Pada awalnya hadis-hadis Nabi tidak dikumpulkan secara menyengaja, namun seiring berjalannya waktu ia mulai dikumpulkan dan dikemas secara lebih formal, terstruktur, dan dogmatis.
Pengantar redaksi:
Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel yang berjudul Perjalanan Intelektual Imam Bukhari, Murid dari Seribu Guru (1).Artikel tersebut sebelumnya hanya terdiri dari dua seri artikel, namun karena dirasa masih ada beberapa bahan yang bisa dibahas terkait tema tersebut, maka redaksi memutuskan untuk membuat seri kelanjutannya. Demikian, selamat menyimak.
Zaman Keemasan Islam oleh banyak sejarawan sering diinterpretasikan dimulai sejak masa pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah, yaitu ketika dipimpin oleh Harun al-Rasyid (786–809) yang mendirikan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad, dan berakhir pada tahun 1258 ketika tentara Mongolia menjatuhkan Baghdad.[1]
Kita tahu bahwa pada masa-masa ini, pencapaian terbesar dunia Islam sering diasosiasikan dengan sains, filsafat, kedokteran, dan pendidikan. Namun, di luar semua topik-topik tersebut, sebenarnya ada satu hal yang perlu dipertimbangkan juga sebagai salah satu capaian pada masa tersebut. Hal ini sesungguhnya adalah yang paling dekat dengan ajaran Islam itu sendiri, yaitu hadis.[2]
Hadis (hadits) dari segi bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadis juga bisa berarti sebagai berita, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Sementara itu hadis menurut istilah syara’ ialah segala hal yang datang dari Nabi Muhammad saw, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuannya (taqrir).[3]
Hadis adalah hal yang sangat penting dalam teologi Islam, dan ini akan menjadi subjek utama dari pembahasan artikel kali ini. Artikel ini juga akan membahas kehidupan dan karya Imam Bukhari (wafat 870 M), orang yang bertanggung jawab atas terkumpulnya hadis-hadis dalam jumlah besar untuk pertama kalinya.
Hadis
Pada tingkat paling dasar, hadis dapat diartikan sebagai ucapan—dan tindakan—dari Nabi Muhammad saw. Bagi seorang Muslim, hadis-hadis merupakan panduan untuk menjalani hidup dengan benar.
Pada awalnya hadis-hadis Nabi ini tidak dikumpulkan secara menyengaja, namun seiring berjalannya waktu ia mulai dikumpulkan dan dikemas secara lebih formal, terstruktur, dan dogmatis. Dan pada gilirannya, hadis-hadis yang sudah dikumpulkan inilah yang membuat ajaran Islam menjadi lebih terkodifikasi.
Sebagian besar ulama Islam memandang kitab Imam Bukhari yang isinya merupakan kumpulan hadis adalah literatur paling otentik (dan paling penting) setelah teks paling suci dalam Islam, yaitu Alquran itu sendiri.[4]
Meski demikian, tidak dikesampingkan bahwa di dalam Islam pun ada aliran-aliran atau mazhab yang memiliki preferensi sendiri mengenai keotentikan (kesahihan) dari hadis yang mereka gunakan. Setidaknya ada tiga mazhab di dalam Islam yang memiliki pandangan tersendiri terhadap suatu hadis, mereka adalah Sunni, Syiah, dan Khawarij.
Kelompok Sunni menganggap kompilasi sahihayn dari Bukhari dan Muslim (wafat 875 M) adalah yang paling otentik. Sementara itu Syiah (dua belas Imam) menganggap hasil kompilasi dari Kulayni (wafat 939 M) yang dilengkapi pengumpulan dari Ibnu Babuyah (wafat 991 M) dan al-Tusi (wafat 1067 M) yang paling otentik. Dan terakhir, Khawarij, menganggap kompilasi dari Ibnu Habib (tercatat akhir abad ke-8) yang paling otentik.[5]
Namun, perbedaan pendapat mengenai keotentikan di antara mazhab-mazhab ini di luar pembahasan kali ini, ia mesti dibahas secara tersendiri. Artikel kali ini akan lebih fokus kepada karya Imam Bukhari saja.
Serupa dengan Alkitab untuk orang Kristen—atau Taurat dan teks suci lainnya untuk orang Yahudi—oleh golongan Muslim konservatif, Alquran dianggap sebagai sesuatu yang abadi, artinya, teks di dalamnya diyakini sudah ada bahkan sebelum diturunkannya wahyu.
Banyak Muslim pada masa-masa awal (di luar golongan sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin) meyakini bahwa seluruh persoalan ada jawabannya di dalam Alquran. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, semakin banyak umat Islam yang merasa perlu adanya bimbingan tambahan, terutama dalam hal kehidupan sehari-hari.
Hal inilah yang kemudian mereka temukan dalam hadis-hadis tentang Nabi Muhammad saw, yang mereka jadikan sebagai panduan untuk hidup dan berperilaku. Hadis-hadis ini diteruskan melalui rantai periwayat yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Setiap hadis terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, yaitu narasinya itu sendiri, yang menyajikan kata-kata atau tindakan Nabi Muhammad saw. Sementara itu bagian keduanya menyajikan rantai transmisi periwayat—yaitu, bagaimana kata-kata itu diturunkan dari zaman Nabi Muhammad saw hingga titik di mana kata-kata itu ditulis sebagai hadis.
Menurut sebagian tradisi di dalam Islam, salah satu alasan hadis tidak ditulis saat Nabi masih hidup adalah karena beliau khawatir bahwa orang-orang akan salah mengartikan kata-katanya sebagai bagian dari Alquran. Namun, pada masa al-Bukhari hidup, puluhan ribu hadis yang beredar justru diyakini salah, palsu, atau bersifat telah ditambah-tambahkan.[6]
Meski demikian, pemalsuan semacam ini bukannya tidak pernah terjadi pada saat Nabi Muhammad saw sendiri masih hidup. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Rabiah dari al-Mughirah ra, dia berkata:
Aku pernah mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya kebohongan dengan mengatasnamakan aku tidak sama dengan (mengatasnamakan) orang lain. Siapa saja yang berbohong dengan mengatasnamakan aku, maka hendaklah dia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka.” (HR al-Bukhari, juz V, hlm. 164). (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] World Civilization, “The Islamic Golden Age”, dari laman https://courses.lumenlearning.com/suny-hccc-worldcivilization/chapter/the-islamic-golden-age/#:~:text=The%20Islamic%20Golden%20Age%20refers,development%2C%20and%20cultural%20works%20flourished., diakses 28 April 2021.
[2] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 55.
[3] Jamaril, “Pengertian, Kedudukan dan Fungsi Hadits”, dari laman https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/1952/pengertian-kedudukan-dan-fungsi-hadits.html, diakses 18 Agustus 2021.
[4] Eamonn Gearon, Loc.Cit.
[5] Siti Fahimah, Epistemologi Hadis Sunni-Syiah: Analisa terhadap Implikasinya (Alamtara: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, Volume 2 Nomor 1 Juni 2018), hlm 51-52.
[6] Eamonn Gearon, Op.Cit., hlm 55-56.