Mozaik Peradaban Islam

Pemberontakan Zanj (4): Titik Balik Sejarah Abbasiyah (1)

in Sejarah

Last updated on September 29th, 2018 07:45 am

Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, Bani Abbas banyak memiliki divisi budak yang berasal dari berbagai etnis, seperti Turki, Kurdi, India, China dan Afrika (Zanj). Budak-budak dari Turki kemudian menduduki strata tertinggi setelah mereka berhasil masuk dan mengendalikan sepenuhnya istana Khalifah. Adapun Zanj, menempati strata terendah dari stratifikasi perbudakan di era Abbasiyah.”

—Ο—

 

Zanj (Arab: زنج; dari Persia: زنگ zang, yang berarti “Tanah Orang Kulit Hitam”) adalah nama yang digunakan oleh ahli geografi Muslim abad pertengahan untuk merujuk pada bagian tertentu dari Afrika Tenggara (terutama Pantai Swahili), dan untuk penduduk yang berbahasa Bantu di daerah itu. Kata ini juga merupakan asal nama dari Zanzibar, yang sekarang merupakan wilayah kepulauan di Negara Tanzania. Kata “Zanj” kemudian berkembang menjadi Zangī (زنگی) dalam bahasa Persia yang berarti “negro, Hitam”, dalam bahasa Arab sebagai zanjī (زنجي) dan dalam bahasa Turki sebagai zencî.[1]

Wilayah Zanzibar di pesisir timur Afrika. Sumber gambar: http://solarey.net

 

Istilah Zanj menjadi membingungkan ketika sarjana modern mencoba mendalami peristiwa huru-hara yang terjadi pada 869–883 M di jantung kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Al-Tabari – yang karyanya menjadi rujukan utama sarjana modern dalam meneliti pertiswa tersebut – menamakan peristiwa tersebut dengan “Pemberontakan Zanj”.[2] Tapi pada kenyataannya, pemberontakan tersebut tidak hanya dilakukan oleh komunitas budak kulit hitam, melainkan juga melibatkan banyak lagi divisi perbudakan dan oposisi kekhalifahan yang ada di wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Alih-alih, menurut sebagian sarjana, kelompok Zanj hanyalah minoritas di dalam peristiwa pemberontakan tersebut. Bahkan pemimpinnya, Ali bin Muhammad, bukan berasal dari Zanj, melainkan dari Persia.

Nicholas C. McLeod  dalam tesisnya mengutip Ghada Hashem Talham, menyatakan bahwa pada awalnya, Zanj merupakan terminologi yang digunakan para penjelajah Arab dan Persia yang datang ke kawasan pantai timur Afrika. Kutipan istilah ini ditemukan dalam karya al-Fazari, seorang astronom Arab di tahun 780 M. Tapi kemudian kata ini berkembang dari sebelumnya hanya menunjukkan posisi geografis, menjadi konotasi yang berkecenderungan negatif terhadap satu identitas, yaitu budak kulit hitam. [3]

Secara historis, para geografer umumnya membagi kawasan pesisir timur Afrika dalam dua bagian, yaitu utara dan selalatan. Yang bagian utara, mereka menyebutnya tanah Baribah Timur atau Barbaroi. Penghuni wilayah ini kemudian dikenal sebagai orang-orang Berber. Pada masa Dinasti Umayyah, istilah Berber juga digunakan untuk menunjuk penghuni kawasan Afrika Utara. Di masa selanjutnya, kawasan timur laut Afrika atau tepatnya Ethiopia, dikenal dengan sebutan khusus, yiatu al-Habasha atau Abyssinia. Tempat ini sangat terkenal dalam sejarah Islam. Karena Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin pergi ke wilayah ini untuk berlindung sebelum akhirnya nanti datang perintah hijrah ke Madinah.

Adapun bagian selatan pesisir timur Afrika yang berbatasan langsung dengan Ethiopia, para sejarawan menyebutnya sebagai wilayah Zanj. Walaupun tidak tepat secara definitif ruang lingkupnya, tapi cakupan kawasan ini luas sekali. Sebagian menganggap kawasan Zanj mencakup seluruh penduduk yang menggunakan Bahasa Bantu. Adapun Bahasa Bantu, merupakan bahasa yang digunakan oleh ratusan etnik yang ada di Afrika. Saat ini mereka yang berbahasa Bantu menyebar di hampir keseluruhan kawasan tengah Benua Afrika, mencakup dari pantai barat hingga timur benua tersebut.

