Pengaruh Fazlur Rahman dalam Pemikiran Islam Kontemporer (1)

in Tokoh

Last updated on December 22nd, 2022 04:45 am

Menurut Fazlur Rahman, Al-Quran bersifat transenden, karena diturunkan oleh Allah, tetapi isinya juga berkaitan dengan kepribadian Nabi Muhammad dan reaksinya terhadap keadaan yang dihadapinya, dan masyarakatnya di zaman wahyu.

Pengantar

Frederick Mathewson Denny, seorang pemikir studi keagamaan dari Amerika menyatakan, “Kemanapun saya bepergian di dunia … Saya tidak pernah bertemu dengan seorang sarjana Muslim atau ahli di bidang keislaman yang belum pernah mendengar tentang Fazlur Rahman dan kontribusinya mengenai cara memahami islam sebagai sebuah jalan hidup yang masuk akal.”[1]

Denny menunjukkan pengaruh kuat pemikiran yang dimiliki Rahman di banyak Kawasan dan negara di dunia, mulai dari Amerika Utara, Mesir, Yordania, Tepi barat, Semenanjung Arabia, Bangladesh, Pakistan, Malaysia, Indonesia, and Eropa.

Sebagian besar studi tentang karya Fazlur Rahman berfokus pada pendekatannya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Gagasan Fazlur Rahman tentang wahyu dan penafsiran Al-Quran telah mempengaruhi beberapa orang cendekiawan Muslim kontemporer pada akhir abad kedua puluh dan awal abad kedua puluh satu, seperti: Abdolkarim Soroush, Arash Naraqi, Abdullah Saeed, Nurcholish Madjid, Farid Esack and Amina Wadud, dan dengan demikian telah memunculkan – baik secara langsung maupun tidak langsung – aliran pemikiran semacam teologi pembebasan Islam dan tafsir feminis Al-Qur’an.

Fazlur Rahman menolak penjelasan tradisional tentang wahyu, yang menyatakan bahwa Nabi hanya menerima Al-Qur’an, dan tidak memainkan peran dalam membentuk isinya. Sebaliknya, dia menyarankan bahwa kepribadian Muhammad, pengalamannya, keputusannya, perasaan dan refleksinya memainkan peran penting dalam pembentukan isi wahyu.

Gagasan Fazlur Rahman tentang Metode Penafsiran Al-Qur’an

Menurut Fazlur Rahman, Al-Quran bersifat transenden, karena diturunkan oleh Allah, tetapi isinya juga berkaitan dengan kepribadian Nabi Muhammad dan reaksinya terhadap keadaan yang dihadapinya, dan masyarakatnya di zaman wahyu.

Dengan kata lain, Al-Qur’an adalah teks abadi, sedang Nabi Saw, sebagai manusia, terikat pada konteks. Oleh sebab itu Rahman berpendapat, adalah tidak rasional menganggap bahwa Al-Qur’an diturunkan “tanpa melibatkan … aktivitas Nabi sebagai aktivitas latar belakang utama yang mencakup kebijakan, perintah, keputusan, dan lain-lain.”[2]

Di masa lalu, Rahman menekankan, cendekiawan Muslim dan mufasir Al-Qur’an tidak memiliki alat intelektual untuk memahami hubungan antara “karakter verbal wahyu di satu sisi, dan hubungannya yang erat dengan pekerjaan dan kepribadian religius Nabi di sisi lainnya.”[3]

Bagi Rahman, wahyu Islam memiliki sifat ganda (ilahi dan manusia), dan Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah dan sabda Nabi secara bersamaan: “Al-Qur’an sepenuhnya kalam Allah sejauh itu sempurna dan benar-benar bebas dari kepalsuan, tetapi, sejauh itu sampai ke hati Nabi dan kemudian lidahnya, itu sepenuhnya kata-katanya”.[4]

Berdasarkan pengamatan Ali Akbar, dalam sebuah jurnalnya di The Muslim World, ada dua ide kunci yang terkait dengan pendekatan hermeneutis Fazlur Rahman terhadap al-Quran:[5]

Pertama, wahyu Al-Qur’an terjadi dalam situasi historis yang konkret dan mencerminkan keadaan masyarakat Arab abad ketujuh dan para pendengar pertama Nabi.

