“Pemberontakan Zanj telah mencapai progresifitas yang luas bisa di bulan-bulan pertama gerakannya. Tapi meski begitu, mereka tampaknya menyadari bahwa kekuatan mereka belum cukup untuk membongkar pertahanan Basrah. Untuk itu mereka melakukan perubahan strategi dengan mengincar wilayah lain di sekitar Basrah.”
—Ο—
Setelah berhasil mendirikan Ibu Kota al-Mukhtarah, strategi perjuangan kelompok Zanj pun mengalami pola yang berbeda. Bila sebelumnya Ali bin Muhammad sendiri yang memimpin pasukan, setelah al-Mukhtarah berdiri, dia tidak pernah lagi terlihat di medan pertempuran. Dia hanya memberikan instruksi pada pasukannya dari al-Mukhtarah dan mendelegasikan urusan militer pada dua orang jenderalnya yang terkenal, yaitu ‘Ali bin Aban al-Muhallabi dan Yahya bin Muhammad al-Bahrani.
Selain itu, fokus ekspedisi militer mereka tidak lagi hanya tertuju ke Basrah. Tapi mulai terbagi ke arah timur al-Mukhtarah, yaitu di kota bernama al-Ahwaz, wilayah Iran sekarang. Meski begitu, secara pararel konsentrasi Ali bin Muhammad tidak pernah sekalipun beralih dari Basrah. Dia terus mengintai dan menanti waktu yang tepat untuk melancarkan serang paling mematikan ke kota tersebut.
Secara garis besar, setidaknya terdapat dua wilayah atau front pertempuran terbesar selama berlangsungnya pemberontakan Zanj, yaitu Basrah dan al-Ahwaz. Kedua wilayah ini memiliki nilai strategis bagi masing-masing pihak, baik Zanj maupun Abbasiyah.
Bagi kelompok Zanj, menaklukkan Basrah jelas jauh lebih bernilai daripada menaklukkan al-Ahwaz. Akan tetapi, Basrah jauh lebih sulit ditaklukkan, karena sistem pertahanan kota ini memang lebih kompleks dan lebih kokoh dari al-Ahwaz. Pemerintah Abbasiyah pun jauh lebih sensitif terhadap keberlangsungan eksistensi Basrah. Sehingga mereka tak segan untuk mengerahkan segala upaya demi menyelamatkan kota ini.
Pada awal tahun 870 M, meski sejumlah kemenangan sudah diraih oleh kelompok Zanj, tapi kekuatan mereka belumlah cukup memadai untuk membongkar sistem pertahanan Basrah. Ini sebabnya, mereka memilih jalan memutar, dengan secara bertahap menaklukkan al-Ahwaz, sambil konsentrasinya tetap terfokus pada Basrah.
Al-Ahwaz adalah wilayah yang jauh lebih luas dari Basrah. Pemukiman di kawasan ini terpencar dan tidak solid. Sehingga wilayah ini jauh lebih mudah di taklukkan. Tapi bila kita perhatikan jejak penaklukkan Zanj di mulai dari Jubba, al-Ahwaz, hingga al-Jibal, agaknya tujuan puncak pemberontakan Zanj adalah mengincar Samarra, ibu kota Dinasti Abbasiyah (lihat peta).
Adapun Basrah memiliki nilai yang demikian strategis karena dengan menaklukkan kota ini, jalan menuju Samarra terlihat lebih dekat. Sebagaimana ditunjukkan dalam peta, dari Basrah ke arah utara terdapat juga kota-kota penting lain seperti al-Irak, Kufah, dan Baghdad yang nilai strategisnya tak kalah penting dari Basrah. Tapi untuk memilih jalur ini ke Samarra tentu tidak hanya dibutuhkan keberanian dan semangat, tapi juga kapasitas pasukan dan logistik yang memadai. Di titik inilah front al-Ahwas memiliki nilai strategis yang tak kalah penting dari Basrah. Sebab al-Ahwaz merupakan jalur alternatif yang ideal bagi kapasitas kekuatan kelompok Zanj untuk mencapai Samarra.
Bila ditinjau dari aspek ekonomi, meski al-Ahwaz tidak sekaya Basrah, tapi sumberdaya di wilayah ini secara akumulatif sangat besar. Hal ini kelak terbukti ketika suplai logistik dan sumberdaya manusia dari kawasan al-Ahwaz dan sekitarnya, bisa menopang kebutuhan logistik kelompok Zanj selama pemberontakan. Dengan support logistik yang memadai inilah, kelompok Zanj bisa terus konstan menghadapi perlawanan dari tentara pusat Abbasiyah, sekaligus tetap menjaga fokusnya mengawasi Basrah.
Lahirnya ide untuk melancarkan agresi ke arah al-Ahwaz awalnya muncul ketika para pemberontak berhasil menaklukkan distrik bernama al-Ubulla yang letaknya tepat berada di samping Basrah (lihat peta). Penaklukkan ini terjadi hampir pararel dengan proses penaklukkan pasukan Ju’lan al Turki di Basrah. Al-Ubulla saat itu sedang di bawah kekuasaan gubernur bernama Abu al-Ahwaz al-Bahili, seorang kepercayaan Ju’lan al Turki.[1]
Ketika Ju’lan dan pasukannya pergi peninggalkan Basrah, Ali bin Muhammad memerintahkan pasukannya untuk fokus pada penaklukkan al-Ubulla. Kota ini kemudian diserang dengan kekuatan penuh dari berbagai penjuru, baik darat maupun sungai. Hingga akhirnya, pada akhir Juni 870 M, kota tersebut dapat dikuasai sepenuhnya oleh orang-orang Zanj. Adapun Abu al-Ahwaz al-Bahili dan putranya dikabarkan terbunuh dalam peristiwa tersebut.[2]
Setelah menguasai penuh kota al-Ubulla, orang-orang Zanj seperti kesetanan menjarah dan membunuh penduduk kota tersebut. Rumah-rumah penduduk dibakar, dan api pun berkobar di seluruh kota. Mereka yang berusaha lari diburu, dan sebagian mereka yang berusaha lari melalui sungai banyak yang mati tenggelam.[3] (AL)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] The History of al-Tabari Volume XXXVI, The Revolt of the Zanj, Translated by David Waines, State University of New York Press, 1992, hal. 110-111
[2] Ibid, hal. 111
[3] Ibid