Perjalanan Intelektual Imam Muslim, Saudagar Kain yang Ahli Hadis (2)

in Tokoh

Meski Imam Bukhari telah merilis kitab Sahih, Imam Muslim tetap bertekad melahirkan buah penanya, Almusnad Assahih. Baginya, karya para pendahulunya memiliki kekurangan. Di usia yang masih muda, ia akhirnya memulai menyusun kitab yang menurut peneliti memiliki susunan sanad teratur, keindahan redaksi, kemapanan metode investigasi, kekokohan analisa, kelembutan interaksi dan kehati-hatian.

Sumber ilustrasi: www.alkhaleej.ae

Meski sibuk menjalankan profesi sebagai saudagar kain (bazzaz) yang sukses,[1] Imam Muslim tidak terkendala dalam mendalami, menyusun, dan menebar hadis Nabi saw. Kekayaan hartanya justru meringankan kebutuhan hidupnya sehari-sehari.[2] Ia bahkan dapat melakukan aktivitas keilmuan sembari berniaga.

Seperti pendahulunya, Imam Bukhari, Muslim menghabiskan belasan tahun dalam menyusun buah penanya yang tersehor itu, Sahih Muslim. Ia berkelana ke berbagai negeri untuk bertemu guru-guru hadis.

Dalam perjalanannya, Muslim mengumpulkan data, menyeleksi riwayat dari sudut sanad dan redaksi dengan penuh keseriusan, fokus dalam meringkas sesingkat mungkin agar terhindar dari pengulangan. Penyusunan kitab ini menurut murid Muslim, Ahmad bin Salamah, menghabiskan waktu 15 tahun.

“Aku menulis bersama Muslim dalam menyusun Sahih-nya selama 15 tahun…,” kata Ibnu Salamah.[3]  

Tapi, bukankah proyek keilmuan ini telah dilakukan oleh Bukhari? Benar, ahli hadis asal Bukhara itu telah menyusun kitab Sahih. Hanya saja, menurut Muslim, beberapa penjelasan hadis dalam kitab Sahih Bukhari masih sulit dipahami, terutama bagi mereka yang tidak mendalami hadis.[4] Muslim juga masih menemukan banyaknya kitab hadis karya para pendahulunya yang mencampuradukkan antara hadis sahih dan lemah, baik ditinjau dari dari sudut sanad atau redaksi.  

Selain itu, Muslim menyaksikan peredaran hadis palsu (mawdhu) yang semakin meluas. Merebaknya hadis palsu, menurut Muslim, lantara setiap individu, sekte, golongan, lembaga, dan kelompok ingin mempertahankan eksistensi masing-masing.[5] Ibnu Salamah, murid setia Muslim yang paling antusias belajar hadis, turut mendorong gurunya menyusun kitab Sahih yang memuat hadis-hadis Nabi saw terkait hukum, pahala, siksa, dan berbagai masalah agama lainnya.

Muslim akhirnya menuntaskan penyusunan kitab ini pada tahun 250 hijriah/ 864 masehi.[6] Jika masa penyusunannya 15 tahun, maka Muslim memulai proyek ini pada tahun 235/821 atau saat ia masih berusia 29 tahun.     

Dalam kitab ini, Muslim setidaknya mengabadikan empat ribu hadis. Annawawi dalam Taqrib-nya berkata, “Total hadis dalam Sahih Bukhari adalah 7.275 termasuk pengulangan, sementara hadis dalam Sahih Muslim berjumlah 4.000 tanpa pengulangan.”[7]

Muslim memiliki syarat dalam menilai hadis sahih. Menurut dia, riwayat harus bersambung sanad-nya yang diriwayatkan oleh para periwayat tsiqah dari periwayat tsiqah, mulai awal hingga akhir sanad, terhindar dari kecatatan dan penyimpangan. “Ketika suatu hadis terdapat syarat-syarat tersebut, maka hadis tersebut adalah sahih dan disepekati oleh para sarjana hadis…,” kata Ibnu Salah tentang syarat yang ditentukan Muslim.[8]

Sementara ketika menyusun kitabnya, Muslim tidak bermaksud menginfentarisir semua hadis sahih yang beredar dan telah dikodifikasi oleh pendahulunya. Ia menyusun dengan tujuan merilis sebuah buku berbentuk ringkasan dari hadis-hadis yang ia ketahui dan teruji validitasnya.

