“Diakhir tahun 255 H, progres perjuangan orang-orang Zanj sangat mencengangkan. Setelah berhasil mengalahkan pasukan Basrah, Ali bin Muhammad kemudian mulai membangun pemukiman ekslusif sebagai pusat wilayah kekuasaannya. Dia memilih sebuah wilayah kering bekas pertanian garam di masa perbudakan kaum Zanj dahulu. Wilayah ini kemudian dikenal dengan nama al-Mukhtarah (yang terpilih). Tempat inilah yang kemudian menjadi ibu kota, sekaligus markas besar kelompok Zanj selama 14 tahun mereka melangsungkan pemberontakan.”
—Ο—
Sebagaimana sudah dikisahkan sebelumnya, bahwa kemenangan demi kemenangan yang diraih pemberontak Zanj, telah menambah agregat kekuatan mereka baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini membuat mereka mulai berani melangkah lebih jauh, yaitu menaklukkan Basrah yang merupakan salah satu kota terpenting Dinasti Abbasiyah.
Agresi pertama Zanj ke Basrah terjadi pada pertengahan Oktober 869 M, atau hanya beberapa minggu sejak gaung revolusi dikumandangkan Ali bin Muhammad pada September 869 M. Mereka melakukan penyerangan melalui wilayah perairan, atau kanal-kanal yang mengalir di sekitar Basrah. Tapi sayangnya, kali ini perhitungan mereka salah. Basrah memiliki penjagaan yang berbeda dari desa-desa yang sebelumnya berhasil mereka taklukkan. Belum sampai menjangkau Basrah, pasukan Zanj sudah terlebih dahulu dihalau di batas kota oleh angkatan laut Abbasiyah. Tak ayal, upaya agresi tersebut langsung bisa dipadamkan dengan kekalahan menyakitkan di pihak Zanj.[1]
Akan tetapi, kelompok pemberontak ternyata cepat belajar. Dengan cepat mereka bisa membaca peta kekuatan pasukan Basrah. Setelah kekalahan pertama, mereka segera mundur dan menyusun kembali formasi penyerangan. Dan tak lama setelah itu, upaya penyerangan kembali dilakukan.[2] Kali ini, mereka melakukan serangan dari berbagai arah, darat maupun perairan. Dalam pertempuran ini, pasukan pemberontak menyerang kapal-kapal tonkang yang digunakan pasukan Basrah di kanal dan juga kamp-kamp pasukan yang berada di tepian kanal. Serangan dadakan dari berbagai sisi tersebut ternyata berhasil, dan mengakibatkan kekalahan di pihak pemerintah Abbasiyah.[3]
Kemenangan yang diraih kali ini begitu prestisius bagi Zanj dan merupakan kemenangan besar pertama mereka menghadapi kekuatan adidaya di muka bumi kala itu. Demikian pentingnya hasil pertempuran ini bagi kelompok pemberontak, hingga mereka mengenal peristiwa tersebut sebagai Pertempuran Tongkang, dan hari dimana mereka berhasil memenangkan pertempuran tersebut dinamai Yawm al-Shadhā .[4]
Pertempuran tongkang, menjadi momen menentukan dalam perkembangan dinamika pemberontakan yang dilakukan oleh Zanj. Sejak saat itu, otoritas lokal kekhalifahan Abbasiyah di Basrah mulai menyadari bahwa kekuatan kaum pemberontak sudah terlalu besar untuk mereka hadapi sendirian. Pada tahap selanjutnya, gerakan pemberontakan Zanj sudah tidak lagi dihitung sebagai pemberontakan biasa, tapi sudah berhasil menarik perhatian pusat kekuasaan Abbasiyah di Samarra. Pemerintah pusat kemudian mengutus sejumlah pasukan yang komandani oleh sosok tentara terlatih yang juga budak dari Turki bernama Ju’lan al-Turki. [5]
Begitu tiba di Basrah, hal pertama yang Ju’lan lakukan adalah membawa pasukannya maju dari kota Basrah sejauh 6 kilometer, dan memerintahkan pasukannya untuk menggali parit di sana. Di tempat ini juga kemudian dia dan pasukannya membangun perkemahan, dan menyusun rencana penyerangan terhadap kelompok Zanj.[6]
Selama enam bulan lamanya Ju’lan berupaya memadamkan pemberontakan Zanj, tapi tak seinci pun dia mengalami kemajuan. Alih-alih, kelompok Zanj justru berhasil melancarkan serangan malam ke kamp Ju’lan al-Turki dan mengusir sang komandan pulang ke Samarra. Kekalahan ini membuat reputasinya hancur seketika di hadapan para petinggi Dinasti Abbasiyah di Samarra. Tugas memadamkan pemberontakan Zanj kemudian dialihkan kepada sosok bernama Sa’id ibn Salih al-Hajib.[7]
Setelah berhasil memukul kekuatan inti pasukan Abbasiyah di Basrah dan mengusir Ju’lan al Turki pulang ke Samarra, kelompok Zanj sempat berencana menggelar serangan penuh ke Basrah. Tapi agaknya mereka menyadari bahwa saat itu mereka belum siap menaklukkan Basrah. Mengingat mereka pun sempat mengalami kerugian dalam pertempuran terakhir menghadapi pasukan Ju’lan al Turki.
Sebagaimana dikisahkan al Tabari, meski pada saat itu para pasukannya mengajukan izin untuk melakukan serangan penghabisan terhadap Basrah, tapi Ali bin Muhammad melarangnya dengan alasan bahwa saat ini setidaknya masyarakat Basrah sudah mengetahui kekuatan kelompok Zanj, dan mereka untuk sementara waktu tidak akan gegabah dalam menganggu pertumbuhan revolusi Zanj.[8]
Ali bin Muhammad kemudian menarik mundur pasukannya dari perbatasn Basrah dan mulai membangun pemukiman ekslusif sebagai pusat wilayah kekuasaannya. Dia memilih sebuah wilayah kering bekas pertanian garam di masa perbudakan kaum Zanj dahulu. Wilayah ini kemudian dikenal dengan nama al-Mukhtarah (yang terpilih). Tempat ini kemudian menjadi markas besar sekaligus ibu kota kelompok Zanj selama 14 tahun pemberontakan mereka. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] The History of al-Tabari Volume XXXVI, The Revolt of the Zanj, Translated by David Waines, State University of New York Press, 1992, hal. 59-65
[2] Ibid, hal. 65
[3] Ibid, hal. 66-67
[4] Ibid, hal. 66
[5] Ibid
[6] Ibid, hal. 108
[7] Ibid, hal. 109
[8] Ibid, hal. 67