“Kondisi orang-orang Zanj dalam masa Dinasti Abbasyiah sangat menyedihkan. Mereka diperlakukan tidak manusiawi oleh para majikannya. Hingga pada satu titik, mereka menemukan momentum sejarah yang sangat langka. Dimana jumlah mereka membengkak, situasi keamanan rapuh akibat konflik politik yang terjadi di dalam istana khalifah, dan hadirnya seorang pemimpin di tengah-tengah mereka bernama Ali bin Muhammad.”
—Ο—
Basrah, merupakan salah satu kota pelabuhan yang sangat terkenal di sepanjang pesisir Samudera Hindia. Sejak berabad-abad sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah, para pencong dari berbagai penjuru dunia sudah mengenal tempat ini. Dan ketika kekhalifahan Abbasiyah menjadi sebuah imperium paling besar di muka bumi kala itu, Basrah segera menjadi kota pelabuhan penting dan paling strategis di dunia.
Adapun terkait dengan eksistensi orang-orang Zanj di Basrah, sulit dipastikan kapan tepatnya mereka ada di wilayah tersebut. Tapi secara umum, para sarjana sepakat bahwa kehadiran orang-orang Zanj di Basrah sudah ada jauh sebelum berdirinya Dinasti Abbasiyah. Dan catatan tentang mereka memang umumnya terkait masalah perbudakan.
Sebagaimana banyak terjadi di sejumlah wilayah, perbudakan manusia sebelum datangnya Islam berlangsung sangat masif. Umumnya para budak diperlakukan secara tidak manusiawi oleh para majikannya. Hal sama juga terjadi dengan orang-orang Zanj di Basrah. Perlakukan tidak manusiawi dari para manjikan pada titik tertentu pernah melahirkan kesadaran kelompok yang memicu terjadinya sebuah pemberontakan. Tercatat, setidaknya pernah dua kali terjadi pemberontakan orang-orang Zanj terhadap majikannya tidak lama sebelum adanya Dinasti Abbasiyah, yaitu pada tahun 689–90 dan di tahun 694 M. Tapi dua pemberontakan tersebut berakhir dengan kegagalan. Setelah peristiwa tersebut, tidak tercatat lagi berita tentang nasib orang-orang Zanj di wilayah tersebut.
Pada masa Dinasti Abbasiyah, populasi orang-orang Zanj tiba-tiba mengalami peningkatan yang luar biasa ketika para elit Basrah mulai melakukan alih fungsi lahan di wilayah tersebut. Sebelumnya, wilayah Irak Selatan dijadikan masyarakat sebagai tempat bertani garam. Tapi disebabkan banjir yang berulang dari waktu ke waktu, masyarakat setempat mulai beranjak meninggalkan daerah tersebut. Lahan tersebut kemudian berubah menjadi rawa-rawa yang tidak produktif. Oleh para borjuasi baru yang menguasai Basrah, lahan tersebut kemudian diambil alih. Mereka mendapatkan privilege dari pemerintah Abbasiyah untuk mengolah lahan tersebut asalkan bisa kembali produktif. Maka upaya keras pun harus dilakukan; rawa harus dibabat, kerak-kerak garam harus dibersihkan, dan tanah perlu ditinggikan agar bisa digunakan sebagai lahan petanian. Untuk semua inilah kemudian orang-orang Zanj didatangkan.[1]
Sebagaimana sudah disebutkan dalam edisi sebelumnya, bahwa dalam strata perbudakan di masa Abbasiyah, orang-orang Zanj ini menempati strata terendah. Mereka bisa digunakan untuk bekerja kasar, dan berharga murah. Di Irak selatan, para majikan mempekerjakan mereka secara paksa, dengan jam kerja yang tidak manusiawi. Mereka ditempatkan di gubuk-gubuk kotor yang terbuat dari alang-alang dan daun palem. Belum lagi rawa-rawa yang mereka babat merupakan tempat bersarangnya wabah malaria. Tak ayal, angka kematian orang-orang Zanj pun menjadi sangat tinggi. Tapi mereka terus didatangkan, hingga pekerjaan membersihkan kerak sisa garam di lahan tersebut selesai.[2]
Pada tahap selanjutnya, setelah lahan sudah siap ditanami, orang-orang Zanj tersebut dipekerjakan diperkebunan dengan upah sangat memprihatinkan. Mereka hanya diberi segenggam tepung dan sedikit kurma sekedar untuk memperpanjang daur hidup mereka. Tekanan luar biasa yang mereka hadapi dari tahun ke tahun inilah yang memupuk tumbuhnya identitas kelompok, dan benih-benih pemberontakan di tengah-tengah mereka.[3]
Hingga pada satu titik, mereka menemukan momentum sejarah yang sangat langka. Dimana hampir semua variable yang menantukan untuk terjadinya sebuah revolusi yang sukses berkumpul di hadapan mereka. Dinasti Abbasyiah sedang disibukkan oleh problem internalnya sehingga situasi keamanan menjadi sangat lemah; Basrah sudah tumbuh menjadi kota pelabuhan paling ramai di muka bumi sehingga gaung revolusi bisa tersebar dengan cepat; populasi orang-orang Zanj sangat banyak dan sudah membentuk satu identitas komunal yang solid; serta yang paling penting dari semuanya, datang kepada mereka seorang pemimpin revolusioner yang bersedia memandu mereka melakukan revolusi orang kulit hitam paling besar dalam sejarah.
Adalah Ali bin Muhammad, nama pemimpin yang menginsiprasi kebangkitan orang-orang Zanj. Dia memiliki kecakapan dalam melakukan provokasi, agitasi dan propaganda, serta piawai dalam meracik narasi pelawanan. Dia berhasil menggalang aspirasi orang-orang Zanj, menjelaskan dengan rinci ketidakadilan yang diderita mereka selama bertahun-tahun, serta menjanjikan kebebasan kepada mereka bila bersedia melakukan kebangkitan.
Dan pada kenyataannya nanti, sebagaimana akan kita kisahkan dalam edisi selanjutnya, pemberontakan yang terjadi pada bulan September tahun 869 M/255H tersebut, berhasil mendongkel kekuasaan Bani Abbas di Basrah dan membebaskan kota tersebut. Tidak hanya itu, hanya dalam kurun waktu sebulan bulan setelahnya, orang-orang Zanj yang dipimpin oleh Ali bin Muhammad berhasil mendirikan sebuah wilayah merdeka yang mereka beri nama al-Mukhtārah (yang terpilih).[4] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, http://solarey.net/zanj-revolt-iraq/, diakses 26 September 2018
[2] Nicholas C. McLeod, “Race, rebellion, and Arab Muslim slavery : the Zanj Rebellion in Iraq, 869 – 883 C.E,” Electronic Theses and Dissertations. Paper 2381. https://ir.library.louisville.edu/etd/2381/
[3] Ibid
[4] Lihat, https://www.britannica.com/event/Zanj-rebellion, diakses 26 September 2018