Pasukan Salib Merebut Yerusalem (5)

in Sejarah

Last updated on February 12th, 2019 01:54 pm

Yerusalem, bukan hanya sekedar wilayah biasa. Kota ini adalah milik tiga agama samawi. Tempat ini memeram sejarah ribuan tahun jejak spiritual umat manusia. Setiap pengelolanya dituntut memiliki sensitifitas spiritual yang tinggi, agar toleransi bisa bersemi. Bila tidak, maka sebagaimana sejarah sudah buktikan, Yerusalem akan menjadi kutukan bagi siapapun yang mengelolanya secara lalim.

 

Peta wilayah kekuatan Dunia Islam dan Kristen Abad ke 11 M. Sumber gambar: La Listory Blog

 

Lahirnya keputusan dari umat Kristen Eropa untuk menyerang dan mengambil alih Yerusalem dari kekuasaan kaum Muslim, dipicu oleh dua momen penting; pertama, adalah kekalahan Byzantium dari pasukan Saljuk pada tahun 463 H/1071 M di tempat yang bernama Manzikart. Kedua, adalah jatuhnya kota Yerusalem yang dikuasai Dinasti Fatimiyah ke tangan pasukan Saljuk. Sejak itu, intoleransi merebak di Yerusalem, dan gelombang pengungsian umat Kristiani dan Yahudi mulai berdatangan ke Eropa.

Meletusnya pertempuran Manzikart sebenarnya konsekuensi logis dari adanya ekspansi besar Dinasti Saljuk ke seluruh dunia pada paruh kedua abad 11 M. Sebagaimana sudah dikisahkan dalam edisi sebelumnya, Dinasti Saljuk lahir di tengah-tengah konflik antara faksi-faksi kekuasaan Islam di Asia Tengah dan Persia. Segera setelah itu, Saljuk tumbuh menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan di dunia Islam.

Tughil Beg – yang merupakan pendiri sekuligus pemimpin tertinggi Dinasti Saljuk – memerintahkan pasukannya untuk melancarkan ekspedisi militer ke segala penuju. Pada tahun 1055M, mereka bahkan sempat mengambil alih kendali kota Baghdad yang merupakan pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Dan setelah itu, praktis tidak ada lagi satupun kekuatan di Asia yang mampu menghalau laju penaklukan yang dilakukan oleh Dinasti Saljuk.[1]

Tughril Beg tidak memiliki seorang putra, sehingga ketika dia meninggal, kepemimpinan diteruskan oleh keponakannya bernama Alp Arselan yang memerintah tahun 1063 M hingga 1072 M. Perluasan daerah yang sudah dimulai pada kepemimpinan Thugril Beg, kemudian dilanjutkan oleh Alp Arselan ke Barat.[2]

Pada tahun 1071 M, ekspedisi militer yang mereka lancarkan berhasil menyentuh bibir dua benua, yaitu Eropa dan Afrika. Di Eropa, Saljuk berhadapan dengan dinding imperium klasik dunia, yaitu Byzantuim. Sedang di Afrika, mereka akan berhadapan dengan penguasa Afrika yang selama berpuluh tahun sebelumnya menjadi bayang-bayang kekuasaan Abbasiyah (shadow caliphate), yaitu Dinasti Fatimiyah.

Dalam rangka gerakan ekspansi tersebut, terdapat suatu peristiwa penting yang dikenal dengan pertempuran Manzikart 463 H/1071 M, dimana tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan kekuatan besar tentara Romawi yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Prancis dan Armenia.

Pertempuran Manzikart berlangsung di tepi Danau Van, daerah Armenia sekarang. Dalam perang tersebut, Alp Arselan dan pasukan Saljuk berhasil memberikan pukulan-pukulan hebat atas pasukan Byzantium. Setelah peristiwa Manzikart, dengan mudah pasukan Saljuk mengambil alih kendali atas Armenia, Asia Kecil dan Suriah, kemudian menyapu daerah kekuasaan Byzantium dan memporak-porandakan angkatan perangnya di sepanjang laut tengah. Setelah itu, Saljuk mematenkan kedudukannya di kawasan tersebut dengan mendirikan sebuah ibu kota propinsi di Asia Kecil (sekitar Turki sekarang).[3]

 

Gambar ilustrasi Pertempuran Manzikart pada 1071 M. sumber gambar: Pinterest

 

