Pemberontakan Zanj (6): Titik Balik Sejarah Abbasiyah (3)

in Sejarah

Last updated on October 2nd, 2018 02:15 pm

Pemimpin pemberontakan Zanj bernama Ali bin Muhammad diketahui sempat menjalin kedekatan dengan orang-orang di ring satu kekuasaan Abbasiyah ketika masa pemerintahan al-Muntasir, khalifah kesebelas Bani Abbas. Dari orang-orang inilah Ali mencari nafkah untuk menyambung hidupnya, sekaligus mencari dukungan dari mereka dengan cara memuji mereka dalam puisi yang dibuatnya.”

—Ο—

 

Pemberontakan Zanj, pertama kali pecah di pertengahan bulan Syawal tahun 255 H, atau sekitar 10 September – 8 Oktober 869 M, di tempat yang bernama al-Dinari, Basrah. Di tempat ini, orang-orang Zanj berkumpul untuk melancarkan serangan pertama mereka. Serangan ini dipimpin oleh sosok yang mengaku bernama Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Setelah berhasil melancarkan serangan pertamanya, Ali kembali ke al-Dinari dan menjadikan tempat tersebut sebagai basis kekuatannya.

Lukisan ilustrasi berjudul “The Moorish Warrior”.  Sumber gambar: 1st-art-gallery.com

 

Asal-usul Ali bin Muhammad

Berdasarkan catatan yang sampaikan al-Tabari, nama sesungguhnya dari pemimpin pemberontakan Zanj adalah Ali bin Muhammad bin Abdul Rahim, dan nenek moyangnya bernama Abdul Qays. Ibunya bernama Qurah, putri dari Ali bin Tahib bin Muhammad bin Hakim yang berasal dari bani Asad bin Khuzaymah yang merupakan penduduk asli Warzain, sebuah desa yang berada di sekitar al-Rayy (sekarang Iran), dimana di desa inilah Ali bin Muhammad dilahirkan.[1]

Berdasarkan pengakuan dari Ali sendiri, bahwa leluhurnya yang bernama Muhammad bin Hakim adalah salah seorang pengikut Zaid bin Ali bin Husein yang melakukan pemberontakan melawan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.[2] Tapi ketika pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan oleh Hisyam bin Abdul Malik, Muhammad bin Hakim melarikan diri ke al-Rayy dan mengungsi di desa Warzain. Adapun kakek Ali yang berasal dari ayah, yang bernama Abdul Rahim lahir di al-Tiligan. Dia pergi ke Irak dan menetap di sana. Di Irak, Abdul Rahim kemudian menikahi perempuan yang berasal dari Sind. Dari wanita tersebut dia memperoleh anak yang diberi nama Muhammad, yang tidak lain adalah ayah dari Ali.[3]

Sebelumnya, Ali bin Muhammad diketahui sempat menjalin kedekatan dengan orang-orang di ring satu kekuasaan Abbasiyah ketika masa pemerintahan al-Muntasir, khalifah kesebelas Bani Abbas.[4] Dari orang-orang inilah Ali mencari nafkah untuk menyambung hidupnya, sekaligus mencari dukungan dari mereka dengan cara memuji mereka dalam puisi yang dibuatnya.

Pada tahun 249 H/ 863-64 M, Ali dilaporkan meninggalkan Samarra dan pergi ke Bahrain. Di tempat ini dia mengaku silsilahnya adalah sebagai berikut:  ‘Ali bin Muhammad bin al-Fadl bin Hasan bin `Ubaydillah bin al`Abbas bin `Ali bin Abi Thalib. Di tempat yang bernama Hajar, dia berhasil mengagitasi orang-orang di sana untuk menjadi pengikutnya. Hebatnya, sebagian besar dari mereka banyak yang mematuhinya, meski sebagian lainnya juga ada yang menolaknya. Masyarakat pun terpecah belah. Perpecahan ini pada akhirnya berujung pada bentrokan antar kedua belah pihak dan menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa.[5]

Setelah melalui serangkain peristiwa berdarah di atas, Ali bin Muhammad diketahui melarikan diri dari Hajar dan pergi ke al-Ahsa.[6] Di al-Ahsa dia mendapat perlindungan dari salah satu kelompok Bani Tamim, yang merupakan bagian dari Bani Sa’ad bernama Bani al-Shammas. Di tempat ini dia dijamu dengan baik dan diberikan tempat tinggal.

