Penyebaran Islam di Tanah Sunda (2): Para Perintis

in Islam Nusantara

“Masuknya Islam di Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari jasa-jasa para perintis seperti Bratalegawa, Syekh Quro, Pangeran Walangsungsang dan Syekh Nurjati. Atas Jasa dan dari keturunan merekalah Islam menyebar dari pesisir sampai pedalaman Tanah Pasundan”

—Ο—

 

Agama Islam baru masuk ke daerah Jawa Barat antara akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15. Beberapa tokoh perintisnya adalah Bratalegawa atau yang sering disebut ‘Haji Purwa’, Pangeran Walangsungsang atau Haji Abdullah Imam, Syekh Quro atau Syekh Hasanudin, dan Syekh Nurjati Atau Syekh Datuk Kahfi. Bratalegawa menyebarkan agama Islam secara terbatas di Galuh kemudian di Caruban bersama Pangeran Walangsungsang. Syekh Quro mendirikan pesantren di daerah Karawang pada tahun 1416 M, karena pada waktu itu Karawang menjadi daerah yang pengaruhnya agama Hindu nya cukup kuat. Syekh Nurjati mendirikan pesantren di Amparan Jati (Cirebon). Namun penyebaran agama Islam tahap awal itu masih terbatas pada lingkungan tertentu.[1]

Bratalegawa atau ‘Haji Purwa’ merupakan putra kedua Prabu Guru Panggandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Buni Sora penguasa kerajaan Galuh. Dia memilih hidup sebagai seorang saudagar besar sehingga banyak berpergian ke daerah atau ke negeri lain, seperti Sumatera, Semenanjung Melayu, Campa, Cina, Sri Langka, India, Persia, dan Arab. Di negara-negara tersebut ia menjalin persahabatan dan persaudaraan sehingga banyak sahabat dan perkenalannya, baik sesama saudagar maupun pejabat setempat.

ilustrasi Bratelegawa. sumber gambar http://www.updategeh.com/2016/08/inilah-diaorang-indonesia-pertama.html

Di Gujarat, India, ia mempunyai sahabat dan rekan dalam berniaga bernama Muhammad. Muhammad mempunyai anak gadis bernama Farhana dan Bratalegawa menjatuhkan pilihannya kepada gadis itu untuk dijadikan istri. Bratalegawa kemudian memeluk agama Islam dan mengawini Farhanah. Lalu mereka berdua menunaikan ibadah haji di Makkah, dan Bratalegawa berganti nama menjadi Haji Baharuddin al Jawi.[2]

Ketika kembali ke Galuh, tempat asal Bratalegawa, mereka mengujungi Ratu Banawati, adik bungsunya yang sudah menjadi istri salah seorang raja bawahan Galuh, dengan tujuan untuk membujuk Ratu agar memeluk agama Islam. Usaha tersebut gagal. Setelah itu mereka bertolak pindah ke Cirebon tempat kakak laki-laki Bratalegawa berkuasa. Usaha untuk mengajak kakaknya pun gagal. Kegagalan tersebut tidak membuat hubungan darah diantara mereka menjadi putus. Terkadang Bratalegawa ikut membantu saudaranya bila dibutuhkan. Di Galuh, Bratalegwa dan istrinya tercatat sebagai orang Islam dan haji pertama oleh karena itu ia kemudian dikenal dengan gelar Haji Purwa (Purwa berarti pertama).[3]

Bila kisah Haji Purwa ini dijadikan tolak ukur untuk menentukan masuknya Islam di Jawa Barat, ini berarti bahwa masuknya Islam pertama kali ke Jawa Barat berasal dari Makkah dan dibawa oleh pedagang. Lalu awal penyebaran agama Islam tidak hanya di pesisir saja, akan tetapi di pedalaman, walaupun penyebarannya tidak meluas di masyarakat.

