Meskipun Bukhari disebut-sebut sebagai orang pertama yang mengompilasi hadis, tapi sebenarnya sudah pernah ada orang lain yang melakukannya. Siapa saja mereka?
Dilahirkan pada tahun 809 atau 810 M di kota Bukhara, yang sekarang berada di Uzbekistan, al-Bukhari adalah orang pertama yang menyusun, menyeleksi, dan mengotentikasi (mensahihkan) kumpulan hadis-hadis.
Bagi sebagian besar masyarakat Muslim, hasil karya Bukhari dipandang sebagai teks keagamaan yang paling penting dan otentik setelah Alquran. Pandangan ini hadir di antaranya karena karya Bukhari dianggap sebagai yang pertama. Demikianlah setidaknya hal ini berlaku bagi para penganut Islam Sunni.[1]
Meskipun Bukhari dikatakan sebagai yang pertama, tapi bukan berarti tidak ada orang lain yang juga melakukan pengumpulan hadis.
Sebelum Bukhari tercatat ada orang lain yang telah membuat kumpulan hadis yang terstruktur, tetapi tampaknya aktivitas ini telah lama berlalu sejak beberapa dekade terakhir abad ke-1 H/7 M, ketika sistem isnad (rantai transmisi periwayat) mungkin untuk pertama kalinya muncul.
Orang pertama yang melakukan pengumpulan hadis adalah Abdul Malik bin Abdul Aziz, atau lebih dikenal sebagai lbnu Jurayj, yang meninggal sekitar 150 H/767 M ketika dia berusia 70 tahun. Dia tampaknya cukup terkesan dengan usahanya sendiri, karena dia diduga mengatakan, “Ma dawwana’l-‘ilma tadwini ahadun (tidak ada yang mencatat ilmu ini seperti yang telah aku lakukan).” Dalam hidupnya dia aktif berkegiatan di Makkah.
Lalu untuk di Madinah kita dapat menemukan Malik (wafat 179 H/795 M) atau lbnu Ishaq (wafat 151 H/767 M), yang menurut beberapa sarjana abad pertengahan juga telah melakukan pengumpulan hadis, sebagaimana dikutip oleh Muhammad al-Kattani, seorang ahli fikih dari Maroko.
Di Yaman ada Ma’mar bin Rashid (wafat 153 H/770 M) yang telah menyusun pengumpulan hadis dalam bentuk sebuah kitab untuk pertama kalinya.
Ahli hadis lain yang dianggap telah membuat koleksi sistematis sebagai yang pertama di kotanya adalah Sa’id bin Abi Aruba (wafat 157 H/773 M), dia tinggal di Basrah. Masih di Basrah, ada juga juga ar-Rabi bin Sabih (wafat 160 H/777 M) yang disebut-sebut juga telah melakukannya. Lalu di Kufah ada Yahya bin Zakariyya bin Abi Zaida (wafat 182H/798 M).
Koleksi musnad (kitab hadis dengan rantai sanad) bahkan muncul belakangan. Di Kufah, Yahya bin Abdul Hamid (wafat 228 H/847 M) adalah orang pertama yang menyusun musnad, dan di Basrah, ada Musaddad bin Musarhad (wafat 228 H/847 M).
Selanjutnya, ada juga ahli hadis di Mesir yang menyusun koleksi musnad untuk pertama kalinya. Dia sebelumnya mengumpulkan materinya di Irak. Dia adalah Nuaym bin Hammad bin Muawiyah yang meninggal pada 229 H/848 M.
Persebaran Hadis pada Masa-Masa Awal
Pertumbuhan ilmu hadis di dalam dunia Islam bisa dibilang relatif terlambat. Hal ini dapat dibuktikan melalui beberapa awa’il[2] (pengumpulan hadis pada masa-masa awal setelah wafatnya Nabi) yang berhubungan dengan orang-orang yang dianggap sebagai yang pertama memperkenalkan hadis, baik yang tematis maupun yang tidak, ke wilayah-wilayah tertentu di dunia Islam.