Kawasan penutur Bahasa Bantu di Afrika. Sumber gambar: Wikipedia.org

Selama ratusan tahun sebelum datanganya Islam, orang-orang Zanj sudah diperjual-belikan sebagai budak ke berbagai penjuru dunia melalui jalur perdagangan kuno yang menyebar di kawasan Samudera Hindia. Kota-kota pelabuhan yang tersebar di pesisir kawasan Samudera Hindia – mulai dari Arab, Basrah di Teluk Persia, India, Nusantara hingga China – sudah lazim sebagai tempat transaksi perbudakan, salah satunya budak yang berasal dari Zanj. [4]

Jalur perdagangan kuno di Kawasan Samudera Hindia. Sumber gambar: Nicholas C. McLeod, “Race, rebellion, and Arab Muslim slavery : the Zanj Rebellion in Iraq, 869 – 883 C.E,” Electronic Theses and Dissertations. Paper 2381, Hal. 20

Perbudakan sendiri, sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah bangsa Arab pra-Islam. Dan ini masih terus berlanjut hingga masa setelah Islam. Hanya bedanya, bila pada masa pra Islam, para budak diperlakukan secara semena-mena dan jauh dari asas kemanusiaan. Setelah datangnya Islam, perspektif perbudakan menjadi bergeser sama sekali. Islam mewajibkan pemeluknya memperlakukan orang-orang yang berada di bahwa kekuasaannya dengan baik layaknya manusia, dan di hadapan Allah SWT, yang membedakan derajat manusia hanya ketaqwaannya. Dengan kata lain, konsep perbudakan jahiliyah benar-benar didelegitimasi sejak datangnya Islam.[5]

Ilustrasi perbudakan bangsa kulit hitam: sumber gambar: edassignmentytsg.jazmineearlyforcouncil.us

Pada masa Dinasti Umayyah berkuasa dan melakukan penaklukkan ke kawasan Afrika Utara, jumlah perbudakan terhadap orang-orang kulit hitam menjadi meningkat. Awalnya, karena didorong oleh kebutuhan akan sumber daya manusia, Bani Umayyah menggunakan orang-orang Afrika taklukannya sebagai tentara dan pekerja kasar. Tapi seiring berjalannya waktu, konsep perbudakan kembali bergeser ke tradisi jahiliyah. Para budak tersebut diperjual belikan secara massif, dan diperlakukan demikian rendah.[6]

Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, Bani Abbas banyak memiliki divisi budak yang berasal dari berbagai etnis, seperti Turki, Kurdi, India, China dan Afrika (Zanj). Mereka diperkerjakan sebagai tentara, selir, kasim, hingga pekerja kasar.[7] Para peneliti modern menilai bahwa perbedaan bidang pekerjaan para budak tersebut, melahirkan divisi perbudakan dan stratifikasi sosial. Sebagaimana sudah dikisahkan dalam edisi sebelumnya, budak-budak dari Turki menduduki strata tertinggi setelah mereka berhasil masuk dan mengendalikan sepenuhnya istana Khalifah. Adapun Zanj, menempati strata terendah dari stratifikasi perbudakan di era Abbasiyah. (AL)

Bersambung…

Pemberontakan Zanj (5): Titik Balik Sejarah Abbasiyah (2)

Sebelumnya:

Pemberontakan Zanj (3): Anarki di Samarra (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat,The Zanj Revolt in Iraq, http://solarey.net/zanj-revolt-iraq/, diakses 19 September 2018

[2] Lihat, The History of al-Tabari Volume XXXVI, The Revolt of the Zanj, Translated by David Waines, State University of New York Press, 1992.

[3] Nicholas C. McLeod, “Race, rebellion, and Arab Muslim slavery : the Zanj Rebellion in Iraq, 869 – 883 C.E,” Electronic Theses and Dissertations. Paper 2381. https://ir.library.louisville.edu/etd/2381/

[4] Budak-budak dari Zanj bahkan sudah dikenal sampai ke China. Sebagaimana sebutkan dalam naskah kuno China, bahwa duta besar Sriwijaya untuk China pernah menghadiahkan dua budak Seng Chi (Zanji) untuk Kaisar. Lihat,The Zanj Revolt in Iraq, http://solarey.net/zanj-revolt-iraq/, Op Cit

[5] Ulasan cukup mendalam tentang masalah perbudakan dalam Islam, pernah secara diterbitkan redaksi ganaislamika.com, dalam serial tulisan berjudul “Kisah Bilal bin Rabah”. Untuk membacanya, bisa mengakses melalui link berikut: https://ganaislamika.com/kisah-bilal-bin-rabah-2-perbudakan-dari-masa-ke-masa/

[6] Nicholas C. McLeod, Op Cit

[7] David Brown, Zanj: Revolt, Conflict and Change, https://www.academia.edu/6401109/Zanj_Revolt_Conflict_and_Change, diakses 19 September 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*