Piagam Madinah (2): Peran dalam Pembentukan Civilization

in Monumental

“Piagam Madinah adalah salah satu cara Nabi memerangi jahiliyah, rasisme, sehingga terciptanya kedamaian dan saling hormat-menghormati dalam pluralisme di dalam sebuah umat.”

Sumber gambar: islam21c.com

Ada tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh Nabi dan kaumnya begitu hijrah ke Madinah. Di sana adalah tanah asing, kaum Nabi nyaris tidak memiliki apa-apa dan kembali ke titik nadir. Sehingga kaum Muslim harus kembali menata hidup dari awal. Kehidupan plural di sana merupakan salah satu bentuk tantangan bagi Nabi. Sehingga Nabi harus menetapkan sebuah perjanjian, agar tidak terjadi bentrokan suku di Madinah.

Menuju Masyarakat Beradab

Madinah merupakan wilayah perbukitan dan oase luas, ditempati oleh kelompok-kelompok yang ada di sana. Daerah kosong yang belum ada pemiliknya, menjadi salah satu penyebab sering terjadi pertikaian antar suku. Karena di sana merupakan wilayah tribal, penduduknya tidak beradab, tidak ada peraturan yang mengikat bagi kepentingan bersama.

Sebelum Rasulullah hijrah, telah ditetapkan dalam Baiat Aqabah bahwa Nabi berhak sepenuhnya untuk menempati tanah yang kosong. Nabi membangun masjid kali pertama hijrah ke Madinah, sebagai tempat ibadah sekaligus kegiatan sosial.

Namun, keragaman penduduk yang ada di sana takkan mungkin bisa membuat Islam berkembang apabila Nabi tidak “mempersatukan” mereka dalam satu konstitusi. Karena ada tiga kelompok yang hidup di sana, dan masing-masing memiliki problem. Tiga kelompok ini adalah, rekan-rekan Nabi; Orang-orang musyrik yang sama sekali tidak mau beriman kepada Allah; dan terakhir, orang Yahudi.[1]

Nabi mulai mengubah Madinah yang merupakan wilayah “semrawut” menjadi lebih tertata. Dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin (kaum Muslim dari Mekkah) dan kaum Anshar (kaum dari Madinah), Nabi menciptakan dasar persatuan agar terciptanya stabilitas dan tanggung jawab sesama kaum.

Sedangkan pada masa itu, ikatan persaudaraan tanpa hubungan kerabat, sama sekali belum pernah terjadi pada kabilah-kabilah yang tinggal di Madinah.

Nabi pun melihat bahwa kaum-kaum yang hidup di Madinah merindukan kehidupan yang damai dan tentram. Hijrahnya Nabi menuju Madinah tak sekadar pindah karena ancaman dari kaum Quraisy, melainkan bertujuan menyebarkan risalah Islam.

Sikap keras merupakan perintang bagi siapa pun yang belum menerima iman, hal ini yang terjadi sebelumnya dari tindakan kaum Quraisy. Muhammad Hasan Haekal menulis, “Kaum Muslimin maupun yang lain seharusnya percaya, bahwa barangsiapa menerima pimpinan Tuhan dan sudah masuk ke dalam agama Allah, akan terlindung ia dari gangguan; bagi orang yang sudah beriman akan tambah kuat imannya, sedang bagi yang masih ragu-ragu, atau masih takut-takut atau yang lemah akan segera pula menerima iman itu.”[2]

Karena keragaman suku yang ada di Madinah, tidak memungkinkan bagi Nabi untuk memaksakan risalah. Maka Nabi mengambil langkah, memberikan ketenangan bagi mereka yang menganut agamanya dengan jaminan kebebasan untuk menjalankan agama masing-masing. Sehingga penduduk di Madinah akan menuju kesatuan yang integral dan terhormat.[3]

Lahirnya Al-Shahifah

Karena rentannya kemungkinan pertikaian di Madinah, terlebih untuk kaum Aus dan Khazraj, Nabi berusaha menghentikan potensi konflik tersebut. Nabi pun bermusyawarah dengan para sahabat dari kaum Muhajirin, Anshar, suku-suku Juhainah, Balawi, dan Qudha’i untuk merumuskan perjanjian tertulis bagi penduduk di Madinah.

Adapun isi dalam dokumen tersebut merupakan undang-undang untuk mengatur tatanan kehidupan sosial di Madinah, baik dalam urusan internal maupun eksternal.

Piagam Madinah atau Al-Shahifah ditulis pada tahun 622 M, yang terdiri dari 47 pasal. Sebanyak 23 pasal mengatur undang-undang tentang hubungan antar umat Islam, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar. Sementara 24 pasal lainnya, mengatur antara hubungan umat Islam dengan kaum yang tinggal di Madinah (Arab Madinah dan Yahudi).

Sehingga dengan disetujuinya Piagam Madinah, penduduk di sana yang nomaden dan hidup masing-masing menjadi satu komunitas yang disebut sebagai ummah (umat). Mereka diberikan hak-hak perlindungan, keamanan, dan keadilan bagi semua pihak.

Piagam Madinah adalah salah satu cara Nabi memerangi jahiliyah, rasisme, sehingga terciptanya kedamaian dan saling hormat-menghormati dalam pluralisme di dalam sebuah umat.

Dalam lintasan sejarah negosiasi, Piagam Madinah dianggap sebagai konstitusi tertua dan pertama di dunia. Faktanya hal ini tidak hanya menjadi catatan netral dari sebuah kesepakatan, melainkan juga satu konstitusi yang mengakui keberadaan tiap-tiap kabilah di Madinah. Meski begitu, di antara pihak-pihak yang sebelumnya saling bertikai tetap ada “persaingan yang teredam”, tetapi para kabilah ini berusaha mematuhi konstitusi yang telah disepakati.

W. Montgomery Watt dalam Muhammad at Medina, mengakui bahwa Piagam Madinah sebagai dokumen tertulis yang otentik menjadi sumber ide yang mendasari negara sejarah Islam awal.[4]

Selesai

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, Bahtsun Fis-Sirah An-Nabawiyah Ala Shahibiha Afdhalish-Shalati Was-Salam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi, Sirah Nabawiyah (Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 239

[2] Muhammad Husaen Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, pada laman https://adoc.pub/sejarah-hidup-muhammad.html diakses pada 21 Juni 2023

[3] Ibid.

[4] Ahmad Husein, Piagam Madinah sebagai Konstitusi Tertulis Pertama, pada laman https://jendelahukum.com/piagam-madinah-sebagai-konstitusi-tertulis-pertama/#:~:text=Piagam%20Madinah%20diakui%20oleh%20W,mendasari%20negara%20sejarah%20Islam%20awal diakses pada 21 Juni 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*