, bisa dikatakan khalifah Al Qasim lebih berkuasa. Tapi dalam hal militansi dan pengaruh, pengikut Nizari bisa dikatakan lebih mengakar. Secara keseluruhan, inilah periode awal dimulainya masa kejatuhan Dinasti Fatimiyah. Di dalam negeri, mereka menghadapi situasi perpecahan yang parah. Sedang di luar, mereka sedang dikepung oleh banyak kuatan yang siap melahap mereka kapan saja.
Dalam theater Perang Salib selanjutnya, salah satu pecahan dari kelompok Nizari yang dikenal dengan nama sekte Hasyasyin, tumbuh menjadi kelompok teroris yang paling menakutkan bagi setiap kubu. Mereka menjadi kelompok pembunuh misterius. Dimana tergetnya adalah para raja, wazir dan orang-orang berpengaruh. Nama sekte ini kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi Assassin.[7] Sedangkan tradisi wazir di Fatimiyah, pada akhirnya diduduki oleh seorang prajurit Saljuk, bernama Salahuddin. Dialah yang mengakhiri eksistensi Dinasti Fatimiyah, dan sekaligus mendirikan Dinasti Ayyubiyah. Sejarah kemudian mengenal namanya sebagai Salahuddin Al Ayyubi. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Koes Adiwidjajanto, Historicum Calamitatum (Masa-masa Kekalutan) Dunia Islam dalam Historiografi Ibn Athīr di dalam al-Kāmil, Qurthuba; The Journal of History And Islamic Civilization, Volume 1, Nomor 1, September 2017, hal. 32-35
[2] Lihat, Maher Y. Abu-Munshar, Fatimids, Crusaders and the Fall of Islamic Jerusalem: Foes or Allies?, Routledge, Tailor and Francis Group, Al-Masaq, Vol. 22, No. 1, April 2010
[3] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal.
[4] Tentang sejarah Dinasti Fatimiyah, redaksi ganaislamika.com pernah mempublikasi serial tulisan berjudul “Dinasti Fatimiyah”. Untuk membaca, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-fatimiyah-1-asal-usul/
[5] Lihat, Ibn Khallikan’s, Biohraphical Dictionary, Vol I, Translated by Mac Guckin de Slane, Paris, Oriental Translation Fund of Great Britain And Ireland, hal. 612–615
[6] Lihat, The Cambridge History of Africa; Volume 3 c. 1050-c. 1600, Roland Oliver (Edt), UK, Cambridge University Press, 1977, hal. 18-19
[7] Tentang sekte Hasyasyin, redaksi ganaislamika.com pernah mempublikasi serial tulisan berjudul “Assassin”. Untuk membaca, bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/assassin/