Memang, Al-Qur’an adalah “tanggapan Tuhan melalui pikiran Muhammad … untuk suatu konteks sejarah “. Faktor ini, tegas Rahman, telah “dibatasi secara drastis oleh ortodoksi Islam dalam pemahaman yang sebenarnya tentang Al-Quran”.

Bagi Rahman, setiap pemeriksaan makna Al-Quran harus mengikuti pendekatan historis-kritis. Inti dari pendekatan semacam itu adalah gagasan bahwa “kepedulian, minat, dan pedoman Al-Qur’an secara langsung berhubungan dengan dan secara organik terkait dengan kehidupan linguistik, budaya, politik, ekonomi, dan agama” orang-orang Arab abad ketujuh, kepada siapa teks tersebut awalnya terungkap.

Oleh karena itu, setiap pernyataan Al-Qur’an tentang masalah sosial, politik dan moral memiliki latar belakang yang berakar pada “daging dan darah sejarah”. Hal ini yang menuntut seseorang memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang konteks ketika memahami Al-Qur’an.

Ide kunci kedua dalam pendekatan Rahman terhadap interpretasi Al-Quran adalah bahwa teks memiliki landasan etis: “Elan dasar Al-Quran adalah moral.” Dalam hal ini, Nabi, yang kepribadiannya memainkan peran kunci dalam membentuk pandangan dunia Al-Qur’an, bertujuan untuk membentuk keadilan sosial dan nilai-nilai moral dalam masyarakatnya.

Rahman berpendapat bahwa sejarah pemikiran Islam telah gagal dalam mengidentifikasi elan vital Al-Qur’an tersebut, sehingga tidak menghasilkan sistem etika yang koheren dari Al-Qur’an itu sendiri.

Menurut Rahman, fokus Al-Quran pada persoalan etika dan keadilanlah yang membuat teks Al-Quran dapat dimaknai sepenuhnya sebagai satu kesatuan yang komprehensif. Oleh karena itu, inti dari pendekatan hermeneutik Rahman adalah gagasan bahwa Al-Qur’an harus dibaca sebagai satu kesatuan, bukan secara atomistik.

Al-Qur’an sering ditafsirkan mengikuti “pendekatan atomistik” oleh banyak sarjana Muslim yang tidak dapat “memahami kesatuan yang mendasari Al-Qur’an, ditambah dengan desakan praktis untuk menetapkan kata-kata dari berbagai ayat secara terpisah.”

Al-Qur’an tidak memasukkan “gabungan ide-ide yang terisolasi atau saling bertentangan,” bantah Rahman. Oleh karena itu, “untuk memilih ayat-ayat tertentu dari Al-Quran untuk memproyeksikan sudut pandang parsial dan subjektif … tentu saja melakukan kekerasan terhadap Al-Quran itu sendiri dan menghasilkan abstraksi yang sangat berbahaya”. (AL)

Artikel ini disarikan dari Jurnal akademik Ali Akbar, Fazlur Rahman’s Influence on Contemporary Islamic Thought, Volume 110, Spring 2020

Bersambung:

Catatan kaki:


[1] Frederick Mathewson Denny, “Fazlur Rahman: Muslim Intellectual,” Muslim World 79 (1989): 101

[2] Fazlur Rahman, “Concepts Sunnah, Ijtihad and Ijmā in the Early Period,” Islamic Studies 1, 1962, hal. 10

[3] Fazlur Rahman, Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 2002), 31

[4] Rahman, “Some Islamic Issues in the Ayyub Khan Era,” hal. 299

[5] Ali Akbar, Fazlur Rahman’s Influence on Contemporary Islamic Thought, Volume 110, Spring 2020, hal. 131-134

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*