“Tidak semua hadis yang menurut saya sahih lalu saya letakkan di sini, namun yang saya muat adalah hadis yang telah disepakati,” kata Muslim.[9] Pada kesempatan lain Muslim berkata, “Aku tulis kitab Almusnad Assahih ini dari 300 ribu hadis yang aku dengar.”[10]

Dari hadis yang telah dikumpulkan dan melalui seleksi itu, ia menyusun kitab secara sistematis, menata bab per bab tanpa memberi judul pada setiap bab.[11] Para ulama generasi berikutnya-lah menaruh andil dalam menginovasi dengan memberikan judul pada setiap bab walaupun kadang tidak pas. Bisa saja hal ini  lantaran kurangnya pemahaman terhadap permasalahan atau kesulitan dalam mencari judul yang representatif.[12]

Muslim juga sejatinya tidak menamakan kitabnya secara spesifik. Para peneliti yang datang setelahnya pun berbeda pendapat tentang nama karya intelektual Muslim itu.

Di antara peneliti menamakannya Almusnad dengan bersandar pada ucapan Muslim, “Aku presentasikan kitabku ini Almusnad  di hadapan Abu Zur’ah[13] Arrazi…”[14] atau ucapannya, “Aku tidak meletakkan sesuatu riwayat pada kitabku ini Almusnad kecuali dengan alasan…” [15]

Sebagian peneliti lagi memberikan nama Almusnad Assahih sebagaimana ditulis oleh Alkhatib dalam Tarikh-nya.[16] Ada juga yang menamakan Almusnad Assahih Almuhktasar min Assunan bi Naqlil Adl anil Adl an Rasulillah sebagaimana dikukuhkan oleh Ibnu Khayr dalam Fahrasahnya, serta muhaqqiq Alfayarabi dalam mukaddimahnya.[17]

Menurut Attawalibah nama yang terakhir adalah asumsi Ibnu Khayr walau selaras dengan ucapan Imam Muslim yang menyatakan bahwa dia menulis dengan cara menyingkat (ikhtisar) dan menuturkan hadis-hadis tanpa adanya pengulangan. Tapi menurut Attawalibah, nama yang paling tepat adalah Almusnad Assahih sebagaimana dituturkan oleh penulisnya.[18]  

Meski demikian, para peneliti menilai Muslim lebih sistematis, teratur, proporsional dalam menyusun kitab Sahih. Hal ini membuat pembaca lebih mudah memahami isinya dan sulit memberikan peluang bagi pengulangan hadis.

Bagi siapa saja yang menelisik kitab Sahih Muslim, mengamati susunan sanad serta aturan penataan, keindahan redaksi, kemapanan metode dalam investigasi, kekokohan analisa, kelembutan interaksi dan kehati-hatiannya dalam menyelidiki riwayat, maka dapat disimpulkan bahwa dia adalah imam yang tidak ada tandingannya.[19]

“Aku menunjukkan kitabku Almusnad kepada Abu Zur’ah. Ketika ia menyatakan (pada setiap hadis yang aku paparkan) tidak benar berikut alasannya, maka aku tinggalkan hadis itu. Sebaliknya, setap yang ia katakan hadis ini sahih dan tidak ada cacatnya maka aku pun segera mencantumkannya. Andai para pakar hadis menulis kitab selama dua ratus tahun, maka rotasinya akan berporos pada kitab Almusnad ini,” kata Muslim.[20]

Dalam riwayat lain Muslim berujar, “Tidak aku cantumkan dalam kitabku ini Almusnad segala sesuatu kecuali dengan alasan, dan tidak pula aku gugurkan kecuali dengan alasan pula.”[21]

Tamat.

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Ahmad bin Ali bin Hajar Alasqalani, Tahdhib Attahdhib, cetakan pertama juz 10 (Alhind: Majlis Dairah Almaarif Annizamiyah, 1907), hlm. 127.

[2] Muhammad bin Ahmad Addahabi, Alibrar fi Khabar Man Ghabar, juz 1 (Bairut: Darul Kutub Alilmiyah, 1985), hlm. 375.

[3] Muhammad bin Ahmad Addahabi, Tadhrikah Alhuffaz, edisi revisi juz 2 biografi nomor 613 (Bairut: Darul Kutub Alilmiyah, 1985), hlm. 589.

