Penaklukan Andalusia (5): Perang Melawan Raja Visigoth

in Sejarah

Last updated on May 10th, 2018 01:49 pm

“Thariq memenangkan perang, namun khalifah Umayyah, Abdul Malik, marah dan memerintahkan Thariq ke Damaskus untuk menjelaskan maksud dari perang yang menurutnya tidak sah ini. Sesampainya di sana, Thariq tidak pernah kembali, dan riwayatnya tidak pernah diketahui lagi.”

–O–

Meski tanggal pasti invasi masih menjadi perdebatan, tapi mengenai tahun, dapat dipastikan itu terjadi pada tahun 92 Hijriyah. Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa tahun itu bertepatan dengan tahun 711 Masehi. Setahun sebelumnya, Thariq bin Ziyad dan orang-orang suku Berber telah melakukan serangan kecil ke Hispania, mereka mengirimkan 400 infanteri dan 100 kavaleri. Serangan pertama itu sukses, sehingga pada musim semi berikutnya, Thariq lebih berani mempersiapkan serangan dalam skala yang lebih besar.

Dalam serangan berikutnya, Thariq membawa sekitar 7.000 pasukan orang Berber. Mereka kemudian diperkuat oleh pasukan tambahan orang Arab sebanyak 5.000 orang. Pada waktu itu Hispania masih dikuasai oleh orang-orang Visigoth. Berdasarkan legenda setempat, Thariq dibantu untuk berlayar ke Spanyol oleh orang-orang lokal pembantu Julian, Lord of Ceuta (Penguasa Ceuta), yang merupakan salah satu petinggi Visigoth.

Menurut cerita, setahun sebelumnya seseorang yang bernama Roderic berhasil naik tahta menjadi Raja Visigoth. Julian yang juga merupakan bangsawan Visigoth setuju untuk menjadi pengikut setia Roderic. Julian kemudian mengirimkan salah satu putrinya ke istana Raja Roderic untuk mendapatkan pendidikan.

Namun nahas, Roderic malah memperkosa anak perempuan Julian sampai hamil. Marah, Julian kemudian menghubungi Thariq; mereka membuat kesepakatan perdamaian, dan Julian memutuskan untuk membalas dendam dengan cara membantu Thariq dan orang-orang Berber dengan menyediakan kapal untuk mereka ke Andalusia.

Berdasarkan Catatan Sejarah 754, pada tahun 710 Roderic berhasil merebut tahta dengan cara pertumpahan darah. Kemungkinan besar dia juga telah membunuh raja yang berkuasa sebelumnya. Tindakannya itu menyebabkan kemarahan dan menimbulkan perbedaan pendapat di antara orang-orang yang memiliki keterkaitan dengan kerajaan.

Pada saat itulah—ketika Visigothic Hispania berada dalam kondisi, seperti yang dikatakan penulis Catatan Sejarah 754, “kekacauan internal”—Thariq dan pasukannya tiba di Hispania. Roderic dengan terpaksa mengumpulkan pasukan untuk menghadapi serangan suku Berber. Namun, Roderic sendiri jauh dari rasa percaya diri, dia tidak yakin pasukannya solid dan memiliki kesetiaan terhadap dirinya.

Di antara seluruh rangkaian peperangan, pertempuran yang paling menentukan adalah Pertempuran Guadalete. Pertempuran itu terjadi pada bulan Juli tahun 711 di suatu tempat di sekitar Sungai Guadalete. Sebuah laporan yang terlalu membesar-besarkan mengatakan bahwa pasukan Roderic terdiri dari sebanyak 100.000 orang.

Lukisan Pertempuran Guadalete, dilukis oleh pelukis asal Spanyol, Martinez Cubells (1845-1914).

Sementara itu, laporan lain yang mencoba lebih berhati-hati mengatakan bahwa pasukan Roderic terdiri dari 40.000 orang, ini pun sama, sebetulnya jumlahnya masih terlalu besar. Dalam banyak dokumen catatan sejarah awal, ketika mereka menyebut jumlah manusia sebanyak puluhan ribu atau ratusan ribu, seringkali dimaksudkan hanya untuk menunjukkan kekuatan yang sangat besar, bukan angka yang secara literal akurat.