Petualangan Ali bin Muhammad di Bahrain mencapai puncak ketika orang-orang Bahrain mulai mandaulatnya sebagai nabi. Sebagaimana yang dikisahkan oleh al-Tabari, pengikutnya demikian banyak hingga mereka mampu mengumpulkan pajak atas namanya. Ali memiliki otoritas hukum atas masyarakat di wilayah tersebut, dan atas namanya, rakyat Bahrain mendeklarasikan perang melawan para pendukung pemerintah pusat Dinasti Abbasiyah. Hanya saja, eksistensi Ali mendapat perlawanan dari sebagian yang lain, sehingga menyebabkan dia harus kembali menyingkir ke padang pasir. Tapi meski begitu, banyak juga orang-orang Bahrain yang bergabung dengannya. Di gurun tersebut, Ali bergerak dari satu suku ke suku lainnya. Kemudian di gurun itulah, menurut pengakuan Ali sendiri, dia mendapat wangsit yang memerintahkannya untuk pergi menuju Basrah.[7] (AL)

Bersambung…

Pemberontakan Zanj (7): Penaklukan Basrah (1)

Sebelumnya:

Pemberontakan Zanj (5): Titik Balik Sejarah Abbasiyah (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, The History of al-Tabari Volume XXXVI, The Revolt of the Zanj, Translated by David Waines, State University of New York Press, 1992, hal. 30

[2] Perlawanan yang dipimpin oleh Zaid bin Ali bin Husein terjadi pada tahun 122 H. Dia adalah pendiri mahzab Syiah Zaidiyah yang cukup dekat dengan Sunni, dibandingkan Syiah lainnya. Pemberontakan yang dilancarkannya bahkan didukung oleh Imam Abu Hanifah, pendiri mahzab Sunni Hanafi. Tapi pemberontakan yang dilancarkannya gagal total. Dari 15.000 orang yang berbaiat padanya, hanya sekitar 300 orang saja yang menepati janji. Akhirnya dengan mudah, pemberontakan ini bisa dipadamkan oleh Hisyam bin Abdul malik. Zaid terbunuh, dan kepalanya dipenggal oleh prajurit Hisyam lalu dibawa ke Damaskus. Belum cukup sampai disitu, jasad Zaid di gantung di gerbang kota Damaskus hingga bertahun-tahun. Lihat, https://ganaislamika.com/dinasti-umayyah-20-bergesernya-motif-pemberontakan-rakyat/

[3] Lihat, The History of al-Tabari, Op Cit

[4] Menurut al-Tabari, beberapa orang dekat al-Muntasir yang sempat menjalin konaksi dengan Ali adalah Ghanim al-Shitranji (Sang Pemain catur), Said yang Muda, dan Yusr sang Kasim. Disamping itu dia juga mendekati beberapa kelompok lain yang dekat denganj Khalifah, termasuk juga para sekretaris khalifah. Lihat, ibid, hal. 31

[5] Ibid

[6] Tempat ini biasa juga dikenal dengan sebutan al-Hasa. Saat ini tempat ini menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Arab Saudi.

[7] Sebagaimana kisahkan oleh al Tabari, bahwa `Ali sendiri pernah berkata:”Selama periode ini saya menerima tanda-tanda kepemimpinan saya sebagai imam, yang nyata bagi rakyat.” Menurut ceritanya sendiri, di antara tanda-tandanya adalah: “Saya menerima surat Al Qur’an, yang saya tidak pelajari dalam hati, namun saya bisa melafalkannya dalam sekejap. Termasuk di antaranya, Surat Subhan, al-Kahf , dan Sad.” Dia melanjutkan: “Contoh lebih lanjut adalah saat saya sedang berbaring, merenungkan tentang tempat yang harus saya tuju untuk mendirikan tempat tinggal. Pikiran tentang gurun dan penghuninya yang bandel membuat saya sedih, tetapi kemudian awan menaungi saya. Guruh petir dan kilat menyala. Suara petir terdengar di telingaku, dan sebuah suara menyapa saya sambil berkata, ‘Menuju al-Basrah.’ Saya berkata kepada teman-teman saya yang membantu saya, ‘Suara dari petir telah memerintahkan saya untuk pergi ke al-Basrah.’ Demikian diriwayatkan al-Tabari. Lihat, Ibid, hal. 32

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*