Pada tahun 1409 M, Kaisar Cheng Tu dari Dinasti Ming memerintahkan laksamana Sam Po Bo untuk memimpin armada angkatan lautnya dan mengerahkan 63 buah kapal dengan prajurit yang berjumlah sekitar 27.800 orang untuk menjalin persahabatan dengan kesultanan Islam. Dalam rombongan armada laut Tiongkok itu, diikutsertakan Syaikh Hassanudin atau Syeikh Quro dari Campa untuk mengajar agama Islam di kesultanan Malaka.[4]

komplek makam Syekh Quro di Karawang. sumber gambar http://santripiss.blogspot.co.id/2017/04/syekh-qurotul-ain-syekh-quro-dan-prabu.html

Setelah menunaikan tugas di Malaka, selanjutnya Syeikh Quro mengunjungi beberapa daerah antara lain ke Martasinga, Pesambangan dan Japura melalui pelabuhan Muara Jati. Kedatangannya disambut baik oleh Ki Gedang Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yakni Syahbandar pelabuhan Muara Jati (Cirebon). Ki Gedeng Tapa merupakan putra bungsu Prabu Westu Kencana atau Sang Prabu Dewaniskala.

pelabuhan muara jati tempo dulu. sumber gambar http://www.cirebontrust.com/dari-muara-jati-tanjung-mas-hingga-cirebon-1.html
pelabuhan muara jati yang sekarang menjadi pelabuhan cirebon. sumber gambar http://www.cirebontrust.com/menilik-masa-kejayaan-pelabuhan-muara-jati-cirebon.html

Perjalanan penyebaran agama Islam oleh Syeikh Quro pada waktu itu tidak berjalan mulus. Raja Pajajaran yang bernama Anggalarang pada waktu itu melarang penyebaran agama Islam yang dilakukan Syekh Quro. Perintah itu pun dipatuhi oleh Syeikh Quro. Atas kejadian pelarangan itu, ulama besar tersebut berpamitan kepada Ki Gedeng Tapa. Dengan rasa prihatin dan keinginan untuk menambah pengetahuan akan ajaran Islam, Ki Gedeng Tapa menitipkan anaknya yaitu Nyai Subang Larang ikut bersama Syaikh Quro untuk mempelajari agama Islam.

makam nyi subang larang. sumber gambar http://telagacempakapermaie3isunjeh.blogspot.co.id/2016/06/menguak-kisah-nyi-subang-larang-istri.html

Beberapa lama kemudian Syeikh Quro, berniat kembali ke daerah Kerajaan Pajajaran untuk menyampaikan ajaran Islam, dengan membawa serta beberapa santrinya dan Nyai Subang Larang. Sesampainya di Pelabuhan Karawang, Syeikh Quro banyak melakukan aktifitas dakwah yang santun sehingga banyak diterima oleh masyarakat disekitar. Berita tentang dakwah Syeikh Quro di Karawang ternyata sudah terdengar oleh Prabu Anggalarang. Sang Prabu pun melakukan tindakan pelarangan seperti yang dilakukan sebelumnya dengan mengirim utusan yang di pimpin oleh putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa atau yang terkenal dengan Prabu Siliwangi untuk menutup pesantren Syeikh Quro. Sesampainya di tempat Syeikh Quro, bukannya melarang kegiatan dakwah, sang putra mahkota justru tertambat hatinya oleh suara merdu pembacaan Al-Quran yang dikumandangkan Nyi Subang Larang. Akhirnya Prabu Siliwangi mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren Syeikh Quro.[5](SI)

Bersambung…

Sebelumnya:

Penyebaran Islam di Tanah Sunda (1): Kerajaan dan Agama pra-Islam

Catatan kaki:

[1] Lihat, A. Sobana Hardjasaputra,  Islam di Tatar Sunda dan Hubungan Bupati dengan Ulama Zaman Hindia Belanda, makalah disampaikan dalam seminar Islam di Tatar Sunda Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda 30 September. Diselenggarakan oleh MSI Komisariat UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

[2] Lihat, Ayatrohaedi, Sundakala Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-Naskah Panitia Wangsakerta Cirebon, Pustaka Jaya, Jakarta, 2001, hal 131

[3]Lihat, Ayatrohaedi, ibid

[4] Lihat, Atja Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, Proyek Permuseuman Jawa Barat, Bandung, 1986, hal 31

[5] Lihat, Dewan Mesjid Agung Karawang, Sejarah dan Peranan Mesjid Agung Karawang dalam Pembinaan Umat yang Beriman dan Bertaqwa. Karawang, hal 4-6

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*