“Lebih dari separuh abad kota Samarra menjadi ibu kota kekhalifaan Abbasiyah (221 H/836 M – 276 H/889). Terdapat sekurangnya tujuh khalifah Abbasiyah yang sempat naik tahta. Dalam kurun waktu tersebut, anak-anak bani Abbas seperti keluar dari rumahnya (Baghdad) untuk sekedar dihinakan di Samarra.”
—Ο—
Pasukan Baghar, meski sudah menguasai Ibu Kota, tapi sepenuhnya menyadari bahwa mereka tidak memiliki landasan legitimasi apapun untuk menduduki kursi khalifah, apalagi memerintah dunia Islam.
Mereka pun akhirnya membebaskan putra al-Mutawwakil bernama al-Mu’tazz dari dalam penjara dan mendaulatnya sebagai khalifah.
Sekilas tentang al-Mu’tazz. Dia adalah putra kedua al-Mutawwakil, adik dari al-Muntashir. Berdasarkan amanat al-Mutawwakil, yang melanjutkan kursi kekhalifahan Bani Abbas setelah kematiannya secara berturut-turut adalah al-Muntashir, al-Mu’tazz dan Al-Mu’ayyad. Namun pada masa pemerintahan al-Muntahir, al-Mu’tazz dan Al-Mu’ayyad dipaksa menarik kandidasinya dari bursa pencalonan khalifah. Dia lalu dijebloskan ke penjara oleh kakaknya sendiri. Dan ketika al-Muntahir yang hanya menjabat selama 6 bulan wafat, orang-orang Turki lalu menunjuk al- Musta’in, yang tidak lain adalah adik al-Mutawwakil, dan juga paman al-Mu’tazz.[1]
Demikianlah, setelah al-Musta’in meninggalkan tahtanya, al-Mu’tazz dilantik sebagai khalifah oleh prajurit mendiang jenderal Baghar. Segera setelah itu berita tentang pengangkatan al-Mu’tazz disebarkan ke segala penjuru dunia Islam. Situasi ini membingung sejumlah pihak, sebab praktis pada saat itu dunia Islam memiliki dua orang khalifah dalam waktu bersamaan.
Setelah dilantik sebagai khalifah, hal pertama yang dilakukan oleh al-Mu’tazz adalah menyerang Baghdad guna menentukan legitimasi kursi kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Bersama pasukan peninggalan Jenderal Bahgar, al-Mu’taz berhasil menguasai Baghdad pada tahun 866 M,dan membuat al-Musta’in memberikan bai’at pada al-Mu’tazz. Al-Musta’in, pada awalnya dibiarkan hidup dan diasingkan. Tapi ternyata hanya beberapa saat setelahnya, al-Musta’in dibunuh oleh orang yang diutus al-Mu’tazz sendiri.
Di masa pemerintahan al-Mu’tazz, keserakahan militer Turki makin menjadi. Mereka memperlakukan khalifah layaknya sapi perahan. Mereka menuntut gaji yang tinggi, dan bayaran yang mahal untuk setiap perintah yang diberikan. Hingga akhirnya, kas negara kosong. Al-Mu’tazz tidak mampu lagi membayar tentaranya. Dikabarkan oleh al-Tabari, bahwa al-Mu’tazz juga sudah berusaha meminjam uang pada ibunya, demi memenuhi permintaan tentaranya. Namun ibunya tak mau membantu, dan mengatakan tidak memiliki uang. [2]
Pada akhirnya, kesabaran tentara Turki pun habis. Tiga faksi tentara bergabung (Turki, Faraghinah dan Magharibah) mereka sepakat melengserkan khalifah yang bangkrut ini. Mereka mendatangi istana khalifah, lalu memukuli khalifah yang tidak berdaya ini sampai sekarat. Mereka kemudian memaksa Al-Mu’tazz menulis surat wasiat yang menyatakan bahwa dia mengundurkan diri dari jabatan khalifah. Tapi Al-Mu’tazz sudah tidak sanggup lagi melaksanakan perintah tersebut. Akhirnya surat tersebut dituliskan oleh orang-orang Turki dan dia disuruh menandatangani. Sesaat setelah itu, Al-Mu’tazz meninggal dunia.[3]
Di dalam surat wasiatnya, Al-Mu’tazz menyatakan mengundurkan diri, dan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Muhammad bin al-Watsiq, yang kemudian bergelar al-Muhtadi. Dia dilantik sebagai khalifah pada tahun 255H//869 M.
Lebih dari separuh abad kota Samarra menjadi ibu kota kekhalifaan Abbasiyah (221 H/836 M – 276 H/889). Terdapat sekurangnya tujuh khalifah Abbasiyah yang sempat naik tahta.[4] Dalam kurun waktu tersebut, anak-anak bani Abbas seperti keluar dari rumahnya (Baghdad) untuk sekedar dihinakan di Samarra. Mereka dikendalikan dan diperbudak oleh budak-budak mereka, serta diajak saling membunuh di antara sesama mereka. HIngga akhirnya anak-anak Bani Abbas tersebut tumpas satu persatu dalam “perbudakan” yang terjadi di dalam Istananya sendiri. Sebuah fenomena zaman yang sangat tidak lazim, meski dilihat dari perspektif paling feodal sekalipun.
Sebagai catatan, bertepatan dengan tahun 255H/869 M, Imam Syiah ke-12 bernama Muhammad al-Mahdi putra Hasan Al-Askari lahir di sebuah penjara militer Dinasti Abbasiyah di Samarra. Dan pada tahun yang sama juga pertama kali pecahnya pemberontakan budak kulit hitam yang dikenal sebagai kelompok Zanj, dan dipimpin oleh Ali bin Muhammad. Pemberontakan ini berkobar selama 14 tahuh, dan menjadi prahara yang akan menggenapi kerusakan di jantung kekuasaan Dinasti Abbasiyah. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari Volume XXXIV, Incipient Decline, Translated by Joel L. Kraemer, State University of New York Press, 1992, hal. 210-218
[2] Lihat, The History of al-Tabari Volume XXXV, The Crisis of the `Abbasid Caliphate, Translated and Annotated by George Saliba, State University of New York Press, 1992, hal. 163-164.
[3] Ibid, hal. 164
[4] Di antara mereka yang menjadi khalifah selama kurun tersebut yaitu: Mu’tasham (217 H/832-227 H/842); Watsiq (227 H/842-232 H/846); Mutawakkil (232 H/846-247 H/861); Muntashar (247 H/861-248 H/862); Musta’in (248 H/862-252 H/866); Muhtadi (255 H/869-256 H/870). Hal tersebut berlangsung sampai pada kekuasaan Mu’tamid yang berkuasa dari tahun 256 H/870 sampai 279 H/892. Pada tahun 276 H/889, Mu’tamid memindahkan ibu kota pemerintahan kembali ke Baghdad.
Maa syaa Allah, senangnya ketemu website tentang peradaban Islam. Saya pun menemukan sumber untuk bahan tugas kuliah saya dengan mudahnya. Terima kasih sudah memudahkan saya! Maa syaa Allah! Tabaarakallah! Baarakallah, Guru!
Terimakasih atas apresiasinya Mbak/Mas, untuk update artikel terbaru, Anda bisa aktifkan mode “push notification” di browser Anda. Atau bisa juga follow akun kami di bawah ini:
Twitter: @ganaislamika
FB: @ganaislamica
IG: @ganaislamika