[4] Ma’shum Zein, Ilmu Memahami hadis Nabi, pengantar Ridwan Nashir, cetakan pertama (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2016), hlm. 233.

[5] Muhammad Ajjaj Alkhatib, Usul Alhadis wa Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Bairut: Darul Fikri, 2006), hlm. 276.

[6] Abdurahim bin Husain Aliraqi, Attaqyid wal Idah, Sarhu Muqaddamati bin Salah. Sumber; http://tinyurl.com/yctlnnfk pdf hal 14. Diakses pada 1 September 2017.

[7] Yahya bin Sharaf Annawawi, Ataqrib wal Taysir li Makrifati Sunan Albashir Annadhir, tahqiq Muhammad Usman Alkhasit, cetakan pertama (Bairut: Darul Kitab Alarabi, 1985), hlm. 26.

[8] Yahya bin Sharaf Annawawi, Sharah Annawawi ala Muslim, (Riyadh: Baytul Afkar Addawliyyah, tanpa tahun), hlm. 21.

[9]Ibid., hlm. 353.

[10] Abdu Rahman bin Abu Bakar Assuyuti, Tadrib Arrawi fi Sharah Taqrib Annawawi, cetakan pertama juz 1 (Addammam: Dar Ibnu Aljawzi li Annashr wa Tawzi, 2010), hlm. 88.

[11] Menurut Ibnu Salah dalam Siyanah-nya, “Agar tidak menjadi tebal…”. Lihat; Ibnu Salah, Abu Umar wa Usman bin Abdu Rahman Assahrazuri, Siyanah Sahih Muslim min Alikhlal wal Ghalat wa Himayatuhu min Atsiqat wa Saqat, tahqiq Muwaffaq bin Abdullah bin Abdul Qadir (Tanpa kota, Darul Gharab Alislami, 1984), hlm. 101.

[12] Yahya bin Sharaf Annawawi. Op.Cit, hlm 24.

[13] Dia seorang imam, sayyid Alhuffaz. Ibnu Shaybah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang yang lebih mampu menghafal dari Abu Zur’ah.” Ishaq bin Rahwayh berkata, “Setiap hadis yang tidak diketahui oleh Abu Zur’ah, hadis tersebut tidak ada asal-usulnya.” Lihat; Muhammad bin Ahmad Addhahabi Siyar A’lam Annubala, tahqiq Shuayb Alarnaut, cetakan pertama juz 13 biografi 48 (Bayrut: Muassasah Arrisalah, 1983), hlm 77.

[14] Ibnu Salah, Abu Umar wa Usman bin Abdu Rahman Assahrazuri, Siyanah Sahih Muslim min Alikhlal wal Ghalat wa Himayatuhu min Atsiqat wa Saqat, tahqiq Muwaffaq bin Abdullah bin Abdul Qadir (Tanpa kota, Darul Gharab Alislami, 1984), hlm. 68.

[15] Muhammad bin Ahmad Addahabi. Op.Cit, hlm. 590.

[16] Ahmad bin Ali bin Thabit Albaghdadi, Sharaf Ashab Alhadis wa Nasihatu Ahlu Hadis, tahqiq Amr Abdul Munim Salim, cetakan pertama juz 15 biografi nomor 7041 (Bayrut: Darul Gharb Alislami, 2001), hlm. 121.

[17] Ibnu Khayr, Muhammad bin Khayr bin Umar bin Khalifah Alishbili, Fahrasatu bin Khayr, cetakan pertama biorafi nomor 153 (Bayrut: Darul Kutub Alilmiyah, 1998), hlm. 85.

[18] Muhammad Abdurahman Attawalibah, Imam Muslim wa Manhajahu  fi Sahihi, cetakan kedua (Alurdun: Dar Ammar, 2000), hlm. 102.

[19] Yahya bin Sharaf Annawawi, Sahih Muslim bi Sharah Annawawi, cetakan pertama juz 1 (Alqahirah: Almatba’ah Almasriyyah bil Azhar, 1929), hlm. 11.

[20] Yahya bin Sharaf Annawawi, loc.it.

[21] Muhammad bin Ahmad Addahabi. Op.Cit, hlm. 589.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*