Pasukan Salib Merebut Yerusalem (6)

in Sejarah

Last updated on February 12th, 2019 01:53 pm

Alasan agamanya agaknya bukan faktor utama yang memicu agresi Eropa ke Yerusalem, yang sekaligus menandai dimulainya Perang Salib. Faktor politiklah yang tampak lebih menentukan keputusan tersebut. Agama hanyalah legitimasi moral untuk justifikasi tujuan politik semua pihak (Saljuk, Fatimiyah dan Kristen Eropa), yang ketika itu sedang mencari orientasi peradaban masing-masing.

 

Lukisan karya Francesco Hayes, berjudul “Destruction of The Temple of Jerusalem. Dibuat di Italia tahun 1867. Sumber gambar: allpainters.org

 

Sebagaimana sudah dibahas sekilas pada edisi sebelumnya, intolerasi yang ditebar oleh pasukan Saljuk di Yerusalem, menjadi salah satu alasan yang memicu lahirnya rencana umat Kristen Eropa merebut Yerusalem dari kekuasaan kaum Muslimin. Tapi bila kita telaah lebih jauh, agaknya isu politis sebenarnya lebih dominan memicu agresi ini, ketimbang masalah intoleransi. Sebab beberapa dekade sebelumnya, Dinasti Fatimiyah sudah terlebih dahulu menampakkan wajah intoleransi agama di tanah suci Yerusalem.

Ketika itu, Dinasti Fatimiyah yang terkenal sebagai imperium yang ramah dan toleran mengalami perubahan total sejak diperintah oleh khalifah keenam Dinasti Fatimiyah, bernama Abu ‘Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah, atau dikenal dengan Al Hakim. Ia memerintah pada periode tahun 996 sampai 1021 M. Ketika naik tahta, usianya masih sebelas tahun.

Bagi kaum Fatimiyah, Al Hakim dianggap sebagai salah satu raja terbesar, karena di masa pemerintahannya supremasi sekte Ismaliyah bisa begitu mendominasi di antara sekte-sekte lainnya. Tapi bagi orang-orang yang berada di luar kelompoknya, ia adalah mimpi buruk, dan dianggap sebagai titik balik yang menyebabkan kejatuhan Dinasti Fatimiyah.

Masa awal pemerintahannya diwarnai dengan sejumlah perang sipil, yang disebabnya terjadinya perubahan demografi yang mendadak. Mesir dibajiri oleh para pendatang yang menyatakan diri sebagai pemeluk kepercayaan Syiah Ismailiyah. Bagaimanapun aspirasi mereka harus diakomodir, karena mereka merupakan saudara seiman kaum Fatimiyah.[1]

Akibatnya, terjadi keguncangan yang luar biasa, kedatangan mereka telah menyebabkan terjadinya perimbangan demografis antara pendukung inti Dinasti Fatimiyah, dengan berbagai kelompok sebelumnya yang sudah di kelola sangat baik, seperti kelompok Berber (maghribi), Arab, Sudan dan Turki.[2]

Sayangnya, Al Hakim tidak memiliki manajemen konflik sebaik para pendahulunya. Alih-alih meredam pertikaian, dia justru merespon semua dinamika yang berkembang dengan tangan besi. Situasipun terkendali, namun modal sosial masyarakat yang sudah susah payah dibangun sebelumnya, hancur berantakan.

Sejak memasuki era pemerintahan Al Hakim, Kairo kehilangan jati dirinya sebagai kota yang ramah dan toleran. Bukan hanya kelompok non- Muslim, bahkan kaum Muslimin dari kelompok-kelompok non-Islamili mengalami diskriminasi pada masa ini. Tidak hanya di Kairo, intoleransi menyebar ke segala penjuru wilayah Dinasti Fatimiyah.

Di Yerusalem, inilah untuk kali pertama, Gereja Makam Yesus (Holy Sepulchre) dihancurkan kaum Muslimin. Tindakan ini oleh para orientalis ditandai sebagai awal mula lahirnya benih Perang Salib yang berlangsung selama berabad-abad kemudian. Atas tindakannya tersebut, masyarakat Barat kala ini menjuluki Al Hakim sebagai “Khalifah yang gila” (Mad Caliph).[3]

Namun terlepas dari semua anggapan tersebut, yang jelas masa pemerintahan Al Hakim, masyarakat Mesir mengalami era transformasi yang signifikan baik secara sosio-kultural maupun politik. Pada masa ini, Fatimiyah melepaskan merit-system, dan memasuki era monarki dalam arti seutuhnya. Khalifah adalah tempat berakumulasinya kekuasaan dan harta. Demikian berkuasanya khalifah, hingga Eamonn Gaeron bahkan menyebutkan bahwa di akhir-akhir masa pemerintahannya, Al Hakim cenderung menganggap dirinya sebagai “Dewa”.[4]

Dalam kerangka ini bisa diasumsikan, bahwa alasan agamanya agaknya bukan faktor utama yang memicu agresi Eropa ke Yerusalem, yang sekaligus menandai dimulainya Perang Salib. Agama hanyalah legitimasi moral untuk justifikasi tujuan politik semua pihak yang ketika itu sedang mencari orientasi peradaban masing-masing.

Sama halnya dengan yang terjadi dunia Muslim, di Eropa, dinamika politik berlangsung tak kalah keras. Beberapa sejarawan bahkan menduga, bahwa keinginan Gereja Katolik Roma  (Roman Catholic) untuk memaksakan otoritas atas Byzantium (The Eastern Orthodox Faith) adalah salah satu alasan untuk memulai Perang Salib I. Namun, karena hal ini tidak disebutkan dalam korespondensi Paus yang bertahan dari periode tersebut, sehingga mustahil untuk memastikan asumsi ini.[5]

Tapi terlepas dari semua asumsi tersebut, abad pertengahan menyaksikan tiga kekuatan adidaya kala itu, Saljuk (Muslim Sunni), Fatimiyah (Muslim Syiah) dan Eropa (Kristen) – oleh sejarah dipertemukan pada satu titik krusial, di kota suci tiga agama Samawi. Tak ayal, dalam dinamika politik abad pertengahan ini, agama pun menjadi jargon paling efektif untuk men-glorifikasi perang suci yang akan terus berlangsung selama ratusan tahun setelahnya.  (AL)

Bersambung ke:

Pasukan Salib Merebut Yerusalem (7)

Sebelumnya:

Pasukan Salib Merebut Yerusalem (5)

Catatan kaki:

[1] Kelompok yang baru datang ini dikenal sebagai Keluarga besar Dylami yang berasal dari Pesia. Sebelumnya, mereka mamang sudah mengabdi pada Fatimiyah sejak zaman pemerintahan Al Aziz. Mereka miliki komitmen dan antusiame terhadap ajaran Ismailiyah, sehingga mereka lebih diterima oleh rezim ketimbang yang laim. Pada masa pemerintahan Al Hakim, jumlah mereka kian banyak – bahkan mereka diberikan satu wilayah tersebut yang disebut Harat al-Daylam. Adapun di bidang politik dan militer, posisi tawar mereka di pemerintahan kiat kuat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya gesekan antar kelompok di ibu kota. Lihat, Hatim Mahamid, Persians in Fatimid Egypt: (I) Their Role in the Army, https://simerg.com/literary-readings/persians-in-fatimid-egypt-their-role-in-the-army/, diakses 15 April 2018

[2] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, hal. 253-254

[3] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 89

[4] Ibid

[5] Ibid, hal. 111

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*