Di bawah ini adalah orang-orang yang memperkenalkan awa’il ke berbagai penjuru wilayah Islam. Yang pertama adalah Yazid bin Abi Habib, yang meninggal pada tahun 128 H/745 M pada usia 75 tahun. Konon dia adalah orang pertama yang memperkenalkan hadis-hadis apa pun (non-tematis) ke Mesir. Dia juga dianggap sebagai orang pertama yang membahas halal wa haram dan isu-isu yang lebih umum.
Apa yang dilakukan oleh Yazid bin Abi Habib bahkan dapat dikategorikan dalam masa-masa yang relatif awal, sebab Islam sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat tumbuh berakar di Mesir. Sebagai gambaran, guru membaca Alquran yang pertama di Mesir baru ada pada akhir abad ke-2 H, dia adalah Abdullah bin Lahia, yang meninggal pada tahun 174 H/790 M diduga pada usia 78 atau bahkan 104!
Kemudian, orang pertama yang datang ke Andalusia memperkenalkan ilmu hadis adalah Muawiyah bin Shalih al-Hirasi yang pindah ke sana pada tahun 125 H/742 M. Di sana dia diangkat menjadi qadi dan meninggal pada tahun 158 H/775 M.
Dan yang pertama kali memperkenalkan fikih dan halal wa haram di Andalusia adalah Ziyad bin Abdurrahman al-Lakhmi (wafat antara 193-199 H/809-815 M), yang namanya bahkan tidak tercantum dalam Tahdhib al-Tahdhib sebagai pelaku transmisi hadis. Tahdhib al-Tahdhib adalah kitab ringkasan ensiklopedia para periwayat hadis karya Ibnu Hajar al-Asqalani.
Juga berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan dari sumber-sumber yang berhubungan dengan bidang-bidang lain, dapat dibuktikan bahwa ilmu fikih dan hadis tidak selalu berjalan beriringan.
Selanjutnya ada an-Nadr bin Shumayl, yang meninggal pada 204 H/820 M. Dia adalah orang pertama yang memperkenalkan sunnah di Marw dan seluruh Khurasan. Terakhir, ada Abu Ishaq Ibrahim bin Hashim bin al-Khalil, yang beraktivitas sekitar tahun 200 H/816 M, dia adalah orang pertama yang menyebarkan hadis-hadis dari perawi asal Kufah di Qom.
Tetapi bagaimanapun, kegiatan pengumpulan hadis awa’il ini masih belum terstruktur dan terstandarisasi berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan (yaitu antara lain dapat dibuktikan, rantai periwayatnya tidak terputus, periwayatnya dapat dipercaya, dan seterusnya yang mengikuti kaidah-kaidah hadis sahih yang diakui pada masa kini). Atau bisa jadi, hadis-hadis tersebut dipilih berdasarkan kecenderungan politik seseorang pada masa itu.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa asal mula pengumpulan hadis yang terstandarisasi tidak dapat ditelusuri kembali lebih awal dari, paling jauh, ke sekitar tahun 70 atau 80-an pada abad ke-1 H.[3]
Berdasarkan pemaparan kronologi di atas, ke depan kita akan melihat bagaimana seorang Bukhari mengambil peran penting dalam pengumpulan dan menciptakan standar baru dalam ilmu hadis. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 56-57.
[2] Awa’il memiliki makna luas seperti awal, klasik, terdahulu, atau sesuatu yang mengacu kepada masa lampau. Awa’il juga sering diartikan sebagai ilmu-ilmu atau informasi pra-Islam. Tetapi awa’il yang dimaksud di dalam kalimat ini adalah berkaitan dengan orang-orang yang telah mengumpulkan hadis pada masa-masa awal setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.
[3] G.H.A. Juynboll, Muslim tradition Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith (Cambridge University Press: Cambridge, 1983), hlm 21-23.