Secara detail, tidak banyak yang bisa diceritakan tentang pertempuran ini di luar fakta bahwa itu adalah kekalahan Roderic. Penulis Catatan Sejarah 754 menuliskan bahwa Roderic dikhianati oleh beberapa saingannya yang juga menginginkan kekuasaan. Pasukan Visigoth kemudian diluluhlantakan oleh pasukan Berber. Dengan demikian, bukan hanya kehidupan Roderic, dan satu tahun pemerintahannya, yang berakhir, tetapi juga kerajaan Visigoth di Hispania.

Pada akhir musim panas tahun itu, Thariq telah menguasai hampir setengah dari semenanjung Iberia, sisanya akan jatuh ke tangan Thariq pada tahun berikutnya. Pada titik ini, beberapa catatan sejarah mengatakan bahwa Musa bin Nusayr, gubernur Dinasti Umayyah di Tunisia, menjadi marah dan cemburu karena kesuksesan yang dinikmati oleh Thariq, seseorang yang dulu pernah menjadi budaknya. Perlu diketahui, tidak ada catatan sejarah manapun, yang kredibel, yang mengatakan bahwa penyerangan Thariq dan suku Berber ke Hispania dilakukan atas perintah Musa.

Bagaimanapun, ketika berita penaklukan Hispania sampai ke telinga khalifah Umayyah, Abdul Malik, dia marah dan memerintahkan baik Thariq maupun Musa ke Damaskus untuk menjelaskan apa yang mereka maksud dengan meluncurkan perang yang menurutnya tidak sah ini.

Pada masa itu belum ada teknologi komunikasi yang cepat seperti sekarang, selain itu, sarana transportasi juga masih sangat tradisional, mungkin perlu waktu berbulan-bulan untuk mengirimkan pesan dari Damaskus ke Andalusia. Sehingga ketika perintah dari Abdul Malik sampai ke Thariq, dia sudah mengalahkan daerah-daerah lainnya di Semenanjung Iberia, seperti Ecija (sekarang Seville), Cordoba, Toledo, dan Granada.[1]

Bagaimanapun, Thariq tetap pergi ke Damaskus untuk menemui Abdul Malik, dengan harapan dia dapat diterima sebagai seorang pahlawan yang telah menaklukan Hispania untuk khalifah Umayyah yang jauh berada di sana. Sampai di sini, cerita terputus, baik Thariq maupun Musa tidak pernah kembali ke Afrika Utara atau pun Andalusia. Sumber referensi lain mengatakan bahwa kepemimpinan Thariq di Andalusia digantikan oleh putra Musa. Thariq sendiri, setibanya di Damaskus, oleh pengadilan dia diputuskan bersalah dan harus menerima hukuman mati.[2]

Kisah mengenai Thariq hilang ditelan sejarah, cerita yang sebenarnya tidak pernah diketahui dengan jelas. Meskipun demikian, nama Thariq diabadikan menjadi sebuah nama gunung dan perairan di daerah Andalusia, yakni Gibraltar (Jabal Thariq). Nama itu masih tetap digunakan bahkan sampai hari ini. (PH)

Bersambung ke:

Penaklukan Andalusia (6): Stabilitas setelah Penaklukan

Sebelumnya:

Penaklukan Andalusia (4): Apakah Bangsa Arab Benar-Benar Menduduki Spanyol?

Catatan:

Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan bebas dari buku karya Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 47-49. Adapun informasi lain yang didapat bukan dari buku tersebut dicantumkan di dalam catatan kaki.

Catatan Kaki:

[1] Nadia Shabir,  “Tracing the footsteps of Tariq Ibn Ziyad”, dari laman http://www.islamicity.org/4677/tracing-the-footsteps-of-tariq-ibn-ziyad/, diakses 9 Mei 2018.

[2] “Tariq ibn Ziyad”, dari laman https://www.heritage-history.com/index.php?c=resources&s=char-dir&f=tariq, diakses 9 Mei 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*