Bagi Saljuk, peristiwa ini sangat berarti. Sebab bukan hanya semakin terbukanya Asia Kecil untuk dikuasai suku-suku Turki. Lebih dari itu, kemenangan awal ini penting bagi Saljuk untuk menundukkan Kaisar Roma. Tapi tidak demikian bagi Byzantium dan masyarakat Eropa. Peristiwa ini menjadi lonceng yang menyadarkan mereka bahwa bahaya yang lebih besar sudah menunggu di gerbang peradaban mereka. Untuk pertama kalinya sejak Islam datang lima abad sebelumnya, masyarakat Eropa merasa terancam secara eksistensial. Bagi mereka, Saljuk bukan hanya ancaman bagi kekaisaran Byzantium, tapi juga ancaman bagi Agama Kristen, dan juga identitas Eropa.

Setelah peristiwa Manzikart, euforia kemenangan atas Byzantium menyelimuti pasukan Saljuk. Untuk menggenapi keberhasilan ini, mereka terus merangsek menyusuri Asia kecil hingga menyentuh batas wilayah Dinasti Fatimiyah, yang ketika itu menguasai tiga kota suci umat Islam, yaitu Mekkah, Madinah, dan Yerusalem. Meski tidak terlalu signifikan secara startegis, tapi secara kultural sangat penting bagi tiap dinasti Islam menguasai kota suci kaum Muslimin. Karena ini adalah kunci untuk meraup legitimasi dari dunia Islam secara keseluruhan.

 

Peta ilustrasi perebutan wilayah tiga imperium Dunia abad 11 M, Saljuk, Byzantium, dan Fatimiyah. Sumber gambar: Istanbul Clues

 

Dan demikianlah, segera setelah berhasil merebut sebagian wilayah Byzantium di Asia Kecil, pasukan Sajuk berhasil merebut kota Yarusalem dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah pada 1073 M. Tidak sampai di sana, mereka terus merangsek ke wilayah Hijaz, dan berhasil merebut Mekkah dan Madinah.

Tapi persoalannya bukan di sana. Berbeda dengan Mekkah dan Madinah yang secara legitimate merupakan milik kaum Muslimin – Yerusalem, bukan hanya sekedar wilayah biasa. Kota ini adalah milik tiga agama samawi. Tempat ini memeram sejarah ribuan tahun jejak spiritual umat manusia. Setiap pengelolanya dituntut memiliki sensitifitas spiritual yang tinggi, agar toleransi tetap bersemi. Bila tidak, maka sebagaimana sejarah sudah buktikan, Yerusalem akan menjadi kutukan bagi siapapun yang mengelolanya secara lalim. Dan hal inilah yang lupa dipahami oleh orang-orang Saljuk.

Segera setelah berhasil menaklukkan Yerusalem, budaya toleransi di Yerusalem hilang seketika. Orang-orang Saljuk melakukan pengusiran terhadap orang-orang non-muslim di wilayah tersebut. Situs-situs suci mereka dihancurkan, serta para peziarah Kristen dan Yahudi diserang, dirampok dan dibunuh.[4]  Tidak hanya itu, kaum muslimin yang tidak sepaham dengan Saljuk pun, mengalami hal serupa. Tak ayal, keamanan dan kedamaian yang memenuhi Yerusalem sejak penaklukan Umat bin Khattab empat abad sebelumnya, lenyap seketika.

Gelombang pengungsian pun berdatangan dari Yerusalem ke Eropa. Para pengungsi ini menceritakan kisah-kisah pengusiran dan perlukan buruk kaum Muslimin kepada koleganya. Dalam waktu singkat, berita tentang tragedi di Yerusalem segera tersiar hingga memenuhi Eropa. Inilah untuk pertama kalinya, secara definitif aspirasi politik bertemu dengan aspirasi religius. Kekalahan dalam peristiwa Manzikart, dan keprihatian atas tragedi yang melanda tanah suci Yerusalem — keduanya, menjadi alasan yang lebih dari cukup bagi masyarakat Eropa untuk bersatu dan merebut kota suci Yerusalem dari kekuasaan kaum Muslimin. (AL)

 

Bersambung…

Pasukan Salib Merebut Yerusalem (6)

Sebelumnya:

Pasukan Salib Merebut Yerusalem (4)

 

Catatan kaki:

[1] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 474-475

[2] https://ganaislamika.com/dinasti-seljuk-bangkit-dan-runtuhnya-kekhalifahan-2-pecahnya-perang-salib/

[3] Lihat, Philips K. Hitti, Op Cit, Hal. 476

[4